"Kita mau ngapain di sini, Bar?" Tanya Alma saat Barra menggandengnya masuk ke dalam sebuah mall.
"Kencan!"
Alma membulatkan kedua matanya. Dipandanginya Barra dengan kedua mata berbinar.
"Mumpung lagi enggak ada yang mengejar-ngejar kita. Aku mau ngajak kamu makan makanan pavorit kamu, minum boba, nonton, dan apa aja yang kamu suka sambil nunggu bus kita berangkat nanti malam. Mau, kan?"
Alma mengangguk sumringah. Seminggu sudah mereka berpetualang. Dan sekarang mereka akan menikmati waktu sejenak untuk bersenang-senang. Diikutinya langkah Barra yang menggandengnya masuk ke dalam sebuah restauran pizza.
"Enak?" Tanya Barra saat dilihatnya Alma yang dengan lahapnya menyantap potongan kedua Pizza Pepperoni kesukaannya. Dia seperti anak kecil yang baru saja dibelikan makanan kesukaan.
Alma mengangguk-angguk dengan wajah berseri.
Barra tertawa kecil. Selama satu minggu mereka bersama, baru kali inilah ia melihat Alma begitu bahagia menyantap makanannya.
"Nanti kita pesan lagi buat bekal di jalan, ya?" Disekanya bibir Alma yang belepotan oleh lelehan keju dan saus tomat.
Alma kembali mengangguk. "Kamu enggak makan?" Tanyanya, menyadari Barra hanya memesan minuman dingin.
Barra menggeleng. "Aku beli makan di bioskop aja nanti."
Sejenak Alma terdiam. Buru-buru ditelannya potongan pizza di dalam mulutnya. Dipandanginya Barra dengan ragu.
"Kamu enggak suka pizza?" Tanyanya.
"Mmm, aku... masih kenyang," sahut Barra. Disesapnya teh leci dinginnya dengan sedotan. Menghindari tatapan Alma yang curiga.
"Tapi kamu belum makan apa-apa..."
"Aku... cuma lagi malas makan pizza aja."
Tiba-tiba saja Alma tersadar. "Oh! Maafkan aku... aku lupa kamu enggak suka makanan Italy," ucapnya dengan rasa bersalah
"Ma... aku yang ngajak kamu."
"Kamu enggak perlu begini, Bar. Aku bisa makan apa aja." Alma menyeka mulutnya dengan tisu lalu meneguk minumannya. "Kita cari makanan yang lain, yang kamu juga suka," ujarnya. Dilambaikannya tangan pada pelayan untuk meminta sisa pizza-nya dibungkus.
"Tapi aku ingin menyenangkan kamu," sahut Barra lagi.
Alma tersenyum. "Setiap saat bisa bersamamu saja sudah cukup bikin aku bahagia," ujarnya lagi. Ditariknya tangan Barra menuju sebuah restoran Bakmi Ayam. "Kalau ini enggak salah lagi. Sekarang aku yang traktir."
"Tapi, Ma..." Barra menghentikan langkah.
"Tenang... aku enggak akan bilang Ibu," sahut Alma saat dilihatnya Barra yang tampak ragu.
Barra akhirnya tertawa. "Tapi kamu makan juga, ya?" Pintanya yang dijawab Alma dengan sebuah anggukan.
Barra kembali memandangi Alma yang kini tengah menyantap mie-nya. Alma selalu saja ingin menyenangkannya. Begitu banyak yang sudah dikorbankan Alma untuknya.
"Kenapa?" Tanya Alma, menyadari Barra terus memperhatikannya sedari tadi.
Barra menggeleng. "Kamu makin cantik kalau lagi makan."
"Dasar tukang gombal!" Alma tertawa. Tapi sesaat kemudian ia terdiam. "Bar..."
Barra menoleh. "Kenapa," tanyanya.
"Aku belum dapat kabar lagi dari Mama."
"Hei... jangan pikirin itu dulu. Kita kan, lagi kencan?" Barra menggenggam tangan Alma. "Nikmatin saat ini. Bahagiakan diri kamu sebentar saja tanpa mikirin orang lain, selain aku..."
Alma ingin tersenyum tapi kedua matanya malah berair.
"Loh, kok malah nangis?" Barra mengelus tangan Alma. "Kenapa?" Tanyanya lagi.
Alma menghapus air matanya dengan tangan. "Aku teharu..."
Kini Barra tergelak. "Baru juga dikasih makan setengah pizza..."
Alma pun tersenyum sambil tersipu malu.
Barra kembali memandangi Alma. Alma memang sangat sederhana. Hal-hal kecil saja sudah cukup membuatnya bahagia. Ia tidak akan pernah menyesal menemaninya, memperjuangkan cintanya, meski harus dikejar-kejar, meski lelah, meski harus meninggalkan ibu, meski harus meninggalkan kehidupan normalnya yang membosankan tapi kini dirindukannya. Entah sampai kapan ini berakhir.
"Bar..."
Barra tersentak oleh sentuhan lembut tangan Alma di dagunya. Ah, ia lupa kalau saat ini mereka tengah berkencan. Menikmati film romantis dalam layar besar yang diputar di depannya.
"Kamu ngelamun?"
Barra tersenyum. "Sedikit," sahutnya. Diraihnya kepala Alma untuk bersandar di bahunya. Diusap-usapnya rambutnya. Alma sangat suka ia mengusap rambutnya. Biasanya ia akan mengantuk lalu tertidur seperti bayi.
Dan saat ini ia benar-benar terlelap di bahunya. Dua jam di dalam bioskop yang dingin membuat Alma tak bisa menahan kantuk. Sejak pelarian mereka, Alma memang sulit tidur. Ia tahu, saat di malam hari ia masih sering mendengar Alma menangis di dalam kamarnya.
Barra menepuk-nepuk tangan Alma untuk membangunkannya. Film sudah usai. Lampu-lampu sudah dinyalakan.
Alma terbangun dengan silau.
"Maaf," ucapnya seraya mengucek-ngucek mata dan merapikan rambutnya.
Barra tersenyum. "Yuk, sebentar lagi bus nya berangkat." Digandengnya tangan Alma keluar. Namun bunyi notifikasi pesan masuk dari ponsel yang baru dinyalakannya membuatnya menghentikan langkah. Dibacanya sejenak pesan itu, lalu diputarnya nomor si pengirim pesan.
"Ada apa, Dom?" Tanyanya saat terdengar sahutan di ujung telepon.
Alma memandang Barra dengan panik saat dilihatnya wajah Barra yang berubah tegang. Ditunggunya dengan hati berdebar hingga Barra selesai berbicara.
"Ada apa, Bar?" Tanya Alma tak sabar begitu Barra menutup Ponselnya.
"Papamu pasti sangat murka..."
"Bar..." Alma kini ketakutan.
"Papamu sudah tidak lagi menyerahkan pencarian kita ke polisi.."
"Lalu?"
"Dia mengerahkan orang-orangnya."
"Maksudnya, Bar?" Suara Alma terdengar bergetar.
Barra menatap Alma. "Papamu bergerak sendiri. Menggunakan orang-orangnya sendiri. Itu artinya... kita tidak akan tahu siapa yang mengejar kita. Karena mereka tidak akan terlihat. Mereka tidak berseragam. Mereka menyamar."
"Ya, Tuhan... Kita harus bagaimana, Bar?"
"Kita tidak bisa pergi malam ini, Ma?"
"Mereka sudah tahu?"
"Mereka pasti tahu. Kedua pengawalmu itu pasti memberi tahu lokasi terakhir kita pada Papamu. Dan mereka pasti akan menunggu kita di terminal tujuan. Dan jika mereka tidak menemukannya, mereka akan menunggu kita di setiap terminal, stasiun dan bandara."
"Lalu kita harus bagaimana?"
"Kita tidak akan pergi. Biarlah mereka menyangka kita pergi. Tapi kita akan tetap di sini."
"Sampai..."
"Sampai kita mendapatkan informasi lagi."
"Terus nanti kita nginap di mana, Bar?"
"Kita akan cari penginapan lagi. Aku akan minta Dom mencarikannya buat kita."
Barra melirik jam di ponselnya. Sudah pukul sepuluh malam. Toko-toko di dalam mall pun sudah ditutup. Mau ke mana mereka sekarang? Mereka tidak boleh terlihat di tempat umum. Mereka hanya bisa menunggu di dalam bioskop ini sambil menunggu Dominik mendapatkan tempat menginap.
"Ma, kamu mau nonton film midnight?" Tanyanya pada Alma.
Alma mengangguk sambil tersenyum lebar. Ia bahkan tidak bertanya lagi kenapa Barra mengajaknya kembali menonton. Ia hanya ingin kembali bersandar di bahu Barra sambil merasakan usapan lembut di rambutnya.
Barra membuka ponselnya lalu kembali memutar nomor Dominik. Ia akan memintanya mencarikan penginapan sekaligus transportasi yang bisa mengantarkannya juga. Ia takut sekali dengan keselamatan Alma. Ia tidak akan bisa membayangkan kemurkaan Sang Jenderal jika sesuatu terjadi pada anak kesayangannya. Ia tahu, Sang Jenderal tidak akan menangkap dirinya selama Alma baik-baik saja. Selama ia bisa menjaganya dengan selamat. Karena yang diinginkan Sang Jenderal hanyalah menyelamatkan anaknya.