"Ini akan menjadi hukuman untukmu karena telah menyakiti Cucumu sendiri dan Saudara-saudaraku!"
DUAR!
DUAR!
DUAR!
*
*
*
*
Zack melemparkan bola-bola kecil pada Colin dan sebuah ledakan muncul disana. Aku terkejut bukan main.
Sangat disayangkan, Colin menghindar cepat, dia tiba-tiba muncul disampingku.
"Eh!?" Aku tercekat.
BUPP!
Tangan kasarnya membekap mulutku untuk diam, ruangan cerah ini terasa menyeramkan ketika sorotan matanya mendelik padaku, Colin tersenyum licik.
Hentikan ini!
Aku mencoba menggeliat, namun, sebuah tali mengikat tubuhku. "Hmmmmph!!!" Aku terus memberontak ketika tali-tali itu bergerak dengan sendirinya, mengikat tubuhku.
Pandangan Zack teralihkan kesini, dia terkejut melihat hal ini. "Jangan sentuh Kakak Iparku!"
*
*
*
WUUSH!
Hempasan angin yang dahsyat mendorong Zack untuk menabrakkan dirinya pada dinding, namun kali ini dia tidak ingin kalah sepertinya. Dengan sekuat tenaga, dia menahan angin itu, terus berusaha.
Burung-burung berseliweran disekeliling tubuh Zack.
"Aku tidak akan kalah!" ucap Zack yang akhirnya berhasil memukul mundur angin yang barusan mendorongnya, dia berlari tergopoh-gopoh mendekatiku.
Colin mendecih kesal. "Tidak akan kubiarkan kau kemari! Bocah Tengik!"
Lagi-lagi hempasan angin mendorong Zack, kedua kakinya sudah lemah, rasa-rasanya, ada rasa keputusasaan dalam dirinya sekarang.
"HMMMMPHHH!" Aku terus menggeliat-geliat ingin bebas, aku tidak mau melihat Zack tersiksa seperti itu.
"HIYAAAAAA!!" Tidak disangka-sangka, Cacha berlari melewati Zack dan memukul besi tajam yang digenggamnya pada kepala Colin.
BUAG!
"Lepaskan dia!" Cacha menggeram, kedua matanya menandakan kemarahan yang besar, sementara Zack sudah terbaring lemas di lantai.
Jordan, Paige, Rio, Zombila dan Rae, mereka semua terluka dan kehabisan tenaga, semua wajah yang ditampilkan semua orang adalah harapan. Harapan kepada Tuhan.
Tuhan ... Berikan aku kekuatan!
Kumohon ...
Colin kembali berdiri tegak, dia menatap wajah Cacha dengan senyuman meremehkan. "Siapa dirimu, hmm? Gadis kecil? Kau mau kusiksa?"
Mendengar hal itu, Cacha menundukkan kepalanya. Tetesan air mata menyertai isakan tangisnya.
"Le-lepaskan dia ...," Cacha membungkukkan badannya, dia berlutut lalu bersujud di lantai. "Jangan lukai dia ...."
Cacha! Kenapa kau bersujud!?
Colin melangkah pelan, mendekati Cacha. Aku merasakan aura bahaya pada dirinya. Kuharap Cacha tidak dilukai.
"Kau ingin dia selamat?" Colin mengangkat tubuh Cacha dengan lembut. Setelah Cacha sudah tegak kembali, betapa terkejutnya aku.
WUSHH!
BRAK!
BRAK!
Astaga, ini sungguh keterlaluan, Cacha berakhir seperti yang lainnya, terhempas kencang menabrak dinding kamar dengan sangat kencang.
Dan kurasa, dia pingsan.
Berikan ... Berikan aku kekuatan!
Colin berpaling, kembali mendekatiku. Aku terus bergerak-gerak.
"Jangan sakiti mereka!" teriakku pada Colin.
Colin terkekeh mendengar hal itu. "Lalu, kenapa kalian memaksaku untuk memakan obat itu? Sudah kubilang, itu hanya sia-sia saja! Kalian sama saja mencari mati jika tetap di dekatku!"
Aku terdiam sesaat, kenapa Colin sangat keras kepala sekali, padahal, obat itu untuk menyembuhkan dirinya.
"Memangnya, apa susahnya memakan obat itu, Hah!" Aku mencoba menjawabnya dengan teriakkan.
Sekilas, mataku memperhatikan teman-temanku yang sudah tidak berdaya disana, mereka semua tergeletak lemas di lantai bersama serpihan-serpihan tembok dan darah yang mengalir.
Zombila!
Rio!
Paige!
Rae!
Jordan!
Cacha!
Olivia!
Nori!
Melinda!
Zack!
Apakah kalian masih hidup!?
Aku memejamkan mataku, mencoba untuk tenang.
Suara langkah kaki Colin yang mengitari tubuhku terus terdengar.
Keheningan terus menyelimuti ruangan ini.
"Dewa ... Kehidupan ... Bangunkan mereka semua," Colin mendengar apa yang kugumamkan, lalu dia tertawa.
"Hahahaha! Dewa kehidupan? Apakah kau sedang berdoa? Hahahah!"
Aku terus diam.
Hening.
*
*
*
*
*
Secara pelan-pelan kubuka kedua mataku, ini sangat mengejutkan. Kini diriku sedang berdiri tegak di sebuah padang rumput, sangat luas sekali. Hembusan angin lembut membelai rambutku.
Aku disini sendirian?
Kenapa hanya diriku yang berada disini? Mengapa aku meninggalkan mereka semua?
Siapa yang membawaku kesini?
"Selamat datang, Biola Margareth."
Sebuah suara laki-laki muncul dari belakang tubuhku, tersontak, aku langsung membalikkan badan.
Seorang Pria berambut putih panjang, bertelanjang d**a, dan berbulu tersenyum padaku. Dia memiliki telinga seperti kucing dan juga ekor yang indah.
"Si-siapa kau! Kenapa diriku tiba-tiba disini!? Tempat apa ini?" Aku langsung memberikannya pertanyaan yang banyak, membuat mulutnya lagi-lagi tersenyum lebar, menunjukkan taring kecil padaku.
"Kau tidak mengenalku? Bahkan kau juga tidak tahu tempat ini? Biola Margareth? Apakah kau benar-benar tidak tahu?"
Bukannya menjawab, dia malah melontarkan pertanyaan lain padaku, hey, aku jelas-jelas tidak mengenalnya, apalagi padang rumput ini?
Entahlah, aku bingung. Melihatku kebingungan, pria itu tertawa. "Hahahaha! Jangan cemas, Biola, baiklah, aku akan menjawab beberapa pertanyaanmu. Aku memanggilmu ke tempat ini karena memang sudah waktunya, kau sudah ditakdirkan untuk bertemu denganku."
Aku mengernyitkan alis, siapa sih dia?
"Lalu, siapa kau sebenarnya?" tanyaku dengan lantang.
"Keyno Margareth, Ayah Kandungmu."
DEG!
"Ayah kandungku!?"
Aku terkejut, rasanya aku ingin menangis mendengar hal itu? Apa maksud dari semua ini, kenapa aku dipertemukan dengannya.
Teman-temanku sedang dalam keadaan bahaya, sementara diriku sedang asyik bertemu dengan Ayahku sendiri?
"Maaf, tapi, kembalikan aku ke tempat sebelumnya! Aku tidak punya waktu banyak sekarang!"
Mendengar hal itu, Ayahku-Keyno- terdiam sesaat, dia mengangguk mengerti. "Aku mengerti, tenanglah, teman-temanmu akan baik-baik saja disana, Biola," jawab Ayahku dengan suara yang begitu lembut.
"Baik-baik saja?" ulangku dengan ekspresi kesal, suaraku menggeram. Ayahku mengusap rambut merahku.
"Biola, kau cantik sama seperti Elsa, Ibumu," Ayahku mengecup keningku lembut. Rasa dingin menyeruak tepat di keningku.
Lalu, dia memelukku. Kehangatan membuatku lupa akan semua hal.
Inilah yang kuinginkan dari dulu, sebuah pelukan hangat dari seorang Ayah.
"Ayah?" panggilku padanya.
"Ya?"
"Aku ingin kau selamatkan mereka semua," kataku dengan gemetar. "Aku harap, kau melindungi semua teman-temanku, Ayah."
Tangannya mengusap punggungku yang berdebu. "Bahkan, sifatmu sama sepertiku, kau sangat menyayangi semua teman-temanmu, Biola. Kau memang mirip sepertiku,"
Aku menatap wajahnya. Dia sangat tampan. Aku masih belum percaya dengan pasti, tapi, berkat kehangatannya, dia berhasil membuatku luluh.
"Tenang saja, Biola, mereka semua masih tetap hidup, menunggumu kembali," ucap Ayahku.
Aku menegakkan kepalaku lalu melepaskan pelukannya. "Benarkah!?" Aku mencoba memastikan apakah perkataannya benar.
Ayahku mengangguk.
Lalu sebuah cahaya terang muncul di telapak tangannya.
Sebuah layar kecil terpampang kepadaku, apa ini?
"Sihir apa ini?" tanyaku antusias.
"Lihat saja, Biola."
*
*
*
Layar itu perlahan-lahan menayangkan Zombila yang sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita berambut cokelat.
Zombila tiba-tiba menangis. Kenapa dia menangis?
Lalu layar itu mengubah tampilannya, kini aku dapat melihat Paige yang sedang dicekik oleh seorang Pria.
Siapa yang mencekiknya?
Tampilannya berubah, memperlihatkan Rio yang sedang diinjak-injak oleh sekumpulan penyihir asing.
Lalu, berubah memperlihatkan Zintan yang sedang menangis dibelakang pohon, tubuhnya berdarah.
Kemudian, berubah lagi, memperlihatkan Rae yang tengah tenggelam.
Sementara itu, Ayahku tetap tersenyum melihat diriku terkejut dengan hal itu.
"Apa ini maksudnya! Kenapa kau menunjukkan semua penderitaan teman-temanku?"
Ayahku tersenyum lembut dan berkata, "Mereka semua membutuhkanmu, Biola. Mereka telah melewati masa-masa yang sangat menyakitkan dalam hidupnya, dibenci oleh saudara kandung, dijauhi oleh semua orang, semua penderitaan itu hanya dirimu yang dapat menghapusnya, Biola."
Ak-aku!?
"Kenapa harus aku?"
"Karena kau seorang Pemimpin, Biola."
DEG!
*
*
*