Setelah malam makan malam yang berakhir mengenaskan itu karena kedua keluarga telah memutuskan sepihak tanpa bertanya pendapatnya jika pernikahan akan digelar satu bulan lagi, Lova akhirnya memilih pulang ke Bali.
Tidak peduli dengan pesta pernikahan yang dia harapkan itu. Bagus jika kakanya sudi menjadi pengantin pengganti. Tentu saja kakaknya itu mau, dia kan sangat ingin menjadi istri seorang Galen Keandra. Seharusnya itu jadi lebih mudah untuknya.
Lova bisa menjalani hidupnya yang sepi di Bali seperti biasa dan terlepas dari bayang-bayang sang mantan.
Dia juga telah memblokir semua akses komunikasi mereka dan melanjutkan hidupnya seperti biasa, bekerja, bersenang-senang menikmati setiap sudut Pulau Dewata yang terkenal keindahannya sampai ke penjuru dunia itu lalu tidur.
Itu yang dia lakukan selama dua tahun ini setelah berhasil melalui masa-masa kelamnya di London selama enam tahun.
Dia mencoba membangun hidupnya kembali, menata sesuatu yang sudah hancur dengan tertatih-tatih untuk sebuah harapan bernama kebahagiaan yang masih dia inginkan dalam hidupnya.
Helaan napasnya terdengar panjang, dia mencoba mengulum senyumnya walau suasana hatinya tetap kacau sejak dia pergi ke Jakarta, tiga hari yang penuh kejutan dan luka. Menariknya kembali pada ingatan setiap luka yang ia dapatkan padahal sudah susah payah dia sembuhkan.
Dia sudah meninggalkan pesan dengan sangat jelas, pada orang tua Galen terutama. Jika dia tidak membutuhkan pertanggung jawaban putra mereka. Jika dia tidak bisa menikah dengan Galen dan meminta mereka berhenti untuk mengusiknya.
Semoga saja, orang tua Galen masih menghargai keputusannya sebagaimana dia menghargai mereka selama ini.
Sore itu, Lova memutuskan untuk menghabiskan waktunya dengan berjalan santai di sepanjang bibir Pantai Seminyak, ini yang biasa dia lakukan selama dua tahun ini, untuk menenangkan pikirannya dia menghabiskan waktu dengan berjalan jauh sepanjang bibir pantai sambil menikmati sunset, mencari makan malam di sekitar restoran pantai lalu pulang dan tidur setelahnya untuk besok kembali bekerja.
Namun, sore itu rencananya gagal total, melihat Galen yang tiba-tiba ada di depannya, menatapnya penuh intimidasi dan terus mendekat padanya seolah siap memangsa Lova dan melumatnya hidup-hidup membuat Lova merasa nyawanya direnggut paksa.
Kenapa dia kembali melihat pria itu di sini?! Seharusnya pria itu tidak mendatanginya dan tetap di Jakarta saja, melupakan malam panas mereka dan tanggung jawab sialan yang tidak diinginkan sedikit pun oleh Lova.
“A..pa … yang Kak Galen lakukan di sini?!” Tanya Lova pada akhirnya setelah berhasil mengendalikan dirinya.
“Kamu kira apa? Menjemput kamu dan menjadikanmu pengantinku tentu saja! Pernikahan kita tiga minggu lagi. Jangan mengecewakan orang tuaku! Jika kamu berpikir aku mengejar kamu untuk bisa menikah dengan kamu karena aku masih belum move on, kamu salah besar! Semua yang kulakukan adalah murni tanggung jawab dan memastikan jika kamu hamil anakku kamu tidak akan membahayakannya. Jadi jangan membuat drama seperti sembilan tahun lalu, Lova! Aku tidak punya kesabaran seluas itu lagi untuk menghadapi drama kamu!”
Galen menyentaknya dengan nada yang tajam, membuat Lova menelan ludahnya susah payah dengan jantungnya yang berdetak menggila.
Dia mengepalkan tangannya berusaha untuk meredam gemetar tubuhnya atas ucapan Galen.
Pelan-pelan senyum sinis tersungging di bibirnya saat dia berhasil mengendalikan dirinya. “Yang membuat drama itu Kaka! Yang membuat ini jadi rumit itu Kaka! Kenapa harus mengatakan hal yang sebenarnya pada orang tua kita?! Seharusnya semua ini berakhir di pagi itu! Saat aku mengatakan aku tidak membutuhkan sedikit pun tanggung jawab Kaka! Tapi apa?! Justru Kaka yang membuat drama dan menyeretku dalam pernikahan bodoh dan memuakkan ini! Sebenarnya apa tujuan Kaka?!” Lova akhirnya berteriak dan tatapannya berkilat-kilat nyalang.
Dia menatap lelah pada Galen dengan napasnya yang sedikit tersengal.
“Kamu tuli atau bagaimana?! Yang kulakukan hanya sekedar tanggung jawab! Dan memastikan kamu tidak menggugurkan anakku jika kamu mengandung! Kita akan tetap menikah!”
“Lalu apa ujung dari pernikahan ini?! Perpisahan, bukan?! Jadi untuk apa kita menikah?! Jika kamu ingin bertanggung jawab, cukup awasi aku saja hamil atau tidak sampai satu dua bulan ke depan. Kamu punya banyak uang, kan?! Bayar saja orang-orang kamu untuk mengawasiku! Jika aku benar-benar hamil aku jamin aku tidak akan menggugurkannya!”
Sesungguhnya Lova sangat tersinggung dengan ucapan Galen yang mengatakan jika dia akan menggugurkan kandungannya jika memang hamil nantinya. Apa pria itu berpikir dia tidak memiliki perasaan kasih pada bayinya sendiri?! Dasar gila!
“Sejak awal kamulah yang membuat ini menjadi rumit, Kak!” Ucap Lova dengan kesal, membuat Galen menghembuskan napasnya kasar dan tanpa kata langsung menarik tangan Lova yang membuat Lova langsung meronta-ronta minta dilepaskan, namun Galen menulikan telinganya dan terus menarik Lova meninggalkan bibir pantai itu.
“Kita perlu bicara, Lova! Jangan egois! Kamu bukan anak kecil lagi! Ini masalah kita berdua yang harus diselesaikan dengan kesepakatan, karena keluarga kita juga sudah terlibat. Tidak bisa kamu seenaknya pergi begitu saja seperti dulu!”
Galen memaksa Lova masuk ke kursi penumpang, memasangkan sabuk pengaman untuk Lova lalu menutup pintunya dengan keras sebelum tergesa-gesa menuju kursi kemudi dan melajukan mobilnya.
Lova tau, dengan kekuasaan Galen dan bagaimana pengaruh keluarga itu mudah bagi Galen mendapatkan informasi keberadaannya. Hingga kini mobil sport berwarna merah metalic itu sudah berhenti di depan rumah kontrakannya.
“Mau kamu yang membuka pintunya atau aku?!”
Tantang Galen dengan senyum sinisnya, membuat Lova langsung menghela napasnya panjang dan langsung mengambil kunci dari tasnya. Jelas dia percaya jika Galen juga sudah memiliki kunci rumahnya.
“Apa kesepakatannya?!” Tanya Lova to the point. Menghadapi Galen sangat menguras tenaganya, lahir dan batin!
Sepanjang jalan tadi dia sudah memikirkan jika sampai mati dia tidak akan bisa menghindari Galen yang ngotot ingin menikahi dan bertanggung jawab padanya.
Dia hanya akan membuang tenaga lebih jika terus menolak, walau dia juga tau, tidak ada yang lebih buruk antara menikah dengan pria itu atau terus diteror oleh pria itu untuk mau menikah dengannya.
Hingga dia sampai pada keputusannya, mengikuti alur yang diinginkan pria itu dengan harapan dia bisa segera terbebas dengan semua kekonyolan ini.
Mendengar pertanyaan Lova, Galen langsung menyungging senyumnya. Dia memberikan selembar kertas putih dan pena pada Lova, membuat wanita itu menahan napasnya.
“Kita akan sepakati poin-poinnya, lalu sekertarisku akan mengesahkannya secara hukum!”
Bisa-bisanya dia mengalami pernikahan kontrak? Benar-benar konyol dan bodoh! Hidupnya akan semakin kacau setelah ini!
“Kita akan menikah selama dua tahun!” Ucap Galen yang kini duduk di depan Lova dengan tangan bersidekap di d**a.
“Tidak! Cukup tiga bulan! Untuk menunggu apakah aku hamil atau tidak! Jika aku hamil kita bisa lanjut sampai satu tahun, jika aku tidak hamil cukup tiga bulan dan kita bercerai!”
“Kamu gila, hah?! Apa-apaan tiga bulan?! Tidak akan! Dua tahun, dan jika kamu hamil, kita akan membesarkan anak itu sampai mati!” Ucap Galen lagi membuat Lova langsung menggeram dan membanting kertas itu ke meja.
“Kamu yang gila! Kamu kira aku mau terikat dengan kamu seumur hidup?! Sebenarnya bagaimana kamu menganggap pernikahan itu, Kak?! Jika kamu menikahiku hanya sebatas tanggung jawab, maka tidak perlu ada pernikahan! Itu sama saja hanya menambah beban hidup! Kumohon lepaskan saja aku. Tidak perlu bertanggung jawab dan mari jangan saling bertemu lagi setelah ini!”
Lova menatapnya lelah, dia menemui jalan buntu untuk melepaskan dirinya dari Galen.
“Apa kamu pikir aku masih menganggap pernikahan ini menjadi sesuatu yang membahagiakan dan merajut asa dengan orang yang kucintai?! Pernikahan ini juga menjadi mimpi buruk bagiku, Lova. Maka dari itu aku menawarkan perjanjian ini. Sekeras apa pun kamu menolakku, aku tidak akan menerimanya. Aku akan tetap bertanggung jawab pada kamu. Suka atau tidak suka, dengan semua perjanjian yang sudah tertulis di sana. Setelah malam itu, aku telah mengubur dalam-dalam tujuan sebuah pernikahan, karena keadaan kita tidak pantas untuk menanyakan hakikat dan tujuan menikah itu sendiri setelah apa yang kita lakukan!”
Helaan napas Galen terdengar keras, dia menatap Lova yang hanya menatap nanar pada kertas putih yang masih bersih itu.
Kata-kata Galen menghantamnya telak dan menimbulkan denyut nyeri di hatinya.
Setelah malam itu, aku telah mengubur dalam-dalam tujuan sebuah pernikahan, karena keadaan kita tidak pantas untuk menanyakan hakikat dan tujuan menikah itu sendiri!
Jahat sekali mulut pria itu! Seolah mereka yang telah berzina sebelum ada ikatan halal tidak pantas memikirkan hakikat dan tujuan pernikahan adalah untuk beribadah dan mencari kebahagiaan dunia hingga akhirat!
Padahal jauh dari lubuk hatinya, salah satu kebahagiaan yang masih Lova doakan adalah menikah dengan pria yang mencintainya dan hidup dalam kesederhanaan melalui kebahagiaan-kebahagiaan kecil atas apa yang terjadi dalam hidup mereka.
Nyatanya, harapan itu semakin jauh dari genggaman jika Lova berakhir menikah dengan pria yang kini masih menatapnya nyalang itu.
“Enam bulan, Kak! Mari berpisah setelah itu! Itu kesepakatan yang bisa aku sepakati.” Ucap Lova pada akhirnya mendongak, masih dengan napas yang memburu, menandakan dia masih berusaha menekan kemarahannya pada pria itu.
“Satu tahun!”
“Kak!”
“Satu setengah tahun kalau begitu!”
“Oke. Satu tahun!” Ucap Lova dengan helaan napas yang keras, sekeras detak jantungnya yang terus bergerak liar.
“Satu setengah tahun! Tapi jika dalam jangka waktu itu kamu hamil. Kita tidak akan pernah berpisah. Aku harus menerima jika harus berakhir dengan mantan kekasih yang aku benci.”
“Sinting! Kamu aneh! Benar-benar konyol! Kamu bisa dengan mudah melanjutkan hidupmu namun justru memilih terjebak dalam pernikahan dengan orang yang kamu benci! Mau kamu bagaimana si, Kak?!” Lova kembali mengerang frustasi.
Dia hanya menuliskan kesepakatan jika sepakat untuk menikah selama satu tahun dengan Galen. Namun, Galen langsung merebut pena dan kertas di tangan Lova dan merevisinya menjadi satu setengah tahun dengan poin tambahan jika keadaan mereka telah berubah memiliki anak, maka kontrak pernikahan itu batal.
“Kak!” Lova kembali berteriak, kepalanya berdenyut dengan tubuh yang terasa lelah menghadapi Galen dan semua sikapnya yang sesuka hati.
“Ini hanya bentuk tanggung jawab! Jika kamu benar-benar hamil, aku tidak ingin anakku hidup sebagai anak broken home. Keluargaku adalah keluarga harmonis dan penuh kasih sayang. Anakku juga harus merasakan kasih sayang yang utuh dari orang tuanya!”
“Perjanjian ini hanya akan ada di antara kita! Semua orang harus tau jika kita menikah karena cinta lama bersemi kembali dan tidak ada gosip apa pun yang merugikan keluargaku maupun keluargamu. Kamu tentu setuju dengan ini kan?”
“Aku tidak peduli!”
“Oke, aku anggap kamu setuju!”
Galen kembali menuliskan poin nomor dua.
“Kita akan tetap hidup seperti pasangan suami istri pada umumnya di depan siapa pun, terutama di depan orang tuaku, kamu harus terlihat bahagia di depan orang tuaku!”
“Kamu benar-benar membebaniku, Kak!”
“Aku tidak peduli!”
Galen membalikkan kata-kata Lova, membuat Lova mengepalkan tangannya kuat-kuat menatap kesal pada pria itu.
“Kita akan tetap tidur satu ranjang!”
“Tidak! Sinting kamu! Apa sebenarnya maksud kamu menikahiku, Kak?! Tidur satu ranjang?! Yang benar saja! Apa tujuan kamu sebenarnya?!” Teriak Lova dengan sekuat tenaga, namun respon Galen terlihat santai dengan kedua alis yang bertaut.
“Karena kita akan tetap tinggal di rumah orang tuaku setelah ini! Jadi kita akan tidur satu ranjang!”
“Tidak! Aku tidak mau tinggal dengan orang tua kamu! Aku tidak sepakat dengan itu!” Lova kembali menentangnya dengan kuat hingga napasnya semakin tersengal, dan itu membuat Galen tidak lagi terlihat santai.
“Oke. Aku ubah poinnya, jika kita menginap di rumah orang tua kita. Kita akan tidur satu ranjang! Kamu tidak bisa protes lagi dengan yang ini!”
“Oke!”
Galen kembali menuliskan poin tersebut.
“Artinya kamu harus pindah ke Jakarta dan meninggalkan pekerjaan kamu di sini.”
“Oke. Apalagi cepat!”
Lova terlihat tidak sabaran, rasanya dia ingin segera melempar Galen keluar dari rumahnya. Yang paling penting bagi Lova adalah dia bisa segera lepas dari Galen walau satu setengah tahun itu juga cukup lama. Namun dia hanya perlu bertahan seperti mayat hidup dan berlaku secuek mungkin selama hidup dengan Galen. Menganggap pria itu tidak ada dan dia akan tetap melanjutkan hidupnya seperti biasa. Itu rencananya.
“Giliran kamu! Apa yang kamu inginkan dalam perjanjian ini.”
“Aku akan tetap bekerja seperti biasa. Kita hanya akan tinggal satu atap tapi tetap menjadi asing! Jangan campuri urusan masing-masing. Anggap saja tidak melihat satu sama lain! Jalani satu setengah tahun ini seperti itu! Aku mau kamarku sendiri dan jangan pernah masuk ke kamar masing-masing segenting apapun keadaannya!”
“Aku memperbolehkan kamu bekerja seperti biasa.”
Galen kembali menuliskan poin tersebut.
“Jelas aku akan mencampuri urusan kamu jika itu diperlukan. Apalagi jika kamu hamil anakku. Jadi poin itu aku tidak sepakat. Kita akan tetap mencampuri urusan masing-masing jika diperlukan. Apalagi jika itu menyangkut hubungan dan citra kita sebagai suami dan istri di depan publik dan juga di depan keluarga.”
Lova yang sudah lelah dan ingin segera mengakhirinya memilih tidak mendebat lagi. Dia akan memikirkan itu nanti, mencari cara agar meminimalisir interaksinya dengan Galen. Lihat saja!
“Rumah itu milikku. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk masuk ke ruangan mana saja yang aku mau!”
“Kak!” Lova kembali meradang, namun sekali lagi Galen menanggapinya dengan santai.
“Apa?! Aku tidak akan menyelinap ke kamarmu jika itu yang kamu takutkan! Tapi bukan berarti aku tidak akan pernah masuk! Aku akan masuk dalam situasi-situasi tertentu, terutama jika kamu hamil dan aku harus memastikan keadaan anakku!”
Hamil! Hamil! Hamil! Rasanya hanya itu yang menjadi poin paling penting untuk Galen dan membuat Lova semakin muak.
“Aku. Tidak. Akan. Hamil.” Ucap Lova menekan setiap ucapannya. Namun, Galen hanya mengedikkan bahunya acuh.
“Who knows?”
“Aku tidak ingin ada pesta! Cukup intimate wedding dengan keluarga kecil saja!”
“Oh, jika ini bukan aku yang bisa mengaturnya. Memohonlah pada Mama yang sangat antusias menyiapkan pesta pernikahan kita!”
Lova mengernyitkan keningnya melihat Galen tersenyum penuh makna, namun senyum itu berubah menjadi senyum penuh ejekan yang membuat Lova kembali meradang.
“Lalu apa konsekuensi jika salah satu dari kita melanggarnya?”
“Pihak yang melanggar harus menerima apa pun yang diminta oleh pihak yang dirugikan. Tiga permintaan mutlak yang tidak bisa diganggu gugat!”
“Katakan dengan jelas! Jika seperti itu akan sangat ambigu dan merugikan salah satu pihak!”
“Ya sudah katakan permintaan kamu dulu.”
“Aku mau langsung bercerai! Dua lagi akan kupikirkan.” Ucap Lova membuat Galen mengangguk.
“Aku juga akan memikirkannya.”
“Ya sudah. Cepat tanda tangan dan pergi dari sini!”
Galen lalu membubuhkan tanda tangannya, dan Lova lalu menarik kertas di tangan Galen dan kembali membacanya dengan seksama. Lalu menandatanganinya dengan cepat dan kembali menyerahkannya pada Galen setelah memotret kertas itu sebagai bukti agar Galen tidak seenaknya merubah perjanjian.
“Sekertarisku akan mengetik semua poin ini dan kita akan menandatangani di atas materai dan disahkan oleh notaris!”
“Oke! Pergi sekarang! Aku akan pulang ke Jakarta satu hari sebelum pernikahan berlangsung!” Ucap Lova yang langsung beranjak dari sofa dan melenggang meninggalkan Galen.
Galen yang mendengar itu langsung menyentak tangannya dan menatapnya tajam.
“Kamu gila, hah?! Kita pulang sekarang! Tidak ada bantahan! Bukankah kamu juga harus membuat Mama setuju dengan intimate wedding yang kamu mau?! Jika kamu pulang satu hari sebelum pernikahan maka pesta itu akan digelar besar-besaran dan super megah!”
Kini Galen menyeringai penuh makna, tatapannya puas saat melihat Lova memejamkan matanya dengan helaan napas yang berat, pertanda wanita itu tidak memiliki pilihan.
Sentakan di tangannya membuat Galen terkejut. Lalu Lova meninggalkan Galen tanpa kata menuju ke kamarnya, membanting pintunya dengan keras dan menguncinya dari dalam.
Mengabaikan teriakan Galen yang terdengar seperti penjara kematian yang memanggil-manggilnya agar dia datang menuju ke sana dan menghadapi kematiannya perlahan-lahan.