Chapter 11 - Pernikahan Terkejam

1529 Kata
Arsyad menghampiri putranya yang baru saja pulang dari bengkelnya. Akhir-akhir ini Arkan memang sering pulang larut malam. Dia hanya ingin mencari kedamaian hatinya, dengan mengunjungi tempat yang sering ia kunjungi dengan Thalia. Kadang dia pergi setelah kuliah, ke tempat yang dulu pernah ia singgahi dengan  Thalia. “Abah selalu melihat kamu pulang sampai larut malam, kata Fajar kamu hari ini tidak ke bengkel, kamu dari mana Arkan?” tanya Arsyad dengan menghampiri Arkan yang masih berdiri di depan pintu kamarnya. “Arkan habis menenangkan pikiran Arkan, Bah. Maaf, kalau Arkan sering pulang larut malam,” jawab Arkan dengan menundukkan kepalanya. “Abah tahu perasaan kamu, Nak. Abah sangat paham itu, tapi jangan seperti ini. Jangan sampai kesehatanmu terganggu. Lihat, wajah kamu kusut, kurus, dan tidak ada bagus-bagusnya. Abah tahu, sulit bagi kamu menerima semua ini,” tutur Arsyad. Arkan memeluk abahnya dan menangis di pelukan abahnya. Dia sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakitnya. Dia ingin segera bertemu Thalia, tapi dia memikirkan kembali, kalau dia menemui Thalia ke Berlin, dan Thalia tetap menikah dengan Danish, semua akan sia-sia. Lebih baik ia merelakan Thalia, tanpa ke Berlin menemui mereka semua. “Maaf, abah belum ada waktu untuk ke Berlin, nanti kita ke sana, membicarakan semuanya agar jelas,” ucap Arsyad. “Semua sudah jelas kan, Bah? Kenapa harus ke sana kalau semua sudah jelas? Ke sana pun, akhirnya aku tidak akan pernah bersatu lagi dengan Thalia,” ucap Arkan. “Nak, kita selesaikan masalah ini dengan kekeluargaan. Biar semuanya jelas, dan tidak ada kesalahpahaman di tengah-tengah keluarga kami,” tutur Arsyad. “Percuma abah, semua sudah jelas, karena nantinya Arkan tidak akan pernah bisa bersama dengan Thalia,” ucap Arkan lagi. “Jangan seperti itu, Nak. Kita harus ke sana. Apa kamu tidak ingin menemui Thalia?” tanya Arsyad. “Entahlah, Bah,” ucap Arkan. “Arkan mau ganti baju dulu, Bah,” pamit Arkan. “Iya, sana bersihkan badanmu, besok lagi, jangan bikin bundamu khawatir. Bunda tadi tidak bisa tidur, cemaas memikirkan kamu, kamu sayang kan sama bunda?” ucap Arsyad. “Iya, Arkan sayang sekali sama bunda,” jawabnya. “Jangan menyakiti bunda, meski kamu sedang sakit karena wanita yang kamu cintai, Nak,” tutur Arsyad. “Iya abah, itu pasti. Arkan seperti ini, karena abah tahu sendiri, bagaimana perasaan Arkan, kan?” ucap Arkan. “Iya, abah tahu, ya sudah kamu bersihkan badanmu, lalu istirahat. Sudah makan, kan?” tanya Arsyad. “Sudah, Bah. Tadi mampir ke cafenya Kak Rana,” jawab Arkan. “Oh, ya sudah, sana istirahat dulu,” ucap Arsyad. Arkan masuk ke dalam kamarnya, dia melihat foto dirinya dengan Thalia yang terpajang di dinding kamarnya. Arkan mendekatinya dan melihatnya. Dia mengambil dan menaruhnya di dalam box kosong yang ada di dalam kamarnya. Tidak hanya foto dirinya dan Thalia yang ada di dinding, semua barang yang ada hubungannya dengan Thalia ia simpan di dalam box besar. “Bukan aku tidak mencintaimu lagi, Lia. Aku hanya ingin, aku tidak terus-terusan berharap kamu kembali. Aku akan simpan semuanya, seperti cinta ini, yang akan aku simpan, hingga Tuhan mengembalikan kamu kepadaku, meski itu sungguh tidak mungkin kamu kembali padaku,” ucap Arkan dengan lirih. Dengan sekuat hati, Arkan menahan tangisnya. Dadanya sesak mengingat semua yang telah ia lalui bersama Thalia. ^^^ Thalia duduk di samping Danish. Dia menemani Danish yang masih di rumah sakit, sekalian membahas soal surat perjanjian yang ia buat kemarin. “Lia, kamu tidak meminta seperti ini pun, aku akan sadar diri. Aku hanya ingin kamu menikah dengan aku, menemani masa-masa terakhir dalam hidupku,” ucap Danish dengan menunjukan surat perjanjian pada Thalia. “Tidak usah banyak bicara. Mau menikahi aku, kan?! Tanda tangani surat itu secepatnya!” ucap Thalia dengan ketus. “Baik, aku akan lakukan ini. Terima kasih, kamu mau menikah denganku, Thalia,” ucap Danish dengan memberikan surat perjanjian itu pada Thalia lagi setelah di tanda tangani. Danish menatap Thalia yang tersenyum sinis dengan membaca kembali surat perjanjiannya. Danish tahu, Thalia sangat terpaksa, jadi dia melakukan ini, membuat surat perjanjian yang memang tanpa surat perjanjian pun Danish tidak akan pernah menyentuh Thalia jika dia diberi kesempatan menikah dengan Thalia. “Lia, aku mencintaimu dari dulu, mungkin sebelum kamu mengenal Arkan, tapi aku selalu takut, takut untuk mendekatimu. Aku hanya ingin kamu menikah denganku, Thalia. Terserah kamu mau menganggap aku kejam, aku seperti psikopat yang merebut kamu dari Arkan, atau apapun itu. Aku tidak akan peduli kamu mau menganggap aku ini apa,” gumam Danish. Thalia masih duduk dengan bermain ponselnya. Dia dari kemarin belum berani menghubungi Arkan. Dia merasa sangat bersalah dengan Arkan karena memutuskan untuk menikah dengan Danish. “Lia, apa Arkan sudah tahu?” tanya Danish. “Bukan urusan kamu! Dia mau tahu atau tidak, toh kenyataannya kita akan menikah. Iya, kan?” jawab Thalia dengan ketus. “Harusnya kamu beritahu dia. Biar dia tahu, kamu juga harus menjelaskan semuanya,” ujar Danish. “Kamu memang tidak punya otak, ya?! Mau dijelaskan bagaimana lagi, hah?! Ini sudah jelas, dan jelas-jelas kamu yang mau semua ini! Kenapa mesti menjelaskan lagi pada Arkan?!” Thalia dengan penuh amarah bicara seperti itu pada Danish. Danish tahu, ini yang akan terjadi kalau nanti dia menikah dengan Thalia, tapi dia masalah, yang terpenting bagi dirinya, Thalia menikah dengan dirinya, dan menemaninya sampai akhir menutup mata. “Lia, bisa minta tolong ambilkan makan siangku?” pinta Danish. Thalia langsung mengambilkan bubur untuk Danish. Thalia juga wanita yang memiliki hati, meski hatinya masih di selimuti oleh kemaraha pada Danish, dia menyuapi Danish. Dia tahu, Danish masih susah untuk makan sendiri. “Biar aku makan sendiri, Lia,” ucap Danish. “Aku suapi!” tukasnya. Thalia menyuapi Danish dengan telaten, meski dia sangat terpaksa sekali. Thalia tidak menyangka, Danish dari dulu menyimpan rasa untuk dirinya, dan bagi Danish, Thalia adalah sosok penyemangat hidupnya. Danish mampu bertahan dari sakitnya juga karena Thalia. Thalia lah, yang menjadi semangatnya untuk sembuh. Meski hanya menjadi temannya saat sama-sama sekolah di jenjang Sekolah Menengah Pertama, dia pun sangat senang. Semangatnya untuk sembuh dari sakitnya bertambah lagi. “Lia, tahun depan, ada reuni di sekolah kita dulu, kira-kira apa aku masih bisa menghadirinya? Atau aku sudah tiada?” tanya Danish. “Tidak usah bicara seperti itu!” jawab Thalia dengan kesal. “Bukannya kamu ingin cepat-cepat aku pergi setelah menikah nanti?” ucap Danish. “Kita saja belum menikah, tidak usah berkata macam-macam, seperti orang yang tidak bersyukur kamu!” tukas Thalia. “Kalau kamu ingin sembuh, kamu jangan bicara seperti itu!” imbuhnya. “Apa mungkin aku sembuh Lia?” tanya Danish. “Kalau ada kemauan untuk sembuh, kenapa tidak?” jawab Thalia. “Kamu yang membuat aku kuat Lia,” ucap Danish. “Hmm... sudah jangan bahas ini. Om Zi sama Tante Monic sebentar lagi datang. Setelah mereka datang, aku mau ke kampus. Sudah hampir satu bulan aku tidak ke kampus,” ucap Thalia. “Aku minta maaf, karena mengganggu tujuanmu di sini, Lia,” ucap Danish. “Kalau sudah tahu seperti itu, kenapa kamu masih tega menghancurkan tujuanku?” Thalia memberikan pertanyaan yang membuat Danish terdiam. “Kenapa? Kenapa kamu tega mengahancurkannya, Danish? Kalau kamu cinta, kalau kamu sayang sama aku, tidak seperti ini caranya. Kalau seperti ini, kamu menyiksa orang yang kamu cintai dan kamu sayangi, Danish!” ujar Thalia dengan menatap wajah Danish dengan menampakan senyum yang sinis pada Danish. “Maafkan aku, Lia. Bukan aku menghancurkan impianmu. Aku mencintaimu, aku hanya ingin di sisa hidupku ini, kamu menemaniku, Lia. Aku mohon, menikahlah denganku,” ucap Danish dengan penuh permohonan pada Thalia. “Iya aku akan menikah dengan kamu, aku mau menikah dengan kamu. Tapi, satu kali kamu melanggar poin dalam surat perjanjian ini, aku akan bercerai denganmu. Ingat itu!” tegas Thalia. “Aku tidak peduli, saat aku meninggalkanmu, kamu memohon hingga mati di depanku, aku tidak peduli itu!” imbuh Thalia dengan wajah yang penuh dengan kemurkaan. Danish terdiam mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Thalia. Dia tahu, Thalia sangat kecewa dengannya, tapi mau bagaimana lagi, di sangat menginginkan Thalia untuk menemaninya di sisa umurnya yang tidak lama lagi. “Aku tahu, umur sudah ditetapkan Tuhan, dan Vonis dokter juga kadang tidak tepat. Tapi, apa yang aku harapkan di sisa umurku ini? Aku yang sakit-sakitan tidak ada harapan lain lagi, selain berharap bisa menikahimu, Thalia,” ucap Danish dengan lirih. “Seharusnya tidak seperti itu, Nish. Seharusnya kamu tidak usah memaksa seperti ini,” ucap Thalia. “Lia, aku mohon,” ucap Danish. “Hentikan permohonanmu itu, Nish! Kita akan menikah, hanya menikah, tapi tidak seperti suami istri pada umumnya, yang saling mencintai satu sama lain, saling berbagi, dan bahagia. Tidak, pernikahan kita nanti adalah pernikahan terkejam, Nish,” ucap Thalia. Thalia sudah sedikit lega, menumpahkan semua emosinya di depan Danish. Dia tidak peduli dengan keadaan Danish saat ini. Sedikit lega, dia bisa menumpahkan rasa kecewanya pada Danish. Thalia tahu, tutur katanya tadi sangat menyakitkan untuk Danish, dirinya pun sakit, karena Danish memaksanya untuk menikah dengan Danish. Thalia merasa semua orang yang ada di sekelilinya sangat kejam sekali, memaksanya menikahi laki-laki yang menurutnya sangat terobsesi pada dirinya. "Ini benar-benar kejam, semunya kejam. Dan, ini akan benar-benar terjadi, pernikahan terkejam yang akan aku rasakan nanti," gumam Thalia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN