Chapter 14 - Aku Ikhlas

2525 Kata
Arsyad tahu, ini semua pasti ada unsur yang lain. Tidak mungkin Leon akan melepaskan putri kesayangannya untuk orang yang tidak dicintainya, apalagi sakit-sakitan. “Aku tidak mau menduga-duga hal yang negatif, tapi aku merasa ada keganjalan dengan sikap Leon. Aku sedikit tidak percaya dia rela melepaskan anak gadis kesayangannya untuk Danish, dengan embel-embel iba dengan Danish. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan bersama dengan Zidane dan Monic. Mereka bersahabat dari dulu, besar kemungkinan, mereka melakukan hal untuk membuat Leon merelakan Thalia menikah dengan Danish,” gumam Arsyad. Arsyad melihat sikap Leon yang terlihiat sangat kesal karena Thalia keluar dari ruang makan bersama Arkan. Namun, Arsyad sebisa mungkin menepikan perasaan itu dan terlihat biasa saja seperti tidak ada apa-apa. “Syad, aku mohon, jangan biarkan Arkan membawa Thalia pergi. Aku mohon, beri Danish kesempatan untuk bersama Thalia,” ucap Zidane. “Sebenarnya aku tidak pernah mau ikut campur soal hubungan mereka, tapi sebagai orang tua, aku hanya bisa memberi arahan yang baik untuk putraku. Biar mereka menyelesaikan masalahnya dulu. Mereka butuh bicara berdua,” jawab Arsyad. “Butuh bicara berdua? Kami menyuruh kalian ke sini bukan untuk memberi kesempatan mereka bicara berdua, Syad! Itu malah akan mempersulit keadaan! Lusa putriku akan menikah dengan Danish, dan sekarang Arkan membawa Thalia pergi! Apa itu yang disebut menyelesaikan masalah?!” ucap Leon dengan meninggikan suaranya. “Kamu tidak mengerti perasaan anak, ya? Biar mereka bicara, aku percaya Arkan tidak sepicik itu! Arkan lelaki yang tahu diri!” tegas Arsyad dengan guratan wajah penuh kekecewaan. “Atau jangan-jangan kalian merencanakan sesuatu, bukan karena iba dengan keponakanku yang sakit ini saja, melainkan ada hal lain yang membuat kamu menyerahkan putrimu untuk laki-laki yang tidak ia cintai, apalagi laki-laki yang sedang sakit.” Akhirnya Arsyad mengucapkan hal yang tidak ingin ia ucapkan pada Leon. “Jaga ucapanmu, Arsyad!” tukas Monica dengan memukul meja makan. “Aku bicara dengan Leon, bukan dengan anda Monica!” Arsyad semakin jengkel dengan semuanya. “Mau bicara dengan siapapun, aku juga berurusan dengan semua ini!” balas Monica. “Apa jangan-jangan benar dugaanku, kalian ada main belakang?! Atau perusahaan yang jadi taruhan untuk pernikahan mereka. Jadi ingat saat kamu akan menikahi Annisa, kamu memorak-porandakan perusahan Annisa yang di bangun di sini,” ucap Arsyad dengan menatap sinis Leon. “Ingat Zidane, perusahaan yang kamu kelola, adalah perusahaan yang ayahnya Annisa titipkan! Jangan main-main soal itu!” tegas Arsyad. “Syad, jangan seperti itu, ayahnya Annisa sudah memberikan sebagian perusahaannya pada papahku,” imbuh Alvin. “Sebagian, Vin. Itu artinya sebagian milik Annisa. Tapi, kami tidak pernah mau mengungkit soal itu. Kami tidak kekurangan saham atau kekayaan lainnya. Karena papaku tidak pernah mengajariku untuk berbuat curang, apalagi soal politik di sebuah perusahaan,” jelas Arsyad. Semua terdiam mendengar penuturan Arsyad yang sudah mulai curiga dengan sikap Leon, Zidane, dan Monica. Arsyad hanya ingin anaknya bahagia, entah itu dengan atau tanpa Thalia. Dari kecil, Arsyad selalu di didik dengan penuh kelembutan dari kedua orang tuanya. Meski banyak yang mendzolimi keluarganya, tapi dia tidak pernah membalas dengan kekerasan sedikitpun. Arsyad dan Annisa keluar, mereka duduk di taman yang dekat dengan rumah Zidane sambil menunggu Arkan dan Thalia yang belum kunjung pulang. Annisa tahu suaminya sedang diterpa kemarahan. Perasaan Arsyad selalu kuat dan benar, dan Annisa tahu itu. Semua saudaranya gila dengan harta, Annisa yakin, pasti ada embel-embel dibelakangnya, hingga Leon menyetujui Thalia menikah dengan Danish. “Abah... abah yang sabar, ya? Jangan kebawa emosi, bunda takut abah malah jadi sakit.” Annisa menenangkan suaminya, dia dari tadi duduk di samping suaminya dan menggenggam tangannya. “Abah sayang sama Arkan. Abah tidak ingin melihat putra abah sakit hati. Bunda pasti tahu rasanya mencintai seseorang tapi tidak memilikinya,” ucap Arsyad dengan menyeka air matanya. “Bunda tahu abah kecewa dengan mereka, tapi jangan sampai kebawa emosi seperti tadi. Biar itu urusan mereka mau bagaimana, yang penting adalah Arkan, Abah. Kita harus menguatkan Arkan. Bunda hanya tidak ingin lihat abah sakit memikirkan ini. Karena Arkan sangat membutuhkan kita,” tutur Annisa. “Bunda, dari Arkan di kandungan bunda, Abah tidak ada di sisi bunda, dia tidak pernah di sapa abahnya, dia baru merasakan ada aku saat usia delapan bulan di kandungan bunda. Abah sayang sekali sama Arkan. Sekarang, dia ingin bahagia dengan Thalia, tapi semua seperti ini. Bagaimana abah tidak marah dengan mereka, Bunda? Mereka sangat licik sekali,” ucap Arsyad. “Biar Allah yang membalas. Kita masih ada Allah, kita harus kuat berada di samping Arkan. Jangan terpancing emosi, Bah. Masalah perusahaan bunda di sini, bunda tidak mempermasalahkan itu. Bunda masih ada yang lainnya, butik bunda masih jalan, restoran bunda dan abah juga tambah rame. Yang penting, anak-anak kita bahagia, untuk apa memikirkan harta, kalau anak-anak kita tidak bahagia,” ujar Annisa. “Terima kasih, Bunda. Kamu memang selalu membuat abah tenang. Abah percaya, pasti Arkan bisa kuat menerima ini. Maafkan abah yang tadi sedikit terbawa emosi,” ucap Arsyad dengan merangkul istrinya. “Gitu dong, jangan emosian, nanti cepet tua,” ucap Annisa dengan menarik hidung Arsyad. “Kalau abah tua, terus rambut abah sudah memutih semua, kulit abah makin keriput, apa bunda mau cari yang lain?” ledek Arsyad. “Kok bicaranya gitu? Meluluhkan hati seorang Dosen terganteng di kampus tidak semudah itu, Pak,” ucap Annisa dengan tersenyum. “Kok gitu?” tanya Arsyad. “Iya, susah sekali, memabuat kamu jatuh cinta lagi pada seorang mahasiswa kamu yang bernama Annisa,” jawab Annisa. “Aku pernah berpikir, aku tidak akan pernah lagi mencintai wanita lain selain Almira, dia wanita yang sempurna sekali, dia juga yang bisa mengalihkan duniaku, yang tadinya aku sangat terobsesi pada dirimu. Hingga aku kabur, karena aku tidak ingin melihat kamu dan Arsyil. Tapi, kedatangan Almira membukakan hatiku, dan kepergiaanya menyisakan luka yang dalam, karena dia menginginkan kamu menikah denganku, lewat sebuah surat untuk Najwa dan Shifa. Aku tidak pernah menyangka, aku akan sulit menumbuhkan cinta untukmu lagi, Bun,” jelas Arsyad. “Lalu sekarang?” tanya Annisa. “Jangan ditanya, kalau tidak cinta enggak akan ada Arkan,” jawab Arsyad. “Terima kasih, Sayang. Sudah membuat aku sedikit lega. Pintar sekali kamu membuat hati suami lega,” ucap Arsyad. “Itu kewajibanku, Abah,” jawab Annisa. Arsyad masih mengobrol di taman dengan istrinya, ditemani lampu temaran di sekitarnya. Mereka menunggu Arkan dan Thalia yang masih belum pulang. Entah kemana mereka, semua orang tidak tahu. Semua orang menyalahkan Arkan, karena Thalia masih saja belum pulang hingga pukul sembilan malam. ^^^ Arkan dan Thalia sedang duduk di taman. Thalia dari tadi memohon pada Arkan untuk membawanya pergi dari Berlin. Tapi, Arkan memberi pengertian pada kekasihnya, yang memang masih terhanyut dalam kesedihan. “Lia, kalau kita kabur, yang kena imbasnya keluarga kita. Aku sangat mencintaimu, tapi cinta tidak seperti ini juga,” tutur Arkan. “Jadi, kamu rela aku menikah dengan Danish?” tanya Thalia dengan penuh kekecewaan. “Aku harus bagaimana lagi, Lia? Aku hanya bisa seperti ini, merelakan kamu menikah dengan sepupuku. Tanggal pernikahan kalian sudah ditentukan, Lia,” ucap Arkan. “Kamu tahu, papa, Om Zi, dan Tante Monic, mereka kerja sama untuk menikahkan aku dengan Danish, dengan embel-embel perusahaan!” ungkap Thalia. “Maksud kamu?” tanya Arkan. “Papa meminta Om Zi sebagian perusahaannya di kelola papa, aku melihat sendiri perjanjiannya. Papaku jahat, Arkan!” Thalia kembali menangis dipelukan Arkan. Arkan sejenak terdiam, mendengar penuturan Thalia seperti itu. Dia tidak menyangka kalau papanya Thalia masih tergiur hal yang seperti itu, padahal beliau sudah memiliki perusahaan yang sangat besar. “Kamu salah baca mungkin?” tanya Arkan. “Aku bukan anak kecil, Arkan! Jelas aku membacanya, apa kamu tidak percaya?” jawab Thalia. “Arkan, aku mohon, bawa aku pergi,” pinta Thalia lagi. “Lia, aku tidak bisa. Ini sangat berisiko. Nantinya aku akan di sangka membawa kabur anak gadis orang, Lia. Lebih tepanya membawa kabur calon istri orang, meski kamu tunangan aku,” jelas Arkan. “Lalu? Kamu mau membiarkan aku menikah dengan Danish?” tanya Thalia. “Aku tidak ikhlas, Lia. Tapi, aku bisa apa?” ucap Arkan. “Aku mencintaimu, Arkan. Meski nantinya aku harus menikah dengan Danish, selamanya cinta ini untuk kamu, tidak akan berubah dan tidak akan terganti,” ucap Thalia dengan memeluk Arkan. “Aku tidak tahu, Lia. Sakit sekali hati ini. Aku pun sangat mencintaimu, aku janji, suatu hari nanti, entah kapan waktunya, aku akan kembali padamu. Temani Danish, temani dia hingga dia berpulang dengan tenang. Aku mencintaimu, tidak akan pernah terganti, kamu tetap di hatiku. Aku akan menutup hatiku untuk wanita lain, Aku janji itu, Thalia,” ucap Arkan dengan sungguh-sungguh di hadapan Thalia. Dia mengecup kening Thalia dan memeluknya dengan erat. “Aku juga janji, meski aku menjadi istri Danish, kau tidak akan memberikannya pada dia, Arkan,” ucap Thalia. “Jangan berjanji seperti itu, menikah itu sakral, kamu menolaknya dosa, Lia,” tutur Arkan. “Aku tahu itu, tapi yang lebih berdosa adalah mereka, yang membuat kita berpisah,” jawab Thalia. “Arkan, boleh aku meminta sesuatu?” tanya Thalia. “Minta apa?” jawab Arkan. “Cium aku, selayaknya kamu mencium kekasih halal kamu,” pinta Thalia. “Maksudmu?” tanya Arkan. “Cium bibirku, Arkan,” jawab Thalia. “Lia, itu tidak mungkin aku lakukan, aku ingin mencium kamu nanti, kalau....” Arkan menjeda ucapannya. “Kalau kamu menjadi suamiku? Iya?” tukas Thalia. “Arkan, aku mau jadi istri orang,” pungkasnya. “Lia, tapi,” ucapan Arkan terhenti karena Thalia mengecup bibir Arkan. “Lia, jangan seperti ini,” ucap Arkan. “Please, sebelum aku jadi istri orang. Kamu rela aku di cium Danish? Enggak, kan?” ujar Thalia dengan kesal. “Hussshh... diam, kamu jangan macam-macam, kata Tita ciuman bisa hamil,” ucap Arkan dengan tersenyum dan memungut bibir Thalia, mengecupnya dengan lembut, dan menyesapnya berkali-kali. Ciuman mereka semakin dalam, hingga lenguhan lembut dan kecapan bibir mereka yang beradu terdengar lembut di telinga mereka. Arkan tidak menyangka akan seperti ini kisah cintanya dengan Thalia. “Love you,” bisik Arkan lembut di telinga Thalia. “Love you more,” balas Thalia. Arkan memeluk Thalia dengan erat. Dia kembali meneteskan air matanya di pelukan Thalia. Begitu juga dengan Thalia. Dia menangis dengen memeluk Arkan. “Aku ikhlas, Sayang,” ucap Arkan dengan serak. “Maafkan aku, Sayang. Seharusnya kepergianku ke Berlin untuk Kuliah, bukan menikah. Maafkan aku, aku janji, aku akan menepati janjiku yang tadi aku katakan padamu. Aku tidak akan pernah mau di sentuh Danish,” ucap Thalia. “Aku pun  berjanji, aku akan tepati janjiku tadi, Sayang. Aku tidak akan membuka hatiku untuk perempuan lain. Hanya kamu, dan Cuma kamu di hatiku,” ucap Arkan. “Pulang yuk, sudah malam. Pasti orang tua kamu menunggu kamu,” ajak Arkan. “Besok pagi, kita jalan, ya? Lusa aku menikah dengan Danish, tentunya kita sudah tidak bisa jalan bersama lagi,” ucap Thalia. “Aku lihat situasi besok. Kalau Om Zi sudah tidak emosi lagi, apalagi Tante Monic, kita akan jalan kalau situasi memungkinkan,” jawab Arkan. Arkan mengajak Thalia untuk kembali ke rumah Danish. Tidak Arkan sangka, malam ini dan besok, adalah detik-detik terakir hubungannya dengan Thalia akan berakhir. Arkan melihat bunda dan abahnya yang masih di luar menunggu mereka pulang. Begitu juga dengan yang lainnya, mereka di luar menunggu Arkan dan Thalia pulang. “Dari mana kalian?” tanya Leon dengan menatap sinis Arkan. “Papa, izinkan Lia untuk bersama Arkan, karena lusa Lia menikah dengan Danish,” jawab Lia. “Kamu tidak tahu diri sekali, Arkan. Dia calon istri sepupu kamu!” ucap Monica dengan meninggikan suaranya. “Yang tidak tahu diri Arkan atau kalian?!” jawab Arkan dengan menatap sinis Leon dan Monica secara bergantian. “Menikahkan anaknya karena bisnis!” pungkasnya. “Jaga mulut kamu!” ucap Monica dengan melayangkan tangannya, tapi Annisa mencegahnya. “Aku sebagai ibunya saja tidak pernah memukul anakku! Jangan pukul anakku! Atau kamu mau aku mengambil perusahaanku kembali, karena semua masih atas namaku!” ancam Annisa dengan setengah berteriak di hadapan Monica. “Abah, kita menginap di hotel saja,” ucap Annisa dengan masuk ke dalam mengambil kopernya. “Annisa, jangan seperti itu,” ucap Alvin. “Aku tidak butuh saudara macam kalian!” tegas Annisa. Arsyad tahu, istrinya sudah sangat kecewa sekali dengan keadaan sekarang. Apalagi melihat Monica yang akan menampar Arkan. Arkan pun tahu, hati seorang ibu mana yang tak sakit, melihat anaknya akan dipukul orang lain. Annisa, Arsyad, dan Arkan masuk ke dalam taksi. Annisa menyeka air matanya dan memeluk putranya. “Bunda tidak akan membiarkan anak bunda di sakiti orang lain, bunda sayang, Arkan,” ucap Annisa dengan menangis memeluk putranya. “Bunda, Arkan kan sudah bilang, tidak usah ke sini, jadi seperti ini, kan?” ucap Arkan. “Sudah, jangan bicara seperti itu. Yang penting, kamu tidak apa-apa, dan kita cari hotel. Kita butuh istirahat,” ucap Arsyad. Arsyad tidak menyangka Keluarga Annisa akan seperti itu. Padahal keluarga yang Annisa punya hanya Alvin dan Zidane, setelah Paman Diki meninggal. Arsyad tidak mau istrinya di sakiti keluarganya sendiri. Mungkin ini jalan yang akan Arsyad pilih, dengan cara memutus komunikasi dengan keluarga Annisa di Berlin, dan mungkin dengan Leon dan juga Rere. “Abah, Arkan, maaf bunda bicara seperti ini. Bunda sudah tidak mau berurusan dengan mereka lagi. Setelah Thalia menikah dengan Danish, bunda harap, baik abah atau Arkan, jangan lagi berkomunikasi dengan mereka semua. Termasuk Rere dan Leon. Arkan mengerti, kan? Bunda tidak ingin Arkan mengusik rumah tangga orang. Bunda tahu, Arkan marah dan kecewa dengan bunda karena bunda bicara seperti ini, tapi ini demi kebaikan kita, Nak. Abah juga pasti paham, kan?” jelas Annisa. “Baru saja Abah ingin membicarakan soal ini, tapi abah masih menghargai perasaan bunda, dan perasaan Arkan juga,” ucap Arsyad. “Bunda tidak perlu khawatir, meski Arkan menutup hati Arkan untuk wanita lain, Arkan tidak akan pernah berkomunikasi dengan mereka lagi. Thalia lusa akan jadi suami orang, tidak baik Arkan terus menanyakan kabar Thalia beserta keluarganya,” ucap Arkan. “Jadi, Arkan tidak masalah,” pungkasnya. “Terima kasih, Sayang. Kamu sudah mengerti bunda,” ucap Annisa dengan memeluk Arkan. “Apapun yang membuat Bunda bahagia, akan Arkan turuti, selagi Arkan mampu. Jangan sedih lagi, Bunda. Arkan sayang sama bunda, lebih dari segalanya. Jangan menangis lagi, Arkan tidak mau, orang yang paling Arkan cintai menangis dan sedih. Ada abah, ada Arkan, ada anak bunda yang lainnya juga, ada cucu-cucu bunda yang lucu. Sudah jangan memikirkan saudara yang jauh dan tidak beradab itu. Bunda tidak sendirian, kami sangat mencintai Bunda,” ucap Arkan. Annisa memeluk putranya kembali. Dia tidak menyangka, dibalik hatinya yang sedang hancur, Arkan selalu menjadi penguatnya saat ada masalah yang sedang dia hadapi. “Kamu penyemangat bunda, Sayang. Kamu selalu menjadi malaikat penolong bunda, dan penguat bunda,” ucap Annisa. “Bunda jangan sedih lagi, ya?” ucap Arkan. Arsyad yang duduk di sebelah pengemudi, dia menyeka air matanya melihat kedekatan Annisa dan Arkan seperti itu. Arsyad jarang sekali melihat Annisa dekat dengan anak-anak lainnya, sedekat Annisa dengan Arkan saat ini. Meski anak Annisa bukan Arkan saja, tapi Arsyas melihat Annisa lebih dekat dengan Arkan. Mungkin, karena Arkan anak bungsu, jadi sangat dekat dengan ibunya. Seperti dulu Arsyil yang sangat dekat sekali dengan ibunya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN