Setelah ucapan lamaran keluar dari bibir Galen itu, keheningan menyelimuti mereka semua. Seolah memang lamaran Galen tidak direncanakan dan diketahui oleh siapa pun termasuk orang tua mereka.
Ivanka dan Kalvin menatap Galen penuh tanya, sesuatu pasti telah terjadi. Tidak mungkin anaknya itu mengambil keputusan besar tanpa mendiskusikan pada mereka terlebih dahulu, jika Galen terpaksa mengambil keputusan tanpa diskusi, pasti sesuatu telah terjadi.
Pun dengan Elodie yang menganga atas ucapan kakaknya itu. Tidak! Apa-apaan kakaknya itu?! Bagaimana bisa dia menikahi wanita sialann itu? Elodie tidak akan membiarkan itu terjadi.
Sedang Galen masih diam, menunggu jawaban Lova atas lamarannya yang seperti bom waktu yang mengguncang wanita itu. Namun, ini adalah kesempatan yang bagus saat dua keluarga bertemu.
Lova menahan napasnya panjang, rasanya ingin meledak dan mengumpat juga menyumpah serapahi mantan kekasihnya itu yang telah bertindak sembrono. Namun, Lova harus menahannya, membalas Galen dengan tenang dan menolak pria itu dengan baik sebelum pria itu macam-macam lagi.
"Maaf sebelumnya Kak Galen, saya sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun, lagi pula tidak mungkin saya melangkahi Kaka saya. Saya menolak lamaran Kaka." Ucap Lova dengan senyum tipis, nada yang tenang dan jawaban yang lugas namun mampu membuat Galen menggeram dalam hati dengan balasan Lova yang tanpa pikir panjang langsung menolaknya.
Helaan napas Elvina juga tatapan kelegaan dari Vanya dan Vina juga Amara membuat Lova tersenyum miris, ternyata memang mamanya tidak menghendaki hubungannya dengan Galen. Jelas Galen yang sempurna sebagai keturunan Alastair akan dia sandingkan dengan putri kecintaannya itu.
Ivanka yang mendengar itu terlihat kecewa, dia menatap nanar pada Lova, namun Lova langsung kembali menunduk dan menikmati makanannya.
Sedang Abbas juga ikut menahan napasnya, di antara ketiga putrinya, Lova sangat jauh dari kandidat yang dia harapkan untuk bisa bersanding dengan Galen, namun jika Galen menjatuhkan pilihannya pada Lova, maka tidak masalah baginya, selagi dia tetap bisa berbesanan dengan Alastair. Walau jauh di lubuk hatinya dia masih menginginkan Vanya yang menikah dengan Galen.
“Benarkah begitu? Oom senang mendengarnya.” Abbas kini menatap penuh minat pada Galen dan Lova. Bahkan mengabaikan penolakan purinya itu.
Pun dengan Galen yang ikut mengabaikan jawaban Lova atas lamarannya, dia memilih kembali melanjutkan obrolannya dengan sang calon papa mertua yang menyambut dengan baik niat baiknya.
Lova yang melihat keduanya hanya mendesah kesal dan rasanya ingin pergi dari sana sekarang juga.
“Benar, Om. Mungkin saya terlihat tergesa-gesa, namun saya ingin mengikat Lova terlebih dahulu sambil mengenalnya lebih dekat sampai hari pernikahan kami.”
Ivanka dan Kalvin saling bertatapan, melihat kenapa Galen sangat ingin menikahi Lova, bahkan dia tidak menghargai keputusan Lova.
“Jika begitu kita bisa tentukan tanggal resmi lamarannya.” Abbas terlihat semakin bersemangat, sedang Lova masih diam dengan tangan yang sudah berubah gemetar di balik meja.
“Kak Galen tidak perlu mengenal saya. Saya tidak menyukai Kak Galen dan tidak ada impian untuk menikah. Apalagi membantu Papa untuk memperkuat lini bisnisnya dengan keluarga Alastair. Tidak akan pernah saya lakukan. Apakah penolakan saya atas lamaran Kak Galen kurang jelas? Saya. Tidak. Mau. Menikah. Dengan. Anda.” Ucap Lova pada akhirnya secara frontal, menekan setiap kalimatnya untuk menunjukkan seberapa keras penolakannya. Dia mencoba tetap terlihat tenang menatap pada dua pria yang sibuk membahas tanggal dan mengabaikan jawabannya.
Abbas yang mendengar itu hanya bisa menggeram dalam hati, hatinya bergemuruh penuh amarah namun senyumnya tetap terukir sempurna menatap putri bungsungnya itu.
Elvina dan Vanya serta Amara dan Vina hanya terdiam melihat perdebatan yang sedikit sengit atas apa yang terjadi. Elvina tidak menyangka jika Lova bisa dengan lantang menolak lamaran Galen, bahkan dengan lancang mempermalukan papanya.
“Lova. Apa yang kamu bicarakan, Nak? Tidak ada sedikit pun pikiran papa untuk menggunakan anak-anak papa dalam kepentingan bisnis.”
Abbas berusaha menahan emosinya, delapan tahun tidak pernah pulang, sekalinya pulang putrinya itu justru menamparnya dengan begitu memalukan di depan rekan bisnisnya.
“Bagus jika memang pikiran papa tidak seperti itu. Tapi Lova tidak memiliki contoh yang baik bagaimana rumah tangga yang harmonis dan penuh bahagia itu dari Mama atau Papa, dan pernikahan terlalu menakutkan untuk Lova setelah melihat bagaimana rumah tangga orang tua Lova sendiri.”
Lova justru semakin berani mengungkapkan isi hatinya dan mempermalukan ayahnya itu. Belum selesai sampai di situ, Lova beranjak sambil melirik arloji di tangan kirinya.
“Lova, kita akan tetap menikah sebanyak apapun penolakan kamu. Aku harus bertanggung jawab sepenuhnya pada kamu, karena kita telah tidur bersama.” Ucapan Galen menyentak semua yang ada di sana, membuat Lova kembali membalikkan badannya dan menatap tajam pada Galen.
Pada akhirnya Galen mengeluarkan kartu AS itu, membuat Lova langsung memucat dengan napas yang memburu atas kelancangan Galen membuka aib mereka. Namun, hal yang menurut Lova adalah aib justru adalah senjata ampuh bagi Galen untuk merealisasikan rencananya pada Lova.
Abbas dan Elvina kini wajahnya pucat pasi campuran menahan geram atas apa yang diucapkan Galen, kini tatapannya penuh intimidasi pada putri bungsu mereka, pun dengan Vanya yang menatap jijik ke arah adik yang tidak pernah akrab dengannya itu.
“A..pa maksud kamu, Galen?” Tanya Ivanka dengan nada yang khawatir, membuat Galen menahan napasnya sebelum memulai ceritanya.
Elvina langsung menarik Lova untuk kembali duduk, Lova menahan napasnya dengan keringat dingin yang keluar semakin banyak membasahi wajahnya.
Galen menatapnya dengan tatapan yang tidak dimengerti Lova, lalu pria itu beralih ke arah orang tuanya dan mulai menceritakan semuanya, semua ucapan pria itu bagaikan panah beracun yang menghujam jantungnya berkali-kali, karena kemungkinan dia berakhir menikah dengan pria itu semakin nyata dan tidak bisa ditolak.
Brengsekk! Bukan seperti ini rencananya! Apa yang sebenarnya direncanakan pria itu?! Kenapa pria itu memaksa untuk bertanggung jawab padahal dia sudah membebaskannya?!
Kepalanya penuh dengan ketakutan-ketakutan yang pelan-pelan mencekiknya, menatap tajam pada Galen yang menceritakan kronologi dari awal tragedi hidupnya harus kembali bersinggungan dengan Galen.
“Apa? Ya Allah, Nak … Lova … Tante minta maaf atas apa yang terjadi. Ini juga bukan salah kalian walau tindakan kalian tidak bisa dibenarkan. Benar yang dikatakan Galen, kalian harus menikah dan Gelan akan bertanggung jawab sepenuhnya.” Ucap Ivanka yang menatap prihatin pada Lova.
“Kita akan tentukan tanggal pernikahannya malam ini juga.” Ucap Kalvin dengan suara yang tegas, membuat Abbas langsung mengangguk setuju.
Dalam hati merasa puas, walau keadaan tidak menguntungkan terjadi pada putrinya, setidaknya putrinya tetap mendapat pertanggung jawaban dari Galen dan keinginannya menjalin ikatan dengan keluarga Alastair terwujud juga.
Dengan begitu langkahnya untuk memperluas bisnisnya dan berbesanan dengan keluarga Alastair benar-benar berada dalam genggamannya.
“Sayang … Apa yang dikatakan oleh Om Kalvin dan Tante Ivanka benar. Papa bersyukur Galen dengan begitu bijaksana mau mempertanggung jawabkan perbuatannya walau semua terjadi secara tidak sengaja. Kamu harus menikah dengan Galen dan cobalah untuk saling mengenal. Melihat Galen yang penuh keyakinan bertanggung jawab pada kamu, Papa merasa lega jika kamu menikah dengannya. Dia pria yang baik, sayang. Yang mau mempertanggung jawabkan perbuatannya sekali pun itu bukan kesalahannya. Papa percaya dia akan menjaga kamu dengan baik. Kamu akan menikah dengannya.”
Abbas dengan suara yang lembut dan tatapan kebapakan nya membuat Lova mendengus kesal. Dia menatap tajam pada Galen yang justru tersenyum santai, begitu tenang karena tujuannya telah tercapai.
“Menikah dengan Galen ya, sayang? Demi kebaikan kamu. Ya? Tante mohon?” Kini tatapan Tante Ivanka yang mengiba membuat Lova menarik napasnya panjang.
“Lova tidak bisa, Tante. Lova tidak ingin menikah dengan Kak Galen. Kak Galen juga tidak perlu bertanggung jawab pada Lova. Tidak ada yang dirugikan dalam insiden itu karena kami sama-sama membutuhkan dan saling memberi pertolongan. Sehingga tidak perlu ada tanggung jawab.” Ucap Lova masih dengan pendiriannya.
“Kami tetap akan mengatur pernikahan kamu, Lova. Ini demi kebaikan kamu!” Ucap Abbas yang akhirnya bersuara dan menatap tajam pada Lova. “Kamu sudah mempermalukan Mama dan Papa, siapa yang akan menerima kamu yang sudah tidak perawan? Galen lah yang harus bertanggung jawab penuh!”
Ucapan Abbas menimbulkan nyeri di hati Lova, dia menatap dengan kekehan kecil pada papanya.
“Tidak ada yang perlu menerima Lova, Pa. Lova tidak akan menikah sampai mati.” Apalagi dengan Kak Galen. Sama saja Lova bunuh diri pelan-pelan.
“Sebaiknya pernikahan ini cukup kami para orang tua yang membicarakannya, saya yang akan memastikan Lova mau menikah dan menerima tanggung jawab dari Galen.” Ucap Abbas membuat semua orang tua sepakat.
***
Tamparan itu menggema dengan keras di ruang tamu hingga Lova terjerembab ke sofa. Elvina menatapnya dengan nyalang dan emosi yang tidak bisa dia kendalikan.
Di sampingnya ada Vanya yang menangis terisak-isak karena rencananya dihancurkan oleh adiknya sendiri.
"Dasar wanita murahaan kamu! Bisa-bisanya kamu tidur dengan calon suami Kaka kamu! Di mana otak kamu, hah?!" Elvina semakin membabi buta, dia menjambak rambut Lova dan mengguncang tubuh putrinya itu dengan ledakan amarah yang dahsyat.
Padahal tadi Galen sudah menjelaskan duduk perkaranya, memang semuanya terjadi karena kecelakaan, Lova juga menjadi korban. Bisa-bisanya mamanya menyebut dirinya murahann.
"Hiks ... Hiks ... Ma ... Hancur sudah mimpi Vanya ... Vanya sudah menyukai Galen sejak dua tahun yang lalu. Sejak perusahaan kita mulai bekerja sama dengan Alastair Group. Bisa-bisaya ... bisa-bisanya ... impianku dihancurkan oleh adikku sendiri."
Vanya semakin histeris, wanita itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan tubuhnya bergetar saking hebatnya isakan itu. Sedang Lova masih meringkuk di sofa setelah sang mama melepaskan jambakannya dan mendorong tubuhnya tanpa perasaan.
Di mana ungkapan rindu saat menyambutnya pulang tadi? Semua hanya omong kosong. Mamanya hanya sedang menjaga image di depan calon besannya. Sengaja mengundang Lova untuk datang ke rumah supaya menyaksikan lamaran untuk kakaknya namun lamaran itu justru menjadi bumerang yang ditujukkan untuknya.
Papanya hanya berdiri tidak jauh dari sana, mengusap wajahnya kasar dan menatap nyalang pada Lova.
Lova mendecak, rasanya sudah lama sekali dia tidak menghadapi drama keluarganya. Padahal hatinya sudah berbisik jika pulangnya hanya menjadi beban, namun dia tetap saja mengabaikan bisikan sang hati.
"Kaka tidak usah menangis begitu. Aku juga tidak minat menikah dengan calon suamimu itu. Jika bisa, lakukanlah sesuatu supaya dia membatalkan lamarannya. Aku akan berterima kasih jika kamu berhasil membuat Kak Galen membatalkan lamarannya padaku. Aku juga tidak menyukainya dan muak dengannya." Ucap Lova yang beranjak dari sana dengan raut wajah yang lelah dan jengah.
"Aku pulang." Ucap Lova meninggalkan rumahnya itu, nyatanya rumahnya itu bukan tempatnya pulang, hanya sekedar tempat asing sehingga dia tidak bisa berlama-lama di sana dan ingin segera kembali ke rumah yang dianggapnya tempat 'pulang.'
Tidak ada yang mencegah kepergiannya, mungkin mereka semua masih terguncang atas apa yang terjadi. Makan malam yang hasilnya tidak pernah mereka harapkan.
Langkah Lova terlihat lunglai dengan senyum menyedihkan yang membuatnya membenci keadaan yang terjadi padanya.
Padahal orang tuanya sudah mendengar bagaimana dia dan Galen berakhir di ranjang yang sama, namun tidak sedikit pun mereka menanyakan keadaannya, perasaannya atau apa yang dia inginkan untuk membuatnya merasa lebih baik setelah kejadian mengerikan itu.
Yang mereka lakukan justru terus menghakimi dan menyalahkannya, menganggapnya sebagai perebut calon suami kakaknya dan justru merasa paling terluka karena Lova mengacaukan rencana mereka. Cih!
Satu-satunya yang masih membuat Papanya menerima pernikahan itu bahkan sekali pun Lova harus mendahului kakanya tentu tidak lain dan tidak bukan untuk kepentingan bisnisnya, dan Lova semakin membenci papanya yang semakin keterlaluan!
Dia tidak akan lagi menginjakkan kaki di rumah itu. Lebih baik menganggap dirinya sebatang kara di dunia ini dari pada harus hidup dengan keluarga toxic yang penuh drama.