"Jalan, Pak!" Perintah Barra kepada supir sesaat ia melompat masuk ke dalam taksi yang menunggunya.
"Gimana, Bar? Mereka percaya?" Tanya Alma tak sabar.
"Aku sogok sama sisa uang booking yang masih dua hari itu. Aku bilang kita buru-buru mau kejar kereta ke Jakarta."
"Jakarta?"
"Untuk mengecoh. Karena cepat atau lambat mereka akan tahu juga. Yang booking penginapan kan, Dominik. Dan mereka menyimpan datanya.
"Oh!" Alma menepuk keningnya. "Tau gitu kita langsung kabur aja, enggak usah bilang-bilang."
"Mereka akan tambah curiga. Kita buat resepsionis enggak curiga untuk mengulur waktu."
"Apa Dominik sudah di jalan?"
Barra melirik jam di ponselnya. "Mestinya sih, sudah," sahutnya seraya membuka ponsel lalu menekan nomor Dominik. Namun beberapa saat kemudian Barra menutup ponselnya kembali.
"Kenapa?"
"Kayaknya hapenya mati. Nanti aku coba lagi."
Namun setelah menunggu hampir satu jam di dalam taksi, ponsel Dominik belum juga tersambung.
"Aneh...!" Barra mengerutkan kening. Kedua matanya berputar-putar, memikirkan semua hal buruk yang mungkin terjadi.
"Apa terjadi kecelakaan?" Tanya Alma gusar.
Sesaat Barra memandang Alma. Lalu ditekannya nomor yang lain. "Aku coba telepon ke toko orang tuanya." Beberapa saat kemudian ia sudah berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Namun wajahnya berubah kebingungan setelah menutup teleponnya.
"Bar..." Suara Alma terdengar semakin gusar.
Barra kembali mengerutkan keningnya. "Kata Ibunya, Dom pergi selepas subuh tadi. Mestinya dia sudah sampai..."
"Dan mestinya dia sudah di penginapan lalu menelepon kita..." Kini Alma pun ikut kebingungan.
Barra terdiam sesaat. Suasana mendadak hening. Alma menatapnya tanpa berani bertanya. Ia sungguh takut membayangkan hal buruk menimpa Dom.
"Pak, kita balik lagi ke penginapan tapi enggak usah masuk ke dalam," Perintah Barra tiba-tiba pada supir taksi. Wajahnya terlihat semakin tegang. Ia berharap dugaannya meleset. Ia berharap Dominik baik-baik saja dan hanya kehabisan baterai ponselnya.
Dua puluh menit kemudian, taksi sudah berhenti di samping pagar tembok penginapan yang tinggi. Barra keluar dari dalam taksi dengan topi dan masker yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Lalu masuk ke dalam area penginapan setenang mungkin, agar tak ada yang mencurigainya. Matanya menelusuri parkiran kendaraan, lobi resepsionis, hingga akhirnya langkahnya terhenti di depan pondok yang baru saja ditinggalkannya itu. Dilihatnya sebuah mobil van berwarna putih dengan plat Semarang dan sebuah mobil lain yang pernah dilihat sebelumnya. Tak berpikir lama, dengan cepat ia pun berbalik keluar dari area penginapan.
"Dom ketahuan!" Pekiknya seraya melompat masuk ke dalam taksi yang menunggunya. Diperintahkannya supir untuk segera pergi.
"Hah! Maksudnya?" Wajah Alma berubah panik.
"Mobil Dom terparkir di depan pondokan kita, dengan mobil SUV yang waktu itu membuntuti kita."
"Pengawal-pengawalku?"
"Aku enggak liat orang-orangya. Tapi mereka pasti orang-orang Papamu juga."
"Ya, Tuhan!" Suara Alma bergetar. Ia hampir menangis.
Barra melepas masker dan topinya. "Mudah-mudahan Dom cukup pintar untuk enggak bilang kita mau ke Bali. Mereka pasti udah tanya-tanya resepsionis, dan udah dapat info kalau kita mau ke Jakarta," harapnya dengan nada cemas.
"Tapi gimana caranya bikin mereka yakin kita ke Jakarta, Bar. Kasihan Dominik." Kedua mata Alma kini sudah berkaca-kaca.
Barra membuka ponselnya kembali. Dalam keadaan seperti ini yang ia butuhkan hanyalah Ibunya. Tak butuh waktu lama setelah Barra menelepon Ibu, wajahnya terlihat sedikit lega. Diperintahkannya supir untuk melaju ke sebuah tempat.
"Buat apa, Bar?" Tanya Alma ketika Barra meminta ponsel pintarnya lalu menyalakannya. "Tulis Alamat rumah kamu, Ma," pintanya sambil memberikan buku kecilnya dan pulpen.
"Buat apa, Bar?" Tanya Alma lagi kebingungan.
"Kita akan membuat mereka percaya kamu lagi dalam perjalanan ke Jakarta. Ibu akan meminta supir ekspedisi perusahaan yang akan ke Jakarta untuk mengambil ponselmu untuk dikirim ke rumahmu. Kita akan menunggu di pintu masuk tol."
...
Barra menekan kembali nomor Dominik dan menunggunya hingga deringan ketiga saat kemudian terdengar sahutan di ujung telepon. Seketika raut wajah Barra berubah lega. Wajahnya tampak gembira. Ia bahkan sempat tertawa saat mendengar celotehan Dominik.
"Aman!" Ucap Barra sesaat menutup sambungan telepon. Membuat Alma pun menjerit kegirangan. Dan Barra lalu meminta supir untuk menuju tempat pertemuan dengan Dominik.
Dominik keluar dari van putihnya mengenakan topi dan jaket serba hitam, lengkap dengan kaca mata hitam dan masker hitam bergambar tengkorak. "Sorry, Bro...," ucapnya sambil merangkul Barra.
Barra tersenyum. "Kita yang minta maaf, udah nyusahin, lu."
"Maaf ya, Dom." Alma merangkul Dominik sambil menangis haru.
"Kok, nangis?" Dominik mengusap-usap punggung Alma. "I'm fine! You see!" Ucapnya lagi seraya membuka maskernya. Tampak wajahnya berseri-seri.
"Pantesan lu diikutin. Lu udah kayak mau ngerampok bank. Mana pakai mobil Van lagi!" Seloroh Barra melihat penampilan Dominik yang nyentrik.
"Kan, gua dalam misi penting. Penyelamatan anak jenderal!" Ujar Dominik terbahak.
"Untung lu enggak bilang kita mau ke Bali." Ucap Barra seraya mengeluarkan barang-barangnya dari dalam taksi.
"Ya, gua bilang mau jemput lu untuk antar ke Jakarta. Gua inget, lu pernah bilang kalau ketangkep di jalan alasannya mau ke Jakarta."
"Pinter, lu!" Barra tersenyum seraya menepuk-nepuk bahu Dominik.
"Mereka mulai ngikutin dari mana, Dom?" Tanya Alma.
"Dari mananya gak tahu, tapi pas mau masuk tol, aku dicegat dua mobil. Satu di depan, satu di belakang. Terus dua orang turun, langsung minta bukain mobil, terus dia masuk. Ya, ternyata mereka tahu aku mau ke Malang, ketemu kalian. Ya udah, mau gak mau bilang iya, terus mereka ikut sampe penginapan. Aku langsung matiin hape karena takut ketahuan kalau kalian telepon."
"Terus lu bilang apa waktu tau kita udah pergi dari penginapan?" Tanya Barra
"Gua pura-pura gak tau. Pura-pura bingung. Untungnya lu udah kasih tau resepsionis kalian mau ke Jakarta. Lama tuh mereka nungguin di penginapan sampai terus dapat info katanya kalian terdeteksi dalam perjalanan ke Jakarta."
"Barra tersenyum. Ide nyokap gua. Hape nya Alma dipaketin ke rumahnya."
"Keren ide nyokap lu!"
"Nyokap gua kan, orang ekspedisi. Gua udah bingung, takut lu diapa-apain."
"Gak kok. Mereka gak banyak nanya-nanya juga. Soalnya kayaknya males juga nanya gua, jawabannya itu-itu aja. Gua kan pura-pura gak tau apa-apa rencana lu."
"Ini mobil travel siapa yang lu bawa?" Barra memandangi mobil van putih Dominik dengan bagasi besar bertengger di atasnya.
"Eits, jangan salah. Ini Camper Van, Brooo..."
Barra dan Alma terperangah begitu Dominik membuka pintu mobil.
"Keren banget!" Jerit Alma kegirangan. Disentuhnya kursi kulit yang nyaman, yang dilengkapi dengan meja kecil untuk menaruh makanan dan minuman. Layar televisi kecil di atasnya, serta ruang bagasi yang disulap menjadi tempat tidur dengan matras yang tebal dan bantal-bantal yang empuk.
"Lu dapat dari mana?" Tanya Barra masih memandangi van dengan takjub.
"Pinjem, punya teman gua."
"Pinjam? Gak sewa?" Barra memandang tak percaya.
"Gak. Soalnya ini yang modif gua, terus orangnya belom bayar," sahut Dominik dengan tawanya yang kencang.
Barra dan Alma ikut tergelak. Perjalanan mereka kali ini sepertinya akan lebih menyenangkan.