Serangan Pertama

1109 Kata
Barra menutup ponselnya, lalu meletakannya di atas meja. Sejenak dipejamkannya kedua mata. Ucapan Ibu di telepon tadi membuatnya kini semakin bingung. Dilihatnya Alma yang tengah sibuk membuat mie rebus dengan kompor listrik kecil yang dibelinya kemarin di pasar. Barra tersenyum melihat ia tampak seperti anak kecil yang kegirangan bermain masak-masakan. "Sarapan sudah siap!" Seru Alma dengan gembira. Diletakannya dua mangkuk mie yang baru dibuatnya itu di hadapan Barra. Barra kembali memandanginya. Alma sudah tidak sedih lagi. Ia sudah berjanji pada Alma untuk terus bersamanya. Dan Alma juga sudah menon-aktif kan ponsel karena takut Ayahnya akan menghubunginya kembali. "Pasti kamu enggak pernah masak mie instan," ujar Barra melihat Alma yang tampak sumringah melihat mie hasil buatannya tersaji di atas meja. Alma tersenyum malu. "Dari kecil Mama enggak bolehin aku makan mie instan. Tapi aku suka minta Mbak di rumah untuk buatin diam-diam." "Pantesan, kamu beli mie banyak banget." Barra menggeleng-gelengkan kepalanya. Alma tersipu. "Kalau kamu? Pernah masak mie sendiri?" Tanyanya balik. "Sering, dong! Jangankan masak mie. Masak nasi goreng aja sering. Kalau Ibu enggak sempat masak, ya aku masak sendiri," ucap Barra dengan bangga. "O ya?" Alma memandang Barra tak percaya. Barra mengangguk sambil mengaduk-aduk mie-nya. Dilihatnya Alma yang terdiam sambil memikirkan sesuatu. "Kalau kita menikah nanti, aku akan belajar masak," ucap Alma tiba-tiba sambil menggulung-gulung mie dengan garpu lalu memasukannya ke dalam mulut. Sesaat Barra terdiam memandangnya. Ia baru menyadari ternyata sifat Alma sangat mirip dengan Ayahnya. Pendiriannya sangat kuat. Tak tergoyahkan dan tak bisa dirubah. Ia bahkan sudah yakin akan menikah dengannya. Dan ia tidak peduli meski sang Ayah menentangnya. Ah, tiba-tiba saja Barra merasa malu pada dirinya sendiri. Mungkin benar kata Ibu, Alma memang lebih berani dan lebih kuat darinya. Sedangkan dirinya tidak pernah memperjuangkan apa pun seumur hidupnya, karena selalu ada Ibu yang berjuang untuknya. Dan ia tidak pernah melakukan sesuatu tanpa meminta saran dari Ibu. Dan sekarang Ibu memintanya untuk memutuskan sendiri apa yang harus dilakukannya. Ia harus belajar menjadi laki-laki dewasa. Barra menarik nafasnya dalam-dalam. Sulit sekali menjadi dewasa, batinnya. "Kenapa?" Tanya Alma menyadari Barra memperhatikannya sejak tadi. "Kamu cantik," sahut Barra sekenanya. Alma mencebikan bibir. "Baru juga dikasih mie rebus udah gombal. Nanti kalau aku bikinin nasi goreng, kamu pasti bilang aku cantik, manis, baik hati dan tidak sombong." Barra tertawa. "Habis ini kita sewa sepeda terus jalan-jalan keliling Bromo, mau enggak?" Ajaknya tiba-tiba. Alma mengangguk. Barra tersenyum melihat wajah Alma berseri kegirangan. Hari ini ia akan menghiburnya, sambil memikirkan langkah selanjutnya. Ia tahu, Sang Jenderal tengah menyusun rencana. Dan tinggal menunggu waktu sampai saat seseorang mengetuk pintu penginapan mereka dan membawa Alma pergi. Dan ia tak bisa membayangkan rasanya saat itu terjadi. Ia pasti tak akan tahan melihat Alma menangis. Barra menarik nafas panjang. "Bar..." Tiba-tiba suara Alma menyadarkan Barra dari lamunan. "Kamu mikirin apa?" Tanya Alma. "Aku lagi membayangkan kamu jadi istriku," sahut Barra membuat Alma tersipu dan salah tingkah. Barra tersenyum senang melihatnya. "Kamu udah selesai makannya?" Tanyanya terkejut melihat mangkuk mie di hadapan Alma yang sudah kosong. Alma mengangguk. "Aku lapar!" Sahutnya sambil kembali tersipu malu. Dan Barra pun tertawa melihatnya. Ia tahu Alma tak bisa menahan lapar. Dan setengah jam kemudian mereka sudah mengendarai sepeda menyusuri jalanan kecil berbatu. Barra tersenyum melihat raut bahagia terpancar di wajah Alma. Tak ada yang bisa membuatnya bahagia saat ini selain dapat melihat senyumnya. Tapi tiba-tiba saja Barra menghentikan laju sepedanya saat terdengar sebuah panggilan masuk di ponselnya. Seketika wajahnya menegang sesaat ia mengangkatnya. "Ada apa, Dom?" Tanyanya panik sambil menjatuhkan sepedanya. Alma berhenti di samping Barra. Tapi ia tak berani bertanya. Ditunggunya hingga Barra selesai berbicara dengah wajah yang tak kalah panik. Ia tahu hal buruk akan segera terjadi lagi. Barra memandang Alma sesaat ia menutup sambungan telepon. "Bar..." Alma mulai ketakutan. "Orang suruhan Ayahmu baru saja mendatangi Dominik dan orang tuanya di rumah." "Hah?!" Alma melebarkan matanya. "Untuk apa, Bar?" Tanyanya dengan wajah bingung. "Menanyakan pada Dominik keberadaan kita." "Lalu?" Kini Alma bertambah panik. Barra mencoba tersenyum untuk menenangkan Alma. "Dom bilang, dia hanya mengantarkan kita ke agen bus tujuan Bali, lalu dia langsung kembali ke Semarang." "Begitu aja?" Alma menatap Barra tak percaya. "Ya, begitu aja. Mereka enggak nanya apa-apa lagi. Dom bilang, mereka juga menanyakannya dengan baik-baik dan sopan." Tapi sorot mata Alma terlihat masih tak percaya. "Yuk, kita lanjut?" Barra kembali menaiki sepedanya. "Kita pulang aja, Bar." Alma memutar sepedanya. Ia sudah tidak bersemangat lagi. Barra mengangguk. Ia tahu Alma ketakutan. Ia tak bisa dibohongi bahwa mereka hanya sekedar datang ke rumah Dom dan berbasa-basi menanyakan keberadaan mereka. Sudah pasti kedatangan mereka adalah untuk menakut-nakuti ia dan Alma. Namun, belum sempat Barra mengayuh sepedanya kembali, sebuah pesan masuk terdengar dari ponselnya. Pesan dari Ibunya. Wajahnya kembali tegang. Ditekannya nomornya. "Ibu enggak apa-apa, Bar..." Suara Ibunya terdengar sangat tenang. "Ibu bilang Barra lagi di mana, gak?" Tanya Barra panik. "Ibu bilang sesuai cerita kamu aja. Kamu dari Malang mau ke Bali. Mereka juga tahunya itu, kan?" "Ya. Ibu pintar..." Sahut Barra membuat Ibunya tertawa. Barra menutup ponselnya dengan senyum. Mereka tidak bisa menakut-nakuti Ibu. Tidak ada yang membuat Ibu panik kecuali saat ia tiba-tiba meminta bayaran uang kuliah. "Kenapa Ibu, Bar?" Wajah Alma kembali tegang. "Sama kayak Dom. Didatangi juga di kantornya. Menanyakan keberadaan kita juga. Jawaban Ibu juga sama." Alma menghembuskan nafasnya. Ia terlihat sedikit lega. ... Barra termenung di dalam kamarnya. Tangannya sibuk mencoret-coret buku kecil di tangannya. Menuliskan semua kemungkinan yang akan dilakukan Sang Jenderal. Hari ini ia sudah mencoba menakuti-nakuti orang-orang terdekatnya dengan cara yang halus. Dan saat ini dia pasti tengah menunggu reaksi Alma. Ia menunggu Alma menghubunginya. Dan kalau ia tidak mendapatkan reaksi apa pun dari Alma, ia akan menggunakan cara lain, yang mungkin tidak akan sehalus hari ini. Barra mengetuk-ngetukkan pulpennya di atas kasur. Memikirkan langkah apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Ia tahu, cepat atau lambat keberadaan mereka akan diketahuinya juga. Mereka sudah berada di Semarang. Dan kemungkinan mereka juga akan mulai mencarinya lagi ke kota Malang. Lalu mulai menyisiri setiap daerah terdekatnya. Lalu mereka akan mendatangi setiap hotel dan penginapan. Barra menghela nafasnya. Ia dan Alma harus segera pergi. Tapi bagaimana caranya? Ia yakin orang-orang suruhan Ayah Alma sudah ada di setiap terminal dan stasiun, bahkan mungkin hingga ke bandara. Barra membuka ponselnya. Ditulisnya sebuah pesan untuk Dominik. Ia membutuhkan informasi. Ia tahu saat ini Dominik pun akan sulit mendapatkan informasi dari temannya itu, karena sekarang Sang Jenderal bergerak sendiri. Tidak ada yang tahu. Sepertinya dia sudah tidak percaya dengan para polisi itu sejak kegagalan misi mereka di Malang. Milla... tega sekali dia. Barra menghembuskan nafasnya. Dan ia pun kembali termenung. Tapi tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Diputarnya nomor ponsel Dominik, ia perlu bantuannya segera. Ia punya sebuah rencana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN