Terjebak

1289 Kata
"Kabar gembira!" Teriakan Dominik dari dalam rumah mengagetkan Barra dan Alma yang tengah duduk santai di teras sore itu. Dominik menunjukan sebuah pesan singkat di ponselnya. "Status DPO kalian dicabut." Barra dan Alma saling berpandangan. "Papamu sudah pulang, kan?" Tanya Barra pada Alma. Alma mengangguk. "Apa Papa sudah berubah pikiran?" Tanyanya ragu. "Bisa jadi! Kalian udah direstui!" Sahut Dominik gembira. Tapi Barra malah terdiam. "Ada yang aneh," gumamnya. "Kamu enggak percaya?" Alma memandang Barra. Dominik ikut memandangnya dengan kening berkerut. "Gua gak ngerti, Bar!" Ujarnya. "Kalau DPO dicabut karena Papamu sudah merestui kita, kenapa Mamamu enggak kasih kabar?" Barra menatap Alma. "Dan... aku enggak percaya Papa kamu menyerah begitu aja. Dia seorang jenderal. Dia punya banyak strategi." "Wah! Calon pengacara emang otaknya beda!" Kini Dominik duduk di hadapan Barra dengan antusias. Menunggu Barra berbicara kembali. "Mungkin dia enggak mau melibatkan kepolisian lagi," sambung Barra. "Atau..." "Atau..." Dominik menunggu dengan tak sabar. "Dia sudah tahu keberadaan kita!" Barra menatap Dominik. "Lu udah ganti nomor hape, kan?" Dominik mengangguk. "Udah! Malahan hapenya gua ganti sekalian. Kemaren gua telepon nyokap juga gak ada yang nyariin." "Teman lu yang abangnya polisi itu?" "Setelah gua ceritain dia malah ngedukung kalian. Makanya dia kasih info terus. Dia juga bilang gua aman." "Aneh..." Barra kembali berpikir. "Apa mereka mengikuti kita, Bar?" Kini Alma terlihat ketakutan. Barra menggeleng. "Kita udah dua hari di sini. Kalau mereka mengikuti kita, mereka udah menangkap kita dari kemarin." Barra menatap Alma dan Dominik. "Kita harus berkemas. Perasaanku enggak enak." Alma terlihat semakin panik. Ia lalu bergegas masuk ke dalam kamar dan mulai berkemas. "Kita pergi sekarang, Bar?" Dominik beranjak bangun mengikuti Barra. "Ya. Lu siapin mobil!" "Tapi lu harus hubungi Milla dulu, Bar. Pamitan. Lu juga kan, ada janji mau ke rumahnya sore ini?" "Ya, gua disuruh ambil makanan ke rumahnya...." Tiba-tiba Barra terdiam. "Milla..." Gumamnya. "Jam berapa sekarang, Dom?" Tanyanya seolah tersadar. "Jam lima," sahut Dominik dengan wajah bingung. "Cepetan, Dom! Polisi sebentar lagi datang!" Perintah Barra dengan wajah tegang. Dengan tergesa dimasukannya pakaian dan barang-barangnya ke dalam ransel. "Hah!" Dominik menatap Barra dengan wajah syok. Tapi ia tak sempat bertanya lagi. Secepat kilat ia pun langsung berkemas. Dan sepuluh menit kemudian ketiganya sudah berada di dalam mobil yang melaju dengan cepat keluar dari pintu gerbang penginapan. "Cepetan Dom! Lu ambil jalan alternatif aja. Jangan jalanan besar." Dominik mengangguk. Dibukanya peta di ponselnya. Tapi tiba-tiba ponselnya berbunyi. "Milla!" Pekiknya. "Jangan diangkat! Matiin hape lu!" "Bar..." Alma menatap Barra dengan wajah bingung dan takut. Digenggamnya tangan Barra erat-erat. "Mobil polisi di depan!" Pekik Barra. Dibukanya jendela mobil. Dilihatnya sebuah sedan coklat dengan tulisan polisi terhalang sebuah truk di depan mereka. "Belok Dom!" "Ke mana?" Wajah Dominik berubah panik. "Ke mana aja! Polisi di depan kita!" Teriak Barra lagi. "Ya, Tuhan!" Mata Alma kini sudah berkaca-kaca. Dominik membelokan mobilnya ke sisi kiri, ke halaman belakang sebuah bangunan kosong. Tepat di samping pagar tembok penginapan yang tinggi. Dimatikannya mesin mobil. Lalu menunggu dengan tegang. Terdengar bunyi pintu pagar besi yang di dorong, disusul suara mesin mobil yang masuk ke halaman. "Nyalain pelan-pelan, Dom. Lu belok di mana aja lu nemu jalan. Pokoknya keluar dari jalan ini." Mata Barra terus memandang kaca spion di sampingnya. Mengamati jalanan di belakangnya. Dominik melajukan mobilnya dengan wajah yang semakin tegang. Kedua matanya bergantian menatapi jalanan di depan dan di belakangnya melalui kaca spion di sampingnya. Hingga akhirnya mobil berbelok ke sebuah jalan kecil yang sepi. Dan ia pun memacu mobil dengan kencang tanpa berhenti lagi. Hingga beberapa saat kemudian Barra memintanya berhenti, tepat di sebuah jalan kecil berbatu. Di tengah-tengah hamparan sawah dengan padi yang menguning. "Bangsaaaaat! Millla!" Dominik keluar dari mobilnya dengan amarah yang meluap. Barra menghembuskan nafas panjang sambil menghempaskan punggungnya ke belakang. Alma menatapnya sambil menangis. "Dia mau menjebakku?" Isaknya. Barra mengangguk. "Maafkan, aku..." "Dia cuma mau nyelamatin lu, Bar. Dan Ngorbanin gua sama Alma. Makanya lu disuruh ke rumahnya. Iya kan?" Suara Dominik terdengar sangat emosi. Barra mengangguk. Lalu mengusap wajahnya. "Gua janji ke rumahnya setengah jam yang lalu..." "Perempuan sinting!" Dominik kembali mengamuk. "Gak nyangka gua. Tega banget dia laporin kita ke polisi. Ngehianatin temennya sendiri!" Barra melompat turun dari dalam mobil. Ditepuk-tepuknya bahu sahabatnya itu. Mencoba menenangkannya. Sesaat Dominik pun menarik nafasnya. "Sorry, Bar... gua yang bawa lu ke sini..." Sesalnya. Barra menggeleng. "Cepat atau lambat mereka memang akan tahu juga." Barra menyalakan ponselnya. Seketika terdengar rentetan bunyi pesan yang masuk. "Milla... menanyakan kita di mana." Dominik tersenyum sinis. "Kita enggak bisa bareng lagi, Dom. Kita harus berpisah. Lu udah ketauan. Mobil lu juga udah pasti terlacak. Lu balik pulang aja." Dominik memandang Barra. "Terus kalian mau ke mana?" Barra memandang Alma yang tengah menghapus air matanya. Lalu menggeleng. ... Dominik menepikan mobilnya di depan sebuah agen bus malam tujuan Bali. "Lu yakin?" Tanyanya pada Barra yang tengah memasang masker di wajahnya. Barra mengangguk. "Yang penting keluar dari sini," sahutnya. Dibantunya Alma memakai hijab dan masker. Namun sesaat kemudian ketiganya terkejut saat sebuah mobil SUV hitam berhenti tepat di depan mobil mereka. Dua orang pria berseragam hijau dengan rambut cepak dan perawakan tegap keluar dari dalam mobil. Lalu menghampiri ketiganya. Barra menatap Alma. Ia mengenal pria-pria itu... para pengawal Alma. Kini mereka tak bisa melarikan diri lagi. "Bar..." Dominik memandang Barra dengan wajah panik. "Jangan turun, Ma..." Pinta Barra. "Aku harus turun. Kali ini aku akan menghadapinya," sahut Alma. Dibukanya pintu mobil dan dihampirinya kedua pengawalnya itu. Kedua pria itu pun lalu menghampiri Alma. "Maaf, Mbak Alma. Kami diperintahkan Bapak untuk menjemput Mbak Alma pulang. Dan kami tidak akan menangkap Mas Barra, kalau Mbak Alma mau pulang sekarang," ucap salah satu pria itu. Alma membuka maskernya, lalu menatap kedua pengawalnya itu sangat dekat. "Saya akan ikut kalian pulang. Tapi saya akan mengingat ini selamanya... Saya akan pastikan kalian mendapatkan penderitaan yang saya rasakan saat ini. Saya akan membuat kalian juga menderita... Saya akan mengatakan pada Papa kalau selama ini kalian telah menjaga saya dengan buruk. Lalu saya juga akan membujuk Papa, dan calon mertua saya untuk tidak pernah menaikan pangkat dan jabatan kalian. Dan... saya juga akan memastikan kalian di mutasi ke seluruh tempat terpencil di negeri ini seumur hidup sampai kalian tidak pernah berjumpa lagi dengan keluarga tercinta kalian!" Kini Alma melangkah mundur. Masih ditatapnya kedua pria di depannya dengan emosi yang tertahan. Bahunya turun naik. Kedua matanya berair. Kedua pria itu saling berpandangan. "Atau... kalian bisa menolong saya dengan melepaskan kami. Melupakan pernah melihat kami di sini. Mungkin kalian tidak akan mendapatkan bonus yang Papa janjikan. Tapi... saya pastikan saya akan membujuk Papa untuk menaikan jabatan kalian karena kalian sudah menjaga saya dengan baik selama ini..." Kini kedua pria itu terlihat ragu. Barra dan Dominik saling berpandangan. Alma mengambil dua ikat uang dari dalam tasnya, dan diulurkannya kepada mereka. "Anggap ini sebagai pengganti bonus dari Papa." Tapi keduanya menggeleng. "Maaf, Mbak Alma..." "Ambilah... Dan pergilah..." Kedua pria itu berpikir sesaat sebelum kemudian mengambil uang dari tangan Alma, lalu dengan cepat masuk ke dalam mobil dan pergi. Alma menghembuskan nafas panjangnya. Ditatapnya Barra dengan kedua mata yang masih basah oleh air mata. Dan Barra pun langsung melompat turun dari dalam mobil. Dipeluknya Alma dengan bangga. "Kamu hebat, sayang!" Bisiknya. Dominik menggeleng-gelengkan kepalanya penuh kekaguman. "Kereeen! Sekarang gua bener-bener percaya Alma anak jenderal!" Barra tersenyum. "Sekarang lu balik pulang." "Ah... padahal gua masih mau ikut..." Rajuk Dominik seperti anak kecil. "Pulang... Dom... Nanti gua kabarin kalo gua butuh lu lagi." "Ah, yang bener?" Kini Dominik kembali terlihat sumringah. Barra mengangguk. Dipeluknya sahabatnya itu. Ditepuk-tepuknya punggungnya. "Makasih banyak ya, Dom. Gua berhutang budi sama lu," ucapnya dengan tulus. "Ah, apaan sih, lu." Dominik memalingkan wajahnya. Ia tak ingin Barra melihat matanya yang mulai berkaca-kaca. Tanpa sepengetahuan Dominik, diam-diam Alma melemparkan seikat uang ke dalam mobilnya. Lalu menyalami dan mengucapkan salam perpisahan padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN