Chapter 1 : Lavender and I
Oke. Sebelum memulainya, aku ingin bertanya pada kalian, apakah kalian percaya dengan dunia dongeng?
Seperti hewan yang dapat berbicara? Manusia setengah hewan? Atau yang sejenisnya.
Yang kutahu, orang-orang rata-rata menganggap dunia dongeng hanyalah sebuah cerita fiksi belaka. Tetapi, bagaimana jika kalian, manusia-manusia dengan pemikiran tertutup, memasuki sebuah alam yang menurut kalian tidak masuk akal?
Yah. Seperti diriku ini, aku akan menceritakan bagaimana perjalananku bisa sampai terjebak kedalam dunia khayalan ini, yang sering diejek kebenarannya oleh kedua sahabatku.
*
"Bella? Apakah kau tahu dimana smartphoneku? Kurasa aku menyimpannya disini, tapi sekarang benda itu sudah menghilang?" Aku bertanya pada temanku dengan suara sedikit keras dari dalam kamarku, tangan dan mataku tak henti-hentinya mencari benda penting itu.
Smartphone bagiku adalah benda yang sangat penting karena di sana terdapat banyak dokumen-dokumen rahasia, tugas-tugas kuliah, dan yang lebih penting lagi adalah foto-foto bersama teman-temanku.
"Bukankah itu sudah menjadi kebiasaanmu untuk menghilangkan benda itu, lagi dan lagi! Dan sekarang sudah kesebelas kalinya kau menghilangkan benda kotak yang membosankan itu!" Bukannya membantuku atau semacamnya, dia malah mengomeliku dengan gaya khasnya itu. Gabrella atau sering dipanggil Bella, memang suka sekali mengguruiku disaat diriku berbuat kesalahan. Namun jika dirinya yang mengalami hal itu, malah aku yang disalahkan karena tidak mencegahnya, sungguh seorang teman yang sangat biadab, tetapi kami tetap saling menyayangi.
"Ini, aku menemukannya di meja makan." Akhirnya, Diana menemukan Smartphoneku, dia datang dan memberikan benda itu padaku dengan senyuman imut, yah, setidaknya dia tidak mengomeliku dengan hasil yang nol. Diana juga adalah temanku, dia mempunyai sifat lembut, keibuan, dan pemalu.
Kami bertiga tinggal di apartemen ayahku. Bella dan Diana adalah temanku ketika SMA, awalnya mereka enggan untuk kuliah karena masalah ekonomi, kasihan dan tidak punya teman di kuliahan, aku menawari mereka untuk lanjut sekolah dan ayahku yang membiayai semua keperluan mereka berdua sekaligus diriku.
Aku tidak mau menyombongkan diri, tapi memberikan penjelasan tidak mengapa kan? Ayahku adalah seorang aktor bergaji tinggi, dia selalu muncul di layar televisi setiap malam minggu, memainkan perannya difilm-film ternama. Dan soal Ibuku, beliau sudah meninggal di saat diriku masih SD saat itu, aku masih rindu dengan masakannya, aku bosan memakan makanan bungkusan, aku sangat merindukannya sekaligus masakannya.
Kembali ke ceritaku, Bella lalu datang ke kamarku ketika Diana sudah memberikan Smartphoneku, dengan wajah galaknya ia berkata. "Lain kali jangan melakukan hal yang sama, itu membuat kami kerepotan tahu!" Bella menyilangkan tangannya, dia menatap mataku lekat-lekat, aku hanya menunduk.
"Oke. Maafkan aku, ini semua kesalahanku, hehe, jadi ayo kita berangkat!" ucapku dengan senyuman masam. Diana menganggukkan kepalanya sementara Bella membuang muka padaku.
Lalu kami bertiga berjalan keluar kamar, dan menuruni tangga.
"Uhm, Biola, apakah kamu sudah menonton Cinderella Kemarin malam?" tanya Diana ketika diriku menuruni tangga panjang ini. Rambut merahku kukibaskan, dengan senyuman tipis kujawab pertanyaannya.
"Tentu saja! Aku menontonnya, dan apa kau tahu, diriku hampir menangis ketika film itu berakhir. Aku masih belum puas menontonnya! Aku ingin lagi!" Jawaban disertai rengekanku membuat Bella yang di samping kananku menutupi kedua telinganya.
"Hentikan topik pembicaraan kalian! Aku membenci hal-hal aneh seperti itu!" bentak Bella yang masih menutupi lubang telinganya menggunakan telunjuknya.
"Sebaiknya kau diam saja!" Aku berusaha untuk membuatnya naik darah, karena aku suka melihatnya marah-marah. Benar, sifatku ini sedikit jahil.
"Oh! demi Tuhan! Seharusnya kau yang diam! Suaramu itu membuat gendang telingaku pecah!" Bella menimpalinya dengan melototiku, aku membalasnya.
"Bagaimana kalau aku hancurkan sekalian gendang telingamu itu sekarang! Agar kau tidak mendengarkan topik kesukaanku ini!" Mukanya semakin memerah, tiba-tiba Diana menyenggol lenganku, wajahnya menunjukkan kalau aku disuruh diam olehnya, dan aku menurut.
Secara tidak sadar, aku sudah sampai di parkiran mobil, di depan apartemenku.
"Kuncinya?" tanya Bella.
"Ini. Kau yang bawa mobil ya?" jawabku sembari memberikan kunci mungil itu padanya.
"Hari ini, Diana lah yang bertugas, iya 'kan Diana?" Diana mengangguk mendengar ucapan Bella.
Lalu beberapa menit kemudian, kami bertiga sudah duduk di dalam mobil, Diana dengan rambut cokelat panjangnya bertugas sebagai supir, Bella dengan rambut hitam panjangnya duduk di kursi belakang, dan aku duduk di sebelah Diana.
Mobil yang dikendarai oleh Diana merupakan Lamborghini terbaru-memiliki empat kursi sekaligus-yang dibeli Ayah untukku. Ayah selalu menawari mobil yang lebih murah, tapi sayangnya aku lebih suka hal-hal yang masih baru, karena itulah aku merengek padanya dan keinginanku terkabul dua bulan setelah itu.
Diana tersenyum padaku, dan berkata. "Perjalanan akan dimulai."
*
"Selamat pagi!" Ketika kami bertiga telah turun dari mobil dan akan melangkahkan kaki, seorang wanita berambut hitam pendek dengan pakaian pinknya yang mencolok muncul di depan kami. "Bagaimana kalau kalian berjalan menuju kampus bersamaku?"
"Orang asing!" Dengan tampang galaknya Bella menatap wanita itu, Diana terkikik geli melihatnya dan aku tersenyum.
"Siapa kau! Berani-beraninya menghalangi jalan kami!"
"Wow! Sungguh! Ak-aku tidak bermaksud menghalangi jalan kal-"
"Minggir!" Bella langsung menyikut pundaknya dan berlalu meninggalkan kami dengan angkuh. Diana menyusul dengan langkah anggun. Sementara diriku diam memperhatikan wanita itu yang sepertinya terkejut mengingat perlakuan Bella dan Diana.
"Maaf atas sikap mereka ya, mereka memang seperti itu, kau bisa ke kampus bersamaku," Aku langsung menarik tangannya, dan berjalan bersama dengan wanita asing tersebut.
"Terima kasih!" Mendengarnya, aku tersenyum tipis padanya.
"Tentu saja!"
*
Di dalam kelas, aku duduk mengutak-atik Smarphoneku, dan diriku masih kaget dengan apa yang dikatakan Lavender-Wanita asing itu-kepadaku.
Flashback
"Jadi, siapa namamu?" tanyaku sambil melangkahkan kaki menuju lorong-lorong kampus.
"Lavender, kau dapat memanggilku sesukamu, Lave atau Ender, aku akan menyukainya." jawabnya dengan senyuman lebar.
"Bagaimana kalau Lavender saja, aku lebih suka itu daripada memotong namamu menjadi dua bagian." Dia langsung menyetujuinya, dan aku senang.
"Em, kalau namamu?" Aku tersenyum mendengarnya, dan memberikan sebuah lipatan kertas padanya.
"Apa ini?"
"Buka saja."
"AAAH! JAD-JADI KAU ITU ANAK DARI JONATHAN JENARIO, AKTOR KESUKAANKU!" Dia langsung menjerit setelah membaca nama lengkapku di kertas kecil itu.
"Tidak usah berlebihan seperti itu." Walau aku kelewat senang, tapi aku masih memasang wajah tenang.
"Aku masih tidak percaya kalau aku sedang berjalan bersama putri dari seorang aktor terkenal! Oh, ya ampun! Ini seperti mimpi!" Wajah Lavender memerah seketika.
"Lavender, ummm ... Apakah kau menyukai dongeng?" Aku mengalihkan topik pembicaraan agar dia tidak terus menerus menyanjung ayahku dan diriku, karena menurutku, itu sedikit menganggu. "Apa kau menyukainya?"
Lavender terdiam sejenak, dan menoleh padaku. "Ya, tentu, dan aku pernah mengunjungi dunia itu sekali."
DEG!
Apakah aku tidak salah mendengar, Lavender mengatakan kalau dia sudah pernah memasuki dunia dongeng sekali. Hey, pembicaraan ini semakin menarik.
Aku terkejut bukan main, dan langsung menimpalinya dengan beberapa pertanyaan. "Apakah kau berbohong!? Ba-bagaimana kau dapat masuk ke sana? Apakah kau sedang berkhayal? Siapa yang membawamu? Kenapa kau bisa kembali?"
Mendengar rentetan pertanyaanku, Lavender menggeleng-gelengkan kepala lalu tersenyum. "Tidak, aku sama sekali tidak berbohong, aku bisa masuk ke sana karena aku memang bisa melakukannya, aku tidak sedang berkhayal! Tidak ada siapa pun yang membawaku kesana, aku sendirian, dan kenapa aku bisa kembali? Karena aku memang ingin pulang." Dia menjawabnya dengan tenang, aku masih menampilkan wajah terkejut.
"Aku masih tidak percaya."
"Aku juga masih tidak percaya kalau sekarang, diriku sedang berjalan dengan anak seorang aktor terkenal!"
Flashback Off
Oh, ya ampun, pikiranku saat ini masih penasaran dengan apa yang diungkapkan Lavender. Mungkin bagi manusia normal, hal itu hanyalah omong kosong, tapi bagiku, sebagai seorang maniak dongeng, tentu membuatku terkejut sekaligus bahagia karena dunia yang kuanggap hanya khayalan itu ada. Dan memang benar-benar ada.
"Biola, kau kenapa?" Diana bertanya dari kursinya tepat di sebelah kiriku. Lantas, aku menoleh dan berusaha memasang wajah senormal mungkin.
"Diana? Ak-aku baik-baik saja, ngomong-ngomong tentang Bella? Di mana dia?" tanyaku disertai wajah gugup, dan aku tahu, Diana bisa menebakku.
"Aku tahu kau sedang berbohong. Cepat katakan, mengapa kau gelisah seperti itu, Biola?" Diana mengeser kursinya lebih dekat padaku. Apakah aku harus jujur padanya?
"Emm ... Aku hanya sedang pusing kepala," Telapak tangan Diana langsung menyentuh keningku, lalu ia menampilkan ekspresi khawatirnya padaku.
"Sepertinya kau sakit, bagaimana kalau kuantar ke ruang-"
"Tidak-tidak! Kau tidak perlu melakukannya, aku baik-baik saja, Sungguh!" Aku langsung memotong perkataannya.
"Kau yakin?" Diana mencoba memastikan, aku terharu melihat dia khawatir dengan keadaanku, dan aku juga jengkel karena dia sedikit mengangguku.
Aku menganggukkan kepala, dan Diana masih memandangku lekat-lekat. "Tapi aku belum yakin."
"Hey! Biola! Diana! Cepat kemari!" Tiba-tiba Bella memanggil kami dengan berteriak keras dari pintu. Aku dan Diana menghampirinya.
"Ada apa!?" tanyaku ketus padanya.
"Lihatlah, Gadis asing itu sedang ditertawakan oleh teman-temannya, dia mengatakan sesuatu yang membuat teman-temannya meledeknya, itu sesuatu yang menghibur bukan?" Bella menunjuk-nunjuk Lavender yang menunduk sedih karena ditertawakan oleh teman-temannya di ruang kelas yang sedikit jauh dari ruanganku.
"Bagaimana kalau kita tolong?" Seketika wajah Bella tidak suka dengan pertanyaan Diana.
"Untuk apa? Dia bukan teman kita! Lagi pula itu menghiburku! Jangan menjadi sok pahlawan, Diana!" Bella membentak Diana, aku kesal padanya.
"Keterlaluan!" Diriku langsung berlari mendekati Lavender dan semua teman-temannya berhenti tertawa, mereka menatapku kaget.
"Apa yang membuat kalian tertawa, hah!" tanyaku disertai bentakkan keras pada mereka berlima. Salah satu dari mereka menjawab.
"Dia mengatakan kalau dirinya pernah memasuki dunia dongeng, dan itu membuat aku dan teman-temanku tertawa, Bukankah itu lucu? Hahahah!" Dia kembali tertawa.
"Menertawakan hal yang belum kalian tahu benar atau tidaknya adalah tindakan seorang sampah!"
DEG!
Mereka berlima terkejut mendengarnya, dan aku langsung menarik tangan Lavender menuju kelasku.
Setelah itu aku, Diana dan Bella mencoba menenangkan mentalnya yang sudah hancur.
"Lavender, aku mempercayainya, sungguh, aku tahu kau memang sudah pernah-"
"Cukup! Aku mau pulang!" Lavender langsung berdiri dan keluar dengan terburu-buru dari kelasku.
"Kita kejar dia!" perintahku dibalas satu anggukkan oleh Diana dan Bella, kemudian kami langsung mengejarnya.
*
"Lavender, tunggu!" Aku berusaha mengencangkan kecepatan lariku, semua orang memandangku, tidak, tapi memandang kami bertiga. Diana lebih cepat dari yang kukira, dan Bella ketinggalan jauh dariku.
"Oh ayolah! Aku belum sarapan!" ucap Bella disela-sela larinya.
*
"Kalian tidak perlu mengikutiku!" Lavender menghela napas, lalu memandangku. "Biola, bawa pergi teman-temanmu, aku ingin sendirian!"
"Kau membutuhkan kami," Diana menghampirinya dan mengusap punggung Lavender, ia memasang wajah keibuan.
"Jangan bersikap manja! Masuk ke mobil dan ceritakan semuanya pada kami!" Bella membentaknya, Lavender mengerlingkan matanya pada Bella.
"Aku tidak menyukaimu, aku sangat membencimu!" ucap Lavender pada Bella. mendengarnya, Bella kesal.
"Baik! Itu terserah padamu, sebenarnya aku bisa saja menghabisi semua teman-temanmu jika kau bersikap sopan padaku!" Apa yang dikatakan Bella tidak membuat Lavender takluk padanya.
"Aku ingin menceritakan hal ini hanya pada Biola!" Aku, dia menginginkanku untuk mendengarkan ceritanya, hanya diriku.
"Baiklah, Biola, temanilah dia,"Diana tersenyum padaku, aku mengangguk dan mengikuti langkah kaki Lavender.
"Dasar manja!" Aku masih mendengar u*****n dari Bella untuk Lavender, untunglah gadis itu tidak mendengarnya.
*
Kini, diriku dan Lavender duduk di rerumputan hijau dengan danau di hadapan kami. Ya, ini merupakan lokasi yang cukup dekat dengan kampusku. Lalu, aku menatapnya.
"Jadi, apakah ada yang ingin kau katakan padaku?"
"Sebenarnya tidak ada, bukankah aku sudah mengatakannya tadi pagi? Jadi apakah aku harus mengulangnya lagi?" Lavender memonyongkan bibirnya.
"Bagaimana kalau aku yang bertanya?"
"Silakan,"
"Aku hanya ingin memastikan saja. Jadi, apakah dunia itu benar-benar ada?"
"Hmm ... iya dan iya! Jika kau memang penasaran ingin mengetahuinya, kau dapat berkunjung ke rumahku sekarang."
"Benarkah!? Sekarang? Memangnya dunia itu ada di dalam rumahmu?"
"Tidak juga sih, hanya saja, ada satu ruangan di rumahku yang dapat memasuki dunia itu!"
"Kau bercanda?"
"Sudah kubilangkan? Orang-orang sepertimu, tidak akan pernah mempercayainya!"
"Aku percaya!"