Tita menarik tangan Arkan dan duduk di bangku yang ada di sisi jalan kecil. Arkan belum bisa menetralkan perasaannya lagi, dan dia tidak menyangka tadi berbicara seperti itu di depan Thalia. Sebenarnya Arkan tidak ingin menyakiti Thalia dan menerima keadaan ini, tapi melihat raut wajah Danish yang terlihat bahagia, di tambah mendengar Alvin dan Lintang membahas pernikahan Danish dan Thalia, emosinya semakin memuncak.
“Maafkan aku, Lia. Bukan maksud aku menyakiti hatimu, sungguh aku tidak bisa melepasmu, tapi apalah dayaku, jika keadaannya seperti ini,” gumam Arkan dengan menyeka air matanya.
Tita melihat Arkan yang berkali-kali menyeka air matanya. Dia tahu, betapa sakitnya hati Arkan saat ini. Harus merelakan kekasihnya yang sangat dicintainya. Arkan harus merelakan Thalia menikah dengan saudara sepupunya, yaitu Danish. Itu semua karena vonis dokter yang menyatakan umur Danish tidak lama lagi. Penyakit yang Danis derita sejak Danish berusia dua belas tahun, kini terus menggerogotinya hingga dokter menyatakan kalau penyakit Danish sudah tidak bisa disembuhkan, dan dokter memvonis umur Danish tidak lama lagi.
Arkan semakin terisak, mengingat wajah Thalia tadi. Thalia menangis saat Arkan berkata seperti itu. Arkan sangat menyesalinya sudah berbicara seperti itu pada Thalia. Harusnya dia menguatkan Thalia, bukan menambah kesedihan Thalia di akhir waktu bersamanya.
“Tita, maafkan Kak Arkan yang sudah berbicara seperti itu pada Kak Lia. Kak Arkan sangat mencintai Kak Lia, Tita. Kakak tidak bisa seperti ini, sakit sekali rasanya,” ucap Arkan dengan diiringi isak tangisnya.
“Kak, jangan seperti ini. Tidak ada yang menginginkan semua ini tejadi, Kak. Aku tahu, cinta kalian sangat kuat, tapi keadaan sekarang seperti ini, Kak? Aku tidak habis pikir, papa dan mama mau menuruti Om Zi dan Tante Monic. Tita sebenarnya juga kecewa dengan mereka, Kak, tapi mau bagaimana lagi?” ucap Tita dengan mengusap punggung Arkan. Dia berusaha menenangkan laki-laki di sampingnya yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri.
“Tita, aku tidak menyangka akan seperti ini akhir kisahku dan Thalia,” ucap Arkan dengan memeluk Tita. Dia menangis hingga suaranya serak, dia menumpahkan semua sakit dan sedih di hatinya, hingga Tita pun ikut menangis merasakan apa yang sedang Arkan rasakan.
“Kak, kalau kakak dan Kak Lia berjodoh, percayalah, kalian akan bersama lagi,” tutur Tita.
“Itu semua mustahil Tita,” jawab Arkan.
“Tidak ada yang tidak mungkin, Kak. Jika Tuhan menghendaki, semuanya bisa terjadi. Semoga saja Kak Danish meninggal waktu akan menikah dengan Kak Lia,” ucap Tita dengan penuh kekecewaan.
“Husss...! Jangan bicara seperti itu, Tita,” ucap Arkan dengan melepaskan pelukan Tita.
“Habisnya, mau mati saja mintanya macem-macem. Iya kalau habis nikah sama Kak Lia langsung meninggal, kan Kak Lia masih utuh, kalau enggak mati-mati? Kasihan Kak Lia juga mengurus orang yang sakit-sakitan!” Tita semakin menumpahkan emosinya. Dia sangat membenci Danish, bukannya dia iba karena Danish sedang sakit keras, tapi dia sangat membenci Danish karena merepotkan semua orang.
“Harusnya mau mati itu beramal Shaleh, harusnya Danish merelakan orang yang ia cintai agar bahagia! Nah ini?! Malah bikin huru-hara! Kalau tidak ada hukum, aku suntik mati Danish!” umpat Tita yang membuat Arkan menatap Tita dengan serius dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tidak menyangka Tita akan berkata seperti itu.
“Kenapa, Kak? Gak usah heran Tita bicara seperti ini. Semua kan nyata, Kak. Iya, kan?” ucap Tita.
“Iya, sih. Tapi, kamu jangan berkata seperti itu. Tidak baik, Tita,” tutur Arkan.
“Kalau dia baik, aku ya bicara baik-baik. Nah dia baiknya di mana, Kak? Orang udah sekarat saja masih memikirkan urusan kawin!” ucap Tita dengan penuh kemarahan.
“Iya, kakak tahu itu, Tita,” ucap Arkan.
Arkan kembali diam dan memikirkan bagaimana nanti saat dia bertemu dengan Thalia di rumah Danish. Arkan tidak bisa memungkiri kalau dirinya sangat merindukan Thalia. Melihat Thalia tadi menangis, membuat hatinya sakit dan ingin memeluknya.
“Kak, ke rumah Om Zi, yuk?” ajak Tita.
“Hmmm... kakak masih ingin di sini, Ta,” ucap Arkan.
“Kak, kalau kakak gini, semua akan mengira kakak membenci Kak Lia. Kaka sayang sama Kak Lia, kan?” ucap Tita.
“Kak Arkan sangat menyayangi Kak Lia,” jawab Arkan.
“Ya sudah, ayok!” Tita mengajak Arkan kembali ke ruamh Danish. Tita dengan semangat menarik tangan Arkan agar dia mau kembali ke rumah Danish lagi.
Mereka berjalan untuk kembali ke rumah Danish sambil bercerita. Arkan sadar setelah ini, dirinya harus merelakan kebahagiaannya untuk Danish.
Tita mengajak Arkan masuk ke dalam dan bergabung dengan yang lainnya yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Arkan duduk di samping abahnya.
“Dari mana, Nak?” tanya Arsyad.
“Cari udara segar, Bah,” jawan Arkan.
Thalia memandangi Arkan dengan tatapan sendu. Lia duduk di tengah-tengah kedua orang tuanya, begitu juga Danish. Arkan pun sama, dia memandang Thalia dengan tatapan sendu dan penuh dengan kesedihan.
“Thalia mau keluar sebentar, Pa,” pamit Thalia.
Thalia berlari keluar. Dia sudah tidak bisa membendung air matanya. Melihat Arkan hatinya semakin sakit dan hancur. Dia menangis di teras rumah Danish. Menumpahkan rasa sakit dan perih dalam hatinya. Hubungannya dengan Arkan sudah tidak bisa diselamatkan lagi, karena semuanya sudah menentukan tanggal untuk hari pernikahannya dengan Danish.
“Arkan juga pamit keluar sebentar, Bah,” pamit Arkan.
“Kamu mau menemui Thalia?” tanya Danish.
“Itu bukan urusanmu! Dia masih kekasihku, selamanya masih kekasihku. Meski esok atau lusa kamu adalah suaminya!” jawab Arkan dengan meninggalkan ruang keluarga.
Arkan melihat Thalia yang sedang duduk di kursi teras dan terisak. Isakannya begitu menusuk gendang pendengar Arkan, dan membuat Arkan tidak ingin mendengar dan melihat wanita yang ia cintai menangis.
Arkan berlutut di depan Thalia yang sedang menangis. Thalia menundukan kepalanya dan menopang wajahnya dengan kedua tangannya.
“Sayang....” Arkan memanggil Thalia dengan suara parau. Air matanya luruh melihat Thalia yang sudah kacau keadaannya karena cinta yang menyakiti hatinya.
“Akan....” Thalia memeluk Arkan dan menangis di pelukannya. Isakannya semakin keras, dia tidak bisa lagi membendung tangis dan air matanya.
“Aku tidak mau menikah dengan Danish! Aku tidak mau, Arkan!” Thalia mengeratkan pelukannya pada laki-laki yang sangat ia cintai.
“Bawa aku pergi, Arkan, aku mohon.” Ucapan Thalia sedikit melemah, dia memohon Agar Arkan mau membawanya pergi menjauh dari masalah yang sedang ia hadapi.
“Lia, kalau aku tidak memandang orang tua kita, aku akan bawa kamu pergi, Sayang. Aku akan bawa kamu pergi, kita menikah, kita bahagia, tanpa merasakan sakit dan perih seperti saat ini. Tapi, aku menghargai orang tua kita. Kamu masih memliki orang tua yang lengkap, aku juga tidak ingin merusak nama baik keluarga kamu dan keluargaku,” tutur Arkan.
“Sakit sekali, Arkan. Aku ingin mati saja. Kalau bunuh diri tidak dilarang dan tidak dosa, aku akan melakukannya. Lebih baik aku mati, daripada aku menanggung beban seperti ini,” ucap Thalia dengan terisak di pelukan Arkan.
“Jangan bicara seperti itu, aku pun sama. Kalau bunuh diri tidak dosa, aku ingin mati bersamamu sekarang juga, Sayang.” Arkan masih memeluk Thalia. Dia pun menangis, merasakan apa yang akan terjadi nanti setelah ini.
“Arkan, lusa aku dan Danish akan menikah,” ucap Lia.
“Aku sudah tahu itu, Sayang. Sampai kapan pun, aku akan tetap mencintaimu, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku berjanji dengan abah dan bunda, aku akan menutup hatiku untuk perempuan lain. Hanya kamu yang aku sayangi dan aku cintai, meski raga kita tak bisa bersatu,” ucap Arkan dengan memandangi wajah Thalia yang sendu.
“Aku memang akan menikah dengan Danish, tapi aku janji Arkan, aku tidak akan memberikannya pada dia. Aku tidak mau, Arkan. Aku hanya ingin kamu, bukan dia atau yang lain.” Thalia menangis lagi, dia merasa hidupnya sudah hancur, apalagi tinggal hitungan hari saja dia akan menikah dengan Danish.
“Kamu tidak boleh seperti itu, Sayang. Bagaimanapun, kamu akan menjadi istri Danish,” tutur Arkan.
“Tidak, aku tidak akan memberikannya pada siapapun, kecuali kamu, hanya kamu, aku milikmu, meski ragaku tidak bisa bersama denganmu,” ucap Thalia.
Mereka berbicara cukup lama di teras rumah Danish. Danish sebenrnya dari tadi mendengarkan percakapan mereka, tapi dia tidak ingin keluar, mengganggu mereka yang sedang melepas rindu. Meski nantinya Thalia akan menjadi istrinya, tapi dia tahu, cinta Thalia hanya untuk Arkan.
“Aku tidak tahu, aku harus bahagia atau sedih. Lusa aku akan menikahimu, Thalia. Tapi, hati kamu selalu untuk Arkan, dan selamanya untuk Arkan,” gumam Danish dengan melihat Thalia dan Arkan di terasnya. Danish pun menyaksikan kemesraan Arkan dan Thalia yang sedang menumpahkan kerinduannya.
^^^
Malam harinya, semua sudah berkumpul di ruang makan. Leon dan keluarganya juga masih berada di rumah Zidane. Merka akan membahas soal pernikahan Danish dan Thalia yang akan di lakukan lusa.
Ternyata semua sudah dipersiapkan sejak seminggu yang lalu untuk mengurus dokumen pernikahan mereka. Thalia memang tahu ini akan terjadi, tapi dirinya tidak menyangkan akan secepat ini.
Satu minggu yang lalu, pihak keluarga Leon dan Zidane sudah mempersiapkan dokumen untuk pernikan Thalia dan Danish. Thalia tahu itu, tapi dia mengira itu tidak dilakukan dalam waktu dekat ini. Dia ingin satu atau dua bulan lagi menikah dengan Danish. Tapi, semua sudah menentukan tanggal, dan menyiapkan semuanya.
“Ma, Pa, dan lainnya yang ada di sini. Lusa Thalia akan menikah dengan Danish, dan ini adalah keputusan kalian semua, tanpa memberitahukan Thalia kalau lusa Thalia akan menikah. Maaf, Lia ingin Arkan masih tetap di sini, sampai Lia sah menjadi istri Danish. Dan, maaf, Lia ingin menghabiskan waktu bersama Arkan, dua hari ini. Tolong kalian mengerti!” Thalia berbicara dengan penuh penekanan.
“Tapi kamu mau jadi istri Danish,” ucap Monic.
“Iya, Lia sadar itu, tapi Lia selamanya tidak akan mencintai Danish, putra kesayangan tante!” jawab Thalia dengan penuh kemurkaan.
“Lia, jaga bicaramu!” ucap Leon dengan geram.
“Jaga bicara? Harusnya papa sadar, gimana rasanya menjadi Lia!” ucap Lia dengan meninggalkan ruang makan.
“Apa kamu yang mengajari Lia seperti ini?!” tanya Leon pada Arkan.
“Maaf, Om. Aku sama sekali tidak tahu menahu soal ini, yang aku dan Lia tahu, kalian semua ingin menang sendiri!” Arkan menyusul Lia dan meninggalkan makan malamnya.
“Arkan...!” Arsyad memanggil putranya dengan keras.
“Abah mau ikut-ikutan mereka? Kasih kesempatan Arkan untuk bicara dengan Lia, sebelum Lia menjadi istri orang!” ucap Arkan dengan meninggalkan ruang makan.
Monica tersulut emosinya. Dia sangat marah melihat perilaku Thalia dan Arkan.
“Nisa, Rere, kalian tidak bisa mendidik anak kalian?!” ucap Monica dengan meletakan sendok dan garpunya dengan kasar di atas piring.
“Maaf, Monica, yang tidak bisa mendidik anak kamu atau aku dan Annisa?” sahut Rere.
“Kamu seharusnya bersyukur, anakku mau menikah dengan anakmu. Dan, dia rela sakit demi permintaan kamu!” imbuh Rere dengan yang tak kalah murkanya.
“Rere, jangan seperti itu bicaranya,” ucap Annisa.
“Nis, anak kita terluka! Apa aku harus diam?! Anak kita yang terluka, tapi dia bicara seenaknya. Apa aku salah kalau aku marah? Aku dan kamu dianggap dia tidak bisa mendidik anak kita, Nis! Padahal kita mendidik mereka untuk melapangkan d**a dan rela berkorban demi anak dia!” Rere membanting sendoknya di atas piring dan langsung meninggalkan ruang makan.
“Percuma aku membujuk Lia, aku melihat anakku menderit, kalau kamu menganggap aku dan Annisa tidak bisa mendidik anak kami!” imbuh Rere dengan menatap sengit wajah Monica.
“Ma... tenangkan hatimu,” ucap Leon dengan mengejar Rere.
“Papa bilang, mama harus tenang? Mama mengalah untuk kepentingan mereka dengan mengorbankan Thalia, tapi mereka bicara seenak jidat mereka, Pa!” jawab Rere dengan amarah yang semakin memuncak.
“Iya, papa tahu, tapi mama tidak usah balik berbicara seperti itu,” tutur Leon.
“Oke, aku sekarng tahu, ternyata kamu memang membela teman kamu itu, daripada istri dan anakmu!” tukas Rere.
“Rere, jangan bicara seperti itu dengan suamimu,” tutur Arsyad yang menghampiri mereka.
“Arsyad, anak kita seperti itu, mana tega aku melihat Lia seperti itu, dan dia?! Dia papanya tapi tidak mengerti perasaan anaknya!” Rere semakin tersulut emosinya.
“Rere, aku pun tidak ingin melihat anak-anak kita menderita batinnya, tapi mau bagaimana lagi, Re? Semua harus seperti ini,” ucap Annisa dengan lembut di depan Rere.
“Nis, aku sayang Arkan, aku sayang Lia. Aku tidak ingin melihat mereka menderita.” Rere memeluk Annisa dengan menangis. Annisa tahu apa yang di rasakan Rere, tentunya sama dengan apa yang ia rasakan juga.
“Kita sama-sama merasakan sakit seperti ini, Re. Sama seperti Lia dan Arkan sakitnya. Kita hanya bisa pasrah. Sudah, semua ini sudah terjadi, pernikahan Thalia lusa dilaksanakan. Biar Arkan dan Thalia menyelesaikan persoalan hatinya. Aku percaya mereka kuat, Re,” ucap Annisa dengan memeluk Rere dan sama menangis bersama Rere.
Leon baru sadar, ternyata selama ini hati istrinya pun sakit melihat anaknya seperti ini. Memang ini keputusan Leon dan Zidane, juga Monica, dengan embel-embel bisnis tentunya. Namun, Leon, Zidane, dan Monica merahasiakan semua ini dari semuanya.
“Ya Allah, apa yang sudah aku lakukan? Aku rela melepaskan anak gadisku untuk Danish, hanya karena sebuah perusahaan. Harusnya ini tidak terjadi, tapi aku melakukan ini dan menerima ini karena Monica dan Zidane memohon hingga berlutut di hadapanku, aku tuidak tega melihatnya. Mereka juga rela menyerahkan semua aset perusahaannya padaku, demi meminta Thalia untuk Danish,” gumam Leon.
Arsyad tahu, ini semua pasti ada unsur yang lain. Tidak mungkin Leon akan melepaskan putri kesayangannya untuk orang yang tidak dicintainya, apalagi sakit-sakitan.
“Aku tidak mau menduga-duga hal yang negatif, tapi aku merasa ada keganjalan dengan sikap Leon. Aku sedikit tidak percaya dia rela melepaskan anak gadis kesayangannya untuk Danish, hanya karena merasa iba dengan Danish. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan bersama dengan Zidane dan Monic. Mereka bersahabat dari dulu, besar kemungkinan, mereka melakukan hal untuk membuat Leon merelakan Thalia menikah dengan Danish,” gumam Arsyad.