Sinar matahari yang menyeruak masuk menembus tirai jendela membangunkan Barra yang tertidur di atas dipan kayu beralaskan kasur tipis di dalam kamarnya. Ia merasa kedua matanya masih ingin terpejam, tapi dinginnya suhu ruangan membuatnya malas untuk beranjak bangun. Sejak semalam ia menggigil kedinginan hingga membuatnya sulit tidur. Padahal ia sudah membungkus tubuhnya dengan selimut tebal.
Barra mengusap wajahnya, mencoba menyadarkan diri. Ia harus memaksa tubuhnya untuk bergerak bangun. Ini bukanlah liburan yang membuatnya bisa bermalas-malasan. Sekarang ia harus waspada setiap saat. Ia harus selalu ingat bahwa ia tengah membawa lari seorang anak jenderal yang murka.
"Ma...!"
Barra mengetuk pintu kamar Alma yang tertutup.
"Maaa..! Bangun yuk!"
Tapi tetap tak ada sahutan. Barra mencoba membuka pintu kamar yang ternyata tak terkunci, tapi Alma tidak ada di sana. Tempat tidurnya pun sudah rapi. Ke mana dia? Barra berjalan ke pintu depan dan membukanya. Udara dingin seketika menyambar tubuhnya, membuatnya dengan cepat menutup pintu kembali. Alma keluar. Ke mana dia? Tiba-tiba hati Barra berdegup kencang. Ia sudah mewanti-wanti Alma dari semalam untuk tidak keluar dari penginapan apa pun alasannya, kecuali bersamanya.
Barra bergegas mengenakan jaket dan kembali membuka pintu. Namun ia tak jadi melangkah saat dilihatnya Alma yang tengah berjalan perlahan dan hati-hati menaiki anak tangga pondok mereka. Ditangannya ada sebuah nampan berisi teko yang mengepul dan sepiring gorengan.
"Kenapa enggak bilang-bilang dulu kalau mau keluar?" Omel Barra. Dibantunya Alma membawa nampan itu masuk ke dalam.
"Kamu tidurnya lama banget, aku udah keburu lapar," sahut Alma dengan wajah cemberut.
"Ini tuh masih pagi banget, Ma. Masih dingin."
Alma tertawa. "Makanya kalau tidur jangan kayak koala. Ini tuh, udah hampir jam sepuluh Barra sayaaang! Dan kita lagi ada di Bromo. Suhunya enggak akan pernah panas sampai kamu tidur lagi nanti malam."
"Ahh!" Barra menghempaskan tubuhnya di atas kursi rotan yang keras. Tiba-tiba ia tersadar. "Gara-gara si Dom! mentang-mentang aku suruh cari penginapan jauhan dikit, nyarinya malah di Bromo. Padahal dia kan, tahu aku enggak tahan dingin," keluhnya seraya menuang teh panas ke dalam gelas dan menggenggamnya dengan kedua tangan.
Alma kembali tertawa. Barra memang tidak berhenti mengomel sejak semalam. Bukan hanya karena mereka harus menghabiskan waktu selama dua jam di dalam taksi, tapi juga karena Dom memesan hotel di Bromo yang sangat dingin. Dan Barra benci dingin.
"Kamu kok, enggak pake masker?" Tanya Barra, menyadari Alma hanya mengenakan hijab tanpa maskernya.
"Aku kan, udah pake hijab."
"Ma, aku kan, udah bilang dari semalam wajah kamu enggak boleh terlihat?"
"Maaf... lupa!" Sungut Alma.
"Habis sarapan kita keluar ya, ke pasar cari baju dingin. Kamu enggak bawa, kan?"
Alma menggeleng seraya menahan senyum. Entah kenapa ia selalu senang melihat Barra memarahinya. Saat ini ia memang super protektif. Ia sangat memperhatikan dirinya hingga hal-hal terkecil.
"Tidur kamu enak?" Tanya Barra lagi. Kini ia sudah meminum tehnya. Membuat mood-nya sedikit lebih baik.
Alma menganguk. Meski sebenarnya ia merasa tidak nyaman semalaman tidur di atas kasur tipis hingga membuatnya pegal-pegal, tapi ia tidak ingin mengeluh. Ia tidak ingin membuat Barra lebih susah dengan hal-hal yang kecil.
"Maaf ya, kamu enggak bisa tidur di hotel yang bagus lagi."
Alma tersenyum. Mengapa Barra selalu tahu isi hatinya? "Enggak pa-pa. Kita kan, lagi menyamar? Mia dan Brian?"
Barra tergelak, mengingat kembali saat resepsionis penginapan menyapa mereka dengan sebutan Mia dan Brian. Semua gara-gara Dominik. Barra memintanya untuk mendaftarkan mereka dengan nama samaran, tapi ia tidak menyangka jika Dominik menggunakan kedua nama itu.
"Kata Dominik, uang kamu jatuh di mobil?" Tanya Barra setelah tawanya reda.
"Bukan jatuh. Itu buat dia."
"Oh...! Nanti aku kasih tahu lagi."
"Dia jujur sekali."
Barra mengangguk. "Dia hatinya sangat tulus. Melihat postur tubuhnya orang banyak mengira dia orang yang keras, padahal dia seperti anak kecil. Dia lucu tapi kadang ngeselin."
Alma tertawa. "Kamu bersahabat sejak SMA sama dia?"
Barra mengangguk. "Awalnya dia membenciku, sampai pernah mengajak berkelahi."
"O ya?" Alma menghentikan kunyahannya. "Kenapa?" Tanyanya serius.
"Gara-gara cewek yang dia taksir ternyata suka sama aku. Disangkanya aku merebutnya. Padahal cewek itu juga enggak suka sama dia."
Alma tertawa dengan mulut yang penuh dengan bakwan goreng.
"Terus enggak jadi berantemnya?"
Barra menggeleng. "Di depan dia dan cewek itu aku bilang kalau aku menganggap mereka berdua hanya teman saja."
"Terus...?"
Barra tersenyum. "Kamu suka banget dengernya. Ya, udah begitu aja. Terus si cewek itu marah sama Dom. Terus Dom minta maaf, akhirnya kita jadi sering main bareng."
"Ternyata dari SMA memang kamu sudah play boy..." Alma menggeleng-gelengkan kepalanya.
Barra tertawa. "Aku bukan play boy. Aku enggak pernah berniat mainin cewek-cewek. Cuma kadang merekanya aja yang baper."
"Baper karena kamu gombalin terus," sungut Alma.
Barra menggeleng. "Bukan itu. Tapi karena aku mengerti mereka. Aku mendengarkan mereka. Aku menolong mereka saat mereka butuhkan. Kalau mereka lagi bad mood dan tiba-tiba marah-marah enggak jelas sama aku, aku enggak pernah tanggepin. Aku anggap aja mereka lagi PMS."
Kini Alma tergelak. "Kok, kamu bisa ngerti?"
"Karena aku hanya dibesarkan oleh Ibu. Aku hafal saat Ibu lagi senang, saat Ibu tidak mau diganggu, saat Ibu lagi marah-marah. Semua pasti ada sebabnya. Dan kebanyakan sebabnya itu kalau enggak PMS ya, karena bad mood. Aku paham, perempuan itu selalu mendahulukan hatinya dulu dari pada logika."
"Menurut kamu... keputusan aku untuk kabur karena hati atau logika?"
"Menurut kamu?" Barra balik bertanya.
"Hmm... karena hati. Tapi logikaku membenarkannya. Karena yang aku lakukan adalah demi masa depanku. Bukan kah aku wanita dewasa yang berhak atas hidupku sendiri?"
Barra mengangguk. "Kamu pintar."
Alma tersenyum. "Aku sudah hidup sesuai kehendak Papa selama ini. Aku ingin memilih pendamping hidup sesuai pilihanku sendiri. Untuk kebahagianku nanti. Karena Papa tidak akan ada selamanya untukku."
"Apa kamu baru memikirkannya setelah ketemu aku?"
Alma terdiam sejenak. Melempar pandang ke arah jendela yang tertutup.
"Aku sering memikirkannya sebelum ketemu kamu. Tapi waktu itu aku berpikir, mungkin memang harus seperti itu kehidupan yang aku akan jalani. Mempunyai suami seorang tentara. Aku hanya harus belajar menerima. Terus aku ketemu kamu. Dan, ternyata kita jadian..." Kini Alma tersenyum lebar.
"Aku enggak nyangka bisa jadian sama kamu. Aku pikir waktu itu kamu akan seperti yang lainnya." Barra kembali meneguk tehnya.
"Maksud kamu? Kamu cuma mau main-main?" Alma menatap tajam kedua mata Barra.
"Maksudku... bukan begitu." Kini Barra tergagap. Ia tak menyangka Alma akan marah. "Karena kamu anak jenderal. Aku enggak berani waktu itu."
Alma tersenyum. Ia percaya Barra mencintainya bukan karena ia anak jenderal. Ia juga tahu, Barra masih sempat dekat dengan perempuan-perempuan lainnya sebelum kemudian mereka jadian. Dan Barra lalu meninggalkan mereka semua. Tapi Papa masih tidak percaya dengan ketulusan Barra. Papa masih menganggap Barra mencintainya karena ia anak seorang jenderal, dan karena ia calon dokter. Papa sangat bangga dirinya akan menjadi seorang dokter. Ia selalu mengenalkannya sebagai calon dokter kepada setiap orang yang dikenalnya.
"Ma..."
Suara Barra menyadarkan Alma dari lamunannya.
"Aku mandi dulu, habis itu kita langsung jalan ke pasar, ya?"
Alma mengangguk dengan sumringah. Aneh, bersama Barra kemana pun terasa indah. Dimasukannya lagi sebuah pisang goreng ke dalam mulutnya. Lalu ia tersenyum. Bahkan gorengan pun terasa lebih nikmat dari gorengan yang biasa dibuat Mbak di rumahnya.