Alma duduk bersandar di bahu Barra. Dengan kedua tangannya mengapit tangan Barra.
"Pindahnya nanti aja, Bar. Papa kan, enggak tahu kita di sini," bujuknya.
"Sebentar lagi juga akan tahu, Ma. Anak buahnya sudah sampai Semarang."
"Tapi aku masih betah di sini."
"Alma, kita bukan lagi liburan... kamu mau dibawa mereka pulang?" Barra menatap Alma.
Alma mengangkat kepalanya. "Tapi ke Bali naik mobil itu lama, Bar. Capek!"
Barra tersenyum. Dicubitnya hidung Alma dengan gemas. "Kamu kok, jadi manja?"
Alma beringsut dari duduknya. "Tapi aku enggak mau Dom pakai mobil Fast & Furious-nya lagi," rajuknya.
Barra mengerutkan keningnya. "Mobil Fast & Furious?"
"Mobil Pick up 'Cepat Maju' nya itu!"
Barra pun langsung terbahak. Ia baru menyadari arti nama toko oleh-oleh orang tua Dominik ternyata pelesetan arti kata 'Fast & Furious'.
"Enggak, kok! Aku udah bilang Dom, bawa mobilnya yang nyaman. Tadi sih, katanya udah dapat. Paling nanti siang dia sampai ke sini."
"Penginapan di Balinya udah dapat?"
Barra mengangguk. "Dom udah sewa rumah dekat Ubud. Kamu pasti suka, di sana juga kan, dingin. Kata Dom dulu dia pernah nginap di sana. Pemiliknya udah kenal."
"Habis dari Bali kita ke Sumatera, ya? Kita menjelajah di sana." Wajah Alma kini berubah semangat.
Barra menggeleng. "Kita enggak akan pergi lagi, Ma. Kita akan tinggal di sana lebih lama. Apa pun yang terjadi, kita harus pulang. Kita enggak bisa ninggalin kuliah terlalu lama."
"Tapi, Bar..."
"Kita akan berusaha. Aku yakin, akan ada jalan yang terbaik buat kita."
"Apa itu saran dari Ibu?"
Barra kembali menggeleng. "Ibu memintaku untuk memutuskan sendiri sebagai laki-laki dewasa. Aku memutuskan yang terbaik untuk kita berdua saat ini."
Kini Alma terdiam. "Bagaimana kalau kita enggak bisa ketemu lagi nanti?" Ditatapnya Barra dengan ragu.
"Aku yakin, pasti ada jalan buat kita." Barra menatap Alma penuh keyakinan. Ia tak ingin membuat Alma bersedih lagi.
"Mama telepon aku dari semalam pakai nomor yang berbeda. Memintaku untuk pulang. Dia menangis. Mama bilang, kalau aku pulang Mama akan bantu supaya kita bisa tetap berhubungan."
"Lalu kamu bilang apa?"
"Aku enggak percaya. Mama enggak akan bisa melakukan apa-apa untuk menolong kita. Aku tahu sifat Papa. Kalau sampai dia tahu Mama menolong kita, Papa akan marah besar. Mereka akan bertengkar lagi. Dan mungkin aku akan dikurung di kamar dan enggak boleh keluar lagi, seperti yang terjadi pada Alvan dulu."
"Adik kamu...?"
Alma mengangguk. "Waktu SMA, Alvan pernah pacaran sama teman sekolahnya. Tapi Papa enggak setuju. Papa enggak mau Alvan pacaran dulu sampai dia lulus. Tapi waktu itu pacarnya ulang tahun dan Alvan cuma mau ketemu sebentar untuk merayakannya. Mama lalu menolongnya. Tapi Papa akhirnya tahu, dan dia marah besar. Akhirnya Alvan dikurung di kamar selama satu minggu sebagai hukuman. Mama dan Papa lalu bertengkar hebat. Dari situ Alvan enggak berani lagi menentang Papa. Dia enggak mau bikin Papa dan Mama bertengkar lagi. Alvan orang yang sangat sensitif. Dia gampang sedih. Itulah sebabnya Alvan kuliah di luar negeri. Untuk menghindari Papa."
"Papamu enggak suruh dia masuk militer?"
Alma menggeleng. "Papa enggak bisa memaksa dia. Sejak kecil Alvan sudah bercita-cita menjadi pilot. Dia ingin sekali bisa terbang. Cita-citanya tumbuh semakin besar sampai Papa akhirnya enggak bisa lagi membujuknya. Meskipun Papa bilang dia bisa memilih masuk angkatan udara. Tapi Alvan tetap enggak mau. Dia enggak mau seumur hidupnya selalu dibayang-bayangi Papa."
"Itulah yang bikin Papa kamu ingin sekali punya menantu tentara?"
Alma mengangguk. "Buat Papa, Fariz itu calon menantu sempurna."
"Kalau seandainya Fariz bukan tentara, apa kamu mau menikah sama dia?"
Alma terdiam sejenak. "Mungkin," sahutnya sambil tersenyum.
"Hah? Jadi kamu masih cinta sama dia!" Mata Barra melotot. Membuat Alma tak bisa menahan tawanya.
"Ya, enggak mungkin terjadi, Barra sayaaaang! Mana bisa diandai-andai begitu. Kalau dia bukan tentara, mana mungkin Papa setuju. Papa akan mencari tentara lainnya untuk menjadi calon menantunya."
"Tapi... kamu pernah mencintai dia, kan?"
"Kamu cemburu?"
"Ahh! Aku enggak mau kalau kamu masih punya perasaan sama dia," sungut Barra.
Alma tak menjawab. Ia masih tertawa. Dia senang menggoda Barra. Baru kali ini ia melihat Barra begitu cemburu.
"Ma?!" Barra masih menunggu jawabannya dengan kesal.
"Sekarang udah enggak, sayaaaang! Kalau aku masih cinta mana mungkin aku ninggalin dia?" Sahut Alma sambil mencubit gemas kedua pipi Barra yang lalu meringis kesakitan.
...
"Mas Brian! Mbak Mia!"
Suara panggilan disertai ketukan di pintu mengejutkan Alma dan Barra. Dengan tergesa Alma mengenakan hijab dan maskernya. Tampak seorang petugas keamanan penginapan berdiri di hadapan mereka saat Barra membuka pintu.
"Selamat Pagi Mas Brian dan Mbak Mia!" Sapa pria itu dengan ramah. "Saya disuruh resepsionis untuk meminjam KTP atau Paspornya Mbak dan Masnya. Buat data reservasi katanya."
Barra mengangkat kedua alisnya. "Loh. Katanya boleh enggak pakai KTP? Waktu check in saya udah bilang, kita enggak bawa identitas, karena semua tertinggal di rumah. Makanya kita melakukan p********n untuk lima hari. Dan hari ini kita sudah mau check out," jawabnya sambil melirik Alma yang mulai terlihat panik.
"Ooh! Sudah mau check out, toh Mas?" Sesaat pria itu tampak berpikir. "Tapi... anu loh, Mas. Semua tamu katanya mesti menyerahkan data pribadi hari ini."
Barra mendekatkan wajahnya pada pria itu. "Kenapa memangnya, Pak? Ada razia?" Bisiknya.
"Katanya ada pemeriksaan keamanan, Mas," sahut pria itu dengan berbisik juga.
"Oooh! Ada yang cari penjahat?" Barra pura-pura terkejut, lalu membuka pintunya lebih lebar. Mempersilakan pria itu untuk masuk lalu menutup pintu. "Bapak kan, petugas keamanan, pasti tahu mereka lagi mencari siapa?" Tanya Barra lagi dengan suara senormal mungkin meski dadanya berdegup kencang.
Pria itu tampak ragu. "Kami dapat edaran, katanya ada seorang pembesar yang sedang mencari anaknya yang hilang. "
Barra kembali melirik Alma yang kini ketakutan.
"Ohh! Bapak tahu gak, nama anaknya siapa?" Tanya Barra seraya mengambil sebungkus rokok dari dalam tasnya. Lalu diulurkannya pada pria itu.
"Makasih, Mas!" Pria itu pun berubah tersenyum. "Namanya sih, tidak dikasih tahu, tapi mereka minta semua data penghuni penginapan di Bromo."
"O ya? Seluruh penginapan di Bromo? Pasti anaknya perempuan?" Pancing Barra.
"Loh, kok tahu, Mas?"
"Ya, kalau cowok biasanya enggak dicari." Barra mencoba terlihat sesantai mungkin.
Pria itu tertawa. "Jadi Mas hari ini mau check out? Baik kalau begitu, Mas. Saya nanti kasih tau resepsionisnya. Terima kasih loh, Mas rokoknya," ucapnya.
Barra mengangguk. "Ya, nanti biar saya saja yang menjelaskannya sekalian lapor check out."
Pria itu pun pamit tanpa bertanya lagi.
Barra dan Alma saling berpandangan.
"Kita harus keluar secepatnya! Aku akan ke resepsionis sekalian panggil taksi. Kamu enggak perlu ikut. Nanti begitu taksi datang kamu harus langsung masukin barang-barang dulu, terus minta supirnya untuk menunggu di dekat pintu keluar penginapan."
Alma mengangguk tanpa bertanya. Ia langsung mengemasi barang-barangnya.
Barra dengan cepat mengemas ranselnya lalu keluar secepat kilat. Ia tahu, ia harus sebisa mungkin meyakinkan resepsionis agar mempercayainya. Dominik sengaja memesan penginapan biasa yang tidak ribet. Tapi ternyata pengaruh kekuasan Sang Jenderal begitu besar. Dia menggunakan seluruh kewenangannya untuk menemukan mereka. Begitu berkuasanya sampai dengan mudahnya bisa meminta semua identitas tamu hotel di seluruh Bromo. Ia yakin, resepsionis pasti tahu siapa nama yang mereka cari.
Barra meremas-remas rambutnya. Kenapa baru terpikirkan olehnya, saat ini melacak seseorang itu tidak perlu harus bergerilya mencari dari pintu ke pintu. Semua bisa dilakukan dengan mudah menggunakan teknologi. Dan buat seseorang seperti dia, menemukan mereka hanyalah tinggal menunggu waktu. Dan yang bisa dilakukannya saat ini hanyalah mengulur waktu hingga Sang Jenderal mau menurunkan egonya dan menuruti keinginan Anak kesayangannya.