Barra menuntun Alma menuruni jalan setapak yang menurun menuju jalan utama. Pondok penginapan mereka memang berada di dataran yang lebih tinggi dan terpisah dari pondok-pondok lainnya. Membuat mereka dapat dengan leluasa melihat pemandangan dari atas sana. Namun, mereka juga agak sedikit repot jika harus sering-sering turun naik ke pondok, seperti yang mereka lakukan saat ini.
Sebenarnya Barra juga enggan untuk keluar dari pondok, andai saja ia tidak harus membeli pakaian untuk menghangatkan tubuhnya di suhu yang melebihi dinginnya pendingin udara itu.
Barra tersenyum melihat Alma menarik nafas lega saat akhirnya ia bisa turun tanpa tergelincir. Dipeganginya tangan Barra menyusuri jalan utama yang ramai oleh lalu lalang wisatawan yang berjalan kaki dan bersepeda. Mereka harus berjalan kaki sekitar tiga puluh menit untuk sampai ke pasar kaget yang hanya buka di pagi hingga siang hari itu.
"Mia, jangan gelendeton begitu, nanti orang-orang curiga. Kita kan lagi menyamar sebagai adik kakak," seloroh Barra.
Alma melepaskan tangannya dari pinggang Barra. "Ya, Mas Brian," sahutnya sambil cekikikan.
"Indah sekali ya, Bar." Alma memandang takjub Gunung Bromo yang terlihat berdiri dengan megahnya di kejauhan.
Barra mengangguk. "Suatu saat nanti kita akan kembali ke sini. Kita akan naik ke sana melihat sunrise seperti mereka. Barra menunjuk rombongan wisatawan yang baru saja turun beriringan dari atas gunung.
Alma mengangguk. Ia mengerti, saat ini mereka bukan sedang berlibur. Mereka sedang dalam pelarian. Mereka harus menjauhi keramaian. Alma memandang wajah Barra dari samping. Andai saja Papa mengerti, bagaimana Barra menjaganya. Alma meraih tangan Barra, lalu menggenggamnya.
Barra menoleh, ia tahu Alma memandanginya sejak tadi. "Kenapa?" Tanyanya.
Tapi Alma hanya menggeleng.
Barra tersenyum. Meski ia hanya dapat melihat mata Alma, tapi ia tahu ada senyum di balik maskernya. "Kamu diajak jalan-jalan ke pasar aja girang banget," ujarnya.
"Aku bahagia, Bar. Kalau Papa tetap enggak setuju dengan hubungan kita, aku enggak keberatan kamu culik aku selamanya."
Barra tertawa kencang, hingga orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka ikut menoleh.
"Kamu tahu gak istilah 'Stockholm Syndrom'?" Tanyanya setelah tawanya reda.
Alma kembali menggeleng.
"Sindrom yang dialami korban penculikan dimana dia merasa simpati, suka, bahkan jatuh cinta sama si penculiknya."
"Kayak aku?"
"Kalau kamu kan, sebenarnya aku yang jadi korban?" Sungut Barra dengan wajah cemberut.
"Bener juga. Kalau begitu aku mengalami Barra Sindrom," ucap Alma dengan tawa yang terdengar dari balik maskernya. Membuat Barra pun kembali tergelak.
Setelah berjalan kaki hampir setengah jam lamanya akhirnya mereka tiba di pasar kaget yang ternyata sudah ramai dengan para pengunjung yang kebanyakan para wisatawan. Pasar itu memang kebanyakan menjual bermacam kebutuhan wisatawan yang berkunjung ke Bromo. Tampak tenda-tenda kios yang berwarna-warni berjajar rapi di sisi kiri dan kanan pasar, hingga hanya menyisakan sedikit saja jalanan di tengahnya. Para penjual tampak menjajakan beraneka macam dagangan. Mulai dari jaket tebal dengan berbagai macam warna dan bentuk. Baju hangat, ransel, perlengkapan mendaki hingga tenda dan perlengkapan memasak. Ada juga yang menjajakan makanan ringan, bunga dan cindera mata.
"Kamu enggak pernah ya, ke pasar kaget?" Tanya Barra saat melihat mata Alma yang berbinar memandangi aneka barang yang dijajakan di setiap kios. Alma menjawab dengan gelengan kepalanya.
"Jangan banyak-banyak belanjanya, kita gak lama di sini," teriak Barra saat melihat Alma tiba-tiba sudah berlari menghampiri tenda penjual jaket. Tapi Alma pura-pura tak mendengarnya. Dan tak hanya membeli jaket dan baju dingin, Alma pun hampir memborong semua barang dagangan yang dijual di sana, termasuk mie instan. Dan ia baru berhenti setelah Barra menarik tangannya.
Barra melotot menatap dua kantong besar belanjaan yang ditenteng Alma.
"Kamu belanjanya kayak kita mau tinggal setahun di sini?" Omelnya.
"Siapa tahu?" Goda Alma sengaja membuat Barra kesal.
Barra menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia ingin kembali memarahi Alma, tapi melihatnya begitu gembira ia pun menjadi tak tega. "Kita naik ojek, ya?" Tanyanya melihat banyaknya Belanjaan Alma yang tak mungkin mereka bawa sambil berjalan kaki.
Alma pun mengangguk senang.
...
"Bar..."
Barra menoleh. Dilihatnya Alma keluar dari dalam kamar dengan ponsel di tangannya. Ia memang baru saja menerima telepon dari sang Mama.
"Mama bilang Papa mau telepon aku," ucapnya dengan wajah bingung.
"Terus...?
"Aku takut..." Alma duduk di samping Barra, digenggamnya tangannya.
"Apa yang kamu takutin?" Barra mengusap-usap tangan Alma, mencoba menenangkannya.
Alma memandang Barra dengan ragu. "Aku takut menolak. Papa pasti akan membujukku pulang."
Barra tersenyum. "Ya, kalau begitu enggak usah."
"Tapi kata Mama kalau aku enggak mau bicara, Papa enggak bolehin Mama bicara lagi denganku."
Kini Barra terdiam. Keningnya berkerut. Sudah pasti Sang Jenderal tahu kelemahan Alma. Alma tidak akan bisa menolak perintahnya. Dipegangnya kedua bahu Alma, dan ditatapnya dengan sungguh-sungguh.
"Semua terserah kamu, Ma..." ujarnya mencoba meyakinkan.
"Aku bingung, Bar. Kalau aku enggak bisa telepon Mama, Mama pasti akan sedih sekali. Tadi dia juga telepon aku sambil menangis. Dia minta aku pulang. Katanya kalau aku pulang dia janji enggak akan memaksaku menerima lamaran Fariz."
"Si mantan kamu itu?"
Alma mengangguk.
"Ya, berarti kamu bebas, Ma?"
"Tapi bukan berarti Papa merestui hubungan kita, Bar!"
Barra menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Ia kembali berpikir.
"Tapi, bukankah yang terpenting kamu bebas dulu dari dia, Ma?"
Alma menggeleng. "Kamu enggak ngerti, Bar. Kalau pun aku menolak lamaran Fariz, Papa tetap tidak akan memperbolehkan kita bertemu lagi. Sampai kapan pun. Dia akan menjagaku lebih ketat sampai kamu tidak bisa menemuiku lagi. Papa tidak pernah merubah keputusannya. Kalau dia sudah tidak menyetujui hubungan kita, maka selamanya dia tidak akan merestui kita."
Barra mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Tapi Papamu juga tidak akan menyerah dengan apa yang kamu lakukan saat ini, Ma? Apa yang kita lakukan seminggu ini enggak ada artinya buat dia. Dia tetap enggak mau merubah keputusannya."
"Tapi aku enggak mau kita berpisah, Bar." Suara Alma kini bergetar.
"Lalu kita harus bagaimana, Ma!" Suara Barra tiba-tiba saja berubah meninggi. Ia tak bisa lagi menahan emosinya. Ia memang sudah tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Ia sudah lelah.
Alma memandang Barra dengan mata berlinang. Tak lama kemudian ia berlari masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya keras-keras.
Barra meremas-remas rambutnya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Mau sampai kapan mereka melarikan diri?
Dipandanginya kamar Alma yang tertutup. Terdengar isak tangisnya semakin keras, membuatnya tak tahan untuk membuka pintu kamarnya. Dilihatnya Alma terbaring di atas kasur. Wajahnya terbenam dalam bantal yang sudah basah oleh air mata.
Barra mengusap lembut rambut Alma. "Kita akan cari jalan keluarnya, ya? Aku akan minta saran Ibu. Dan kita akan tunggu berita dari Dominik."
Alma mengangkat wajahnya dari bantal. "Aku enggak mau pulang Bar," isaknya. Dipeluknya Barra erat-erat.
Barra memeluk Alma. Dipejamkan kedua matanya. Berharap dapat menemukan jawaban saat ia membukanya lagi. Kini ia menyadari, perjalanannya masih sangat panjang.