Chapter 12 - Menyaksikan Kebahagiaanmu

1542 Kata
Thalia sudah sedikit lega, menumpahkan semua emosinya di depan Danish. Dia tidak peduli dengan keadaan Danish saat ini. Sedikit lega, dia bisa menumpahkan rasa kecewanya pada Danish. Thalia tahu, tutur katanya tadi sangat menyakitkan untuk Danish, dirinya pun sakit, karena Danish memaksanya untuk menikah dengan Danish. Thalia merasa semua orang yang ada di sekelilinya sangat kejam sekali, memaksanya menikahi laki-laki yang menurutnya sangat terobsesi pada dirinya. "Ini benar-benar kejam, semunya kejam. Dan, ini akan benar-benar terjadi, pernikahan terkejam yang akan aku rasakan nanti," gumam Thalia. ^^^ Satu bulan telah berlalu, Arkan masih belum ingin ke Berlin untuk menemui Thalia dan juga menemui keluarga Danish. Dia merasa sia-sia, dan merasa percuma saja menemui mereka. Namun, abah dan bundanya terus membujuk dia agar mau ke Berlin untuk menyrlesaikan semuanya. Dan, akhirnya Arkan pun mau ke Berlin bersama bunda dan abahnya. Arkan bersama kedua orang tuanya sudah berada di dalam mobil yang menjemput mereka di Bandara. Mereka sudah sampai di Berlin. Arkan sebenarnya tidak ingin menemui Thalia, karena semua akan sia-sia. Percuma saja bertemu tapi dirinya tidak akan bisa memiliki Thalia dan harus melepaskan Thalia untuk Danish. “Bunda, Abah, untuk apa kita ke sini? Percuma saja kita ke sini,” ucap Arkan. “Nak, kita ke sini akan menyelesikan persoalan kamu dan Thalia. Abah tidak ingin ada kesalahpahaman, dan kita juga harus mengetahui keadaan Danish di sana,” ujar Arsyad. “Kalau kamu tidak mau ke sini, kamu tidak akan tahu keadaan Danish yang sebenarnya. Dia hanya pura-pura sakit, atau benar-benar sakit. Kita harus tahu semua itu, Nak. Jika memang Danish separah yang Tante Monic dan Om Zi katakan, kita kan jadi tahu, kenapa Om Zi dan Tante Monic memaksa kamu melepas Thalia,” jelas Annisa. “Terserah, kalian!” tukas Arkan. Annisa merangkul anaknya, dia memeluk dan mencium puncak kepalanya. Annisa tidak pernah menyangka, semua akan berakhir seperti ini. Ketakukan Annisa menjadi nyata, dulu dirinya khawatir saat melepas Thalia kembali ke Berlin, dan sekarang ketakutan itu benar terbukti. “Ya Allah, ini yang aku takutkan, ternyata menjadi nyata, sekarang Thalia dan Arkan tidak akan mungkin bisa bersatu, apa aku harus marah dan kecewa dengan Rere juga Zidane? Aku juga tahu bagaimana posisi mereka,” gumam Annisa. Mereka sudah sampai di depan rumah Zidane. Setelah kepergian ayahnya, Zidane menempati rumah milik ayahnya. Ya, rumah Paman Diki, yang dulu Annisa tempati saat dia ingin menentramkan pikirannya karena soal Almira yang cemburu dengan Arsyad. “Kenapa, bunda ingat dulu?” tanya Arsyad yang melihat Annisa sedikit enggan melangkah masuk ke dalam rumah pamannya. “Enggak, rasanya aneh, setiap aku ke sini, selalu ada saja masalahnya,” jawab Annisa. “Sudah jangan berkata seperti itu,” ucap Arsyad. “Arkan, ayo turun,” ajak Arsyad. Arkan dengan malas-malasan turun dari dalam mobil. Dia tidak mengerti, kenapa masalahnya akan serumit ini. Mereka langsung mengetuk pintu rumah Zidane yang terlihat sangat sepi. Alvin dan Lintang juga sudah berada di rumah Zidae sejak kemarin, karena mereka juga akan membahas soal pernikahan Danish dan Thalia. “Arsyad...?” sambut Alvin dan Lintang yang sudah berada di rumah Zidane. “Hai, Al,” jawab Arsyad. “Syukur Alhamdulillah, kalian jadi ke sini, ayo masuk,” ajak Alvin. Alvin mempersilakan Arsyad, Annisa, dan Arkan masuk ke dalam rumah. Arkan duduk di sisi abahnya. Alvin memanggil Zidane dan Monica yang masih berada di kamar Danish. Sedangkan Lintang membuatkan minuman, juga menyiapkan makanan untuk mereka. “Sampai kapan di sini, Bah? Kalau besok sudah selesai urusannya, kita langsung pulang saja ya, Bah?” ucap Arkan dengan gelisah dan tidak ingin lama-lama di Berlin. “Kamu kira pulang dari sini seperti Jakarta-Bandung? Ini  di Berlin, Arkan!” tegas Arsyad. “Arkan tahu, Bah. Arkan tidak suka basa-basi. Arkan sudah bilang, Arkan merelakan Thalia untuk Danish, lalu apa gunanya kita ke sini?” ucap Arkan dengan beranjak dari tempat duduknya dan ingin keluar dari rumah Zidane. “Mau ke mana? Duduk!” Arsyad dengan tegas menyuruh Arkan duduk kembali. “Maksa sekali, sih!” tukas Arkan. “Abah, Arkan, kenapa kalian ribut saja dari tadi?” ujar Annisa. “Abah yang mulai, Bun!” tukas Arkan. “Kamu yang dinasihati susah!” timpal Arsyad. “Kalian bener-bener, ya?!” ucap Annisa dengan sedikit menaikan nada bicaranya. “Sudah, bundamu sudah keluar tanduknya, nurut sama bunda!” ucap Arsyad. “Lagian abah, maksa! Enggak peka sama perasaan anaknya!” timpal Arkan. “Stop...! Kalian itu, ya?! Bikin bunda pusing!” Annisa melerai Arkan dan Arsyad yang dari tadi berdebat. Annisa menggerakkan manik matanya untuk melihat sekeliling ruang tamu rumah Zidane. Masih sama tatanannya seperti dulu, hanya cat dinding saja yang berubah, sofa dan hiasan lainnya yang ada di ruang tamu juga masih sama. “Kangen di sini, Bunda?” tanya Arsyad. “Enggak, sih,” jawab Annisa. “Abah kira bunda kangen suasana di sini. Main kabur saja, aku kan yang di salahin Umminya Najwa sama Raffi,” ucap Arsyad. “Idih, siapa yang kabur! Aku kan pamit sama semuanya, Abah,” ujar Annisa. “Tapi kan tetap saja, bunda pergi karena masalah itu, kan?” ucap Arsyad. “Jangan dibahas, Bah. Nanti aku malah ingat yang enggak-enggak,” ujar Annisa. “Cie... lagi mengenang masa lalu, ya?” ledek Arkan. “Gak usah ngeledek!” sahut Arsyad. “Kenyataan, kan?” timpal Arkan. “Iya, kenyataannya, Bunda kabur, tapi balik lagi, karena takut mau nikah sama bule,” ledek Arsyad. “Apaan, sih, Bah!” ucap Annisa dengan meninju lengan Arsyad. “Ganteng abah daripada Om Leon,” sambung Arkan. “Emang, makanya bunda mau sama abah,” ucap Annisa sambil mencubit pinggang Arsyad. “Sakit, Bunda...!” Arsyad mengusap pinggangnya yang di cubit Annisa. Meski hati Arkan masih sakit, tapi dia masih sering bercanda abah dan bundanya. Dia sebenarnya tidak ingin larut dalam kesedihan perihal Thalia dan Danish. Arkan merasa, mungkin ini sudah takdir yang Allah berikan padanya. Jalan hidupnya sudah ditetapkan Tuhan sedemikian rapi, hingga rencana yang ia susun sangat rapi dan indah bersama Thalia, musnah seketika. Benar, rencana Allah lah yang paling baik. Dan, mungkin ini yang terbaik untuk Arkan dan Thalia, mereka harus berpisah. Lintang membawakan minuman dan beberapa makanan untuk menyuguh keluarga Arsyad. “Silakan Annisa, Arsyad, Arkan,” ucap Lintang. “Terima kasih,” jawab mereka. “Sepertinya kalian sedang seru mengobrol,” ucap Alvin. “Ya, seperti ini, Vin. Setiap hari kita memang seperti ini, hanya bertiga saja, bercanda, sedih, senang, kita rasakan bertiga,” ucap Arsyad. “Arsyad....” Zidane keluar bersama Monica dan Danish, mereka langsung menyambut Arsyad. “Bagaimana keadaan kamu, Danish?” tanya Arsyad. “Alhamdulillah, Om. Masih seperti ini,” jawab Danish. “Harus lebih sehat dong, kan mau menikah,” timpal Arkan. “Iya, harus,” ucap Danish. “Akhirnya kamu mau datang ke sini juga, Arkan,” imbuh Danish. “Ya, aku ke sini, hanya untuk memberikan hak ku untuk kamu!” tegas Arkan. “Arkan, jangan seperti itu bicaranya,” tutur Arsyad. “Memang kenyataannya kan, Bah? Kita ke sini untuk memberikan tunanganku pada Danish? Dan melihat dia menikah dengan tunangan Arkan? Kalian pikir hanya dia yang sakit?” Arkan pergi keluar meninggalkan ruang tamu. “Arkan, mau ke mana?!” teriak Annisa. “Arkan....!” Arsyad juga teriak memanggil Arkan. “Arkan mau cari udara segar!” jawabnya dengan pergi meninggalkan mereka. Arsyad tidak menyangka Arkan akan seperti itu. Arsyad paham, bagaimana perasaan Arkan saat ini. Seharusnya dia tidak memakasakan Arkan untuk ke Berlin, karena pasti akan seperti ini kejadiannya. Arkan berpapasan dengan Thalia dan kedua orang tuanya di teras rumah. Arkan menatap Thalia dengan penuh kekecewaan dan kesedihan dalam hatinya. Begitu juga Thalia, dia terpaku menatap Arkan yang sedang menaatap dirinya. Arkan terseyum dan mendekati Thalia yang berdiri di tengah-tengah kedua orang tuanya. Di bekalang Thalia ada Tita yang juga ikut ke rumah Zidane. “Hai Thalia, lama tidak bertemu, dan kita bertemu dengan keadaan seperti ini. Selamat, ya? Ternyata aku diundang ke sini hanya untuk menyaksikan kalian menikah saja. Ini lucu Thalia, sangat lucu. Aku harus menyaksiakan kebahagiaanmu, menyaksikan orang yang aku cintai menikah dengan orang lain,” ucap Arkan pada Thalia dan langsung meninggalkan Thalia dengan orang tuanya. “Kak Arkan, tunggu!” Tita mengejar Arkan yang tidak tahu mau ke mana. Thalia menangis di pelukan Rere, dia tidak menyangka Arkan menyapanya seperti tadi. Hati Thalia semakin hancur karena melihat Arkan yang seperti tadi. Leon melihat Tita masih berjalan di samping Arkan yang tidak tahu mau ke mana. ^^^ Tita masih mengikuti Arkan, dia berjalan di sisi Arkan yang masih mendiaminya. “Kak, stop!” ucap Tita. “Apa?!” tukas Arkan. “Kak Arkan memang tahu daerah sini?” tanya Tita. “Enggak!” jawabnya dengan ketus. “Kak, duduk di sana, yuk?” ajak Tita. Tita menarik tangan Arkan dan duduk di bangku yang ada di sisi jalan kecil. Arkan belum bisa menetralkan perasaannya lagi, dan dia tidak menyangka tadi berbicara seperti itu di depan Thalia. Sebenarnya Arkan tidak ingin menyakiti Thalia dan menerima keadaan ini, tapi melihat raut wajah Danish yang terlihat bahagia, di tambah mendengar Alvin dan Lintang membahas pernikahan Danish dan Thalia, emosinya semakin memuncak. “Maafkan aku, Lia. Bukan maksud aku menyakiti hatimu, sungguh aku tidak bisa melepasmu, tapi apalah dayaku, jika keadaannya seperti ini,” gumam Arkan dengan menyeka air matanya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN