Sisa Cinta Di Kota Malang

1229 Kata
"Ma..." "Aku enggak apa-apa, Bar. Kamu enggak perlu minta maaf terus." Alma berjalan semakin cepat, meninggalkan Barra yang mengejarnya dari belakang. "Tapi kamu menghindari aku dari pagi, Ma!" Barra menghentikan langkahnya. Nafasnya mulai tersengal. Alma berhenti berjalan. Lalu duduk di atas rerumputan. Kini ia sudah berada di tepi sebuah danau buatan. Dilihatnya orang-orang yang kebanyakan tamu penginapan itu sedang duduk-duduk di tepiannya. Beberapa orang tampak berfoto selfie di jembatan kayu yang menjorok hampir ke tengah danau. "Ma..." Barra kini sudah berada di samping Alma. Diraihnya tangan Alma. "Aku tahu kamu masih marah. Kamu masih cemburu." "Aku perempuan, Bar. Perempuan mana pun akan cemburu kalau jadi aku." Alma meluruskan kedua kakinya. "Tapi aku enggak pernah jadian sama dia, Ma. Kamu bisa tanya Dom. Aku cuma bersamanya seminggu, waktu jalan-jalan di Malang tiga tahun lalu. Kebetulan waktu itu aku lagi di Jogja, karena nenek meninggal dunia. Dom datang, sekalian mengajak jalan-jalan untuk menghiburku." "Aku percaya kamu, Bar. Cuma... mestinya kamu cerita dulu ke aku. Jadi aku enggak bingung." "Aku takut kamu marah." "Aku enggak berhak marah. Itu masa lalu kamu." "Tapi kamu menjauhi aku terus dari dia datang." "Aku harus bagaimana?" Aku enggak bisa melihat kamu berduaan terus sama dia. Dia kelihatan sekali masih cinta sama kamu." "Tapi aku enggak pernah cinta sama dia, Ma. Waktu itu aku cuma... menggoda..." Alma tersenyum. "Makanya jangan suka godain cewek-cewek. Godaan kamu maut, bikin baper," selorohnya. Kini Barra tertawa. Dielusnya rambut Alma. "Udah enggak marah lagi, kan?" Tanyanya. Alma menggeleng. Ditatapnya Barra. "Tapi kamu harus bicara serius sama dia. Jelasin supaya dia enggak berharap lagi. Mungkin selama ini Milla menggangap kamu pernah cinta sama dia. Kamu pernah menganggap dia kekasihnya biarpun cuma sebentar." Barra memeluk bahu Alma. "Kamu memang cewek terbaik yang aku kenal," bisiknya. Alma tertawa. "Benar kata Dominik, kamu memang pintar gombal!" "Sama yang lain mungkin aku suka gombal. Tapi sama kamu aku selalu jujur." Kini Alma memandang wajah Barra setelah tawanya reda. "Kenapa kamu enggak suka Milla? Dia cantik sekali. Laki-laki mana pun pasti jatuh cinta sama dia. Tinggi, langsing, putih, wajah blasteran bule." "Gak tahu. Aku enggak merasa cocok aja kalau untuk hubungam serius. Kadang-kadang laki-laki hanya butuh perempuan sederhana yang enggak bikin ribet." Alma kembali tersenyum. "Tapi aku ribet, Bar. Aku malah merepotkan." "Kamu melakukannya demi aku. Kamu bisa memilih jalan yang mudah tapi kamu malah cari yang ribet. Kamu bisa pilih cowok mapan, tapi kamu malah pilih cowok yang belum tentu masa depannya. Kamu juga bisa pilih calon mertua jenderal, tapi kamu malah..." "Hei..." Alma menempelkan telunjuknya di bibir Barra. "Aku melakukannya bukan karena kamu. Aku memilih ribet untuk kebahagiaanku sendiri. Untuk masa depan ku. Dan aku memilih kamu, karena aku yakin aku bisa bahagia sama kamu." "Kita akan lalui ini bersama, Ma. Kita pasti akan selalu bersama." Alma mengganguk. Kedua matanya kini berkaca-kaca. Dipeluknya Barra dengan erat. ... Barra beranjak dari kursi teras saat dilihatnya sebuah sedan kecil berwarna putih masuk dan berhenti di depan rumah. "Udah siap?" Tanya Milla dari jendela mobil yang terbuka. Barra memandang Alma di sampingnya. "Aku pergi sebentar, ya?" Pamitnya. Alma mengangguk dengan senyum. Lalu Tanpa menunggu mobil pergi ia pun langsung beranjak masuk ke dalam rumah. Wajahnya memerah menahan rasa cemburu. "Loh, kamu gak ikut, Ma?" Dominik mengernyitkan keningnya memandang Alma dari atas sofa. Alma menggeleng. Masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan keras. Meninggalkan Dominik yang masih memandangnya dengan wajah kebingungan. "Dia enggak marah, kan?" Tanya Milla sesaat mobil keluar meninggalkan penginapan. "Dia mengerti," sahut Barra dengan rasa bersalah. Ia tahu Alma cemburu. Andai saja Milla tahu kalau Alma lah yang memintanya untuk menerima ajakannya untuk makan siang. Dia mengalah tidak ikut dan mengorbankan perasaannya agar ia dapat berbicara serius dengannya. Tentang hubungan sesaat mereka yang belum selesai. "Aku akan mengajak kamu makan Cwie Mie," ujar Milla seraya melajukan kendaraannya lebih kencang. Dan hanya butuh waktu lima belas menit hingga kemudian mobil masuk ke dalam parkiran sebuah rumah makan yang ramai. "Di sini Cwie Mie nya paling enak." Milla menggandeng tangan Barra masuk ke dalam rumah makan, mencari meja yang kosong. Ia tersenyum lebar pada beberapa orang yang menyapa dan melambaikan tangan padanya. Milla mengajak Barra duduk di sudut ruangan yang terpisah dari pengunjung lain. Mata Barra menyapu seluruh area rumah makan. Keramaian adalah yang paling dihindarinya saat ini, tapi Milla malah sengaja mengajaknya ke sini. "Tenang, di sini enggak pernah ada polisi," ujar Milla seolah tahu ketakutan Barra. Barra tersenyum. "Banyak yang kenal kamu di sini?" ujarnya. Milla mengangguk. "Dulu aku sering nongkrong di sini, sepulang kuliah sama teman-teman." "Sekarang udah enggak?" Milla menggeleng. "Aku kan, udah enggak kuliah sejak setahun lalu." Barra memandang Milla dengan terkejut. "Kenapa?" Tanyanya. Ia benar-benar tidak tahu. "Sibuk. Sejak Papi balik ke Belanda, aku yang ngurusin penginapan." "Papimu enggak kembali lagi ke sini?" Milla menggeleng. "Mereka bercerai. Tapi Mami udah nikah lagi, baru beberapa bulan lalu." Barra menatap Milla. Disentuhnya tangannya. "Sorry, aku enggak tahu," ucapnya dengan nada menyesal. "It's ok. I'm fine. Mami udah bahagia lagi sama keluarga barunya." "Kamu?" Milla menatap Barra. "Maksudnya?" "Apa kamu juga bahagia?" Milla mengangkat kedua bahunya. "Apa penting buat kamu?" Tanyanya kembali. Barra terdiam. Kali ini ia tak berani bertanya. Keduanya lalu terdiam sampai kemudian seorang pelayan datang menanyakan pesanan mereka. "Maafkan aku." Barra kembali menatap Milla. "Buat...?" "Mungkin aku pernah nyakitin kamu?" Milla tertawa. "Mungkin? Kalau kamu enggak merasa pernah nyakitin aku, kenapa harus merasa bersalah?" "Mil, aku tahu aku salah. Aku memang b******k. Mungkin tanpa aku sadari aku pernah nyakitin kamu. Tapi percayalah, aku enggak pernah sengaja melakukannya." Barra menatap Milla dengan sungguh-sungguh. "Aku pernah percaya kamu benar-benar jatuh cinta padaku. Kamu pernah menciumku. Kamu juga pernah bilang sayang. Dan kamu juga pernah berjanji untuk datang lagi..." Barra menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dicobanya mengingat-ingat kembali memori tiga tahun lalu, saat ia bersama Milla. Sesaat kemudian diusapnya wajahnya. Ya, Tuhan! Kenapa ia bisa lupa? Batinnya terhenyak. Kini ia ingat pernah berjanji untuk datang lagi saat libur semester tiba. "Aku..." Barra menghentikan ucapannya saat dilihatnya dua orang pelayan datang membawakan pesanan mereka. "Kamu mau bilang lupa?" Tanya Milla seolah tahu apa yang dipikirkan Barra. "Maafkan aku," ucap Barra lagi. Kini ia benar-benar menyesal. Milla tersenyum. "Memangnya berapa banyak yang sudah kamu bohongin selain aku?" Tanyanya lagi. Barra tersipu. Diseruputnya es kelapa segar di depannya dengan sedotan. "Apa aku seburuk itu?" Tanyanya kembali. Ragu sejenak, Milla akhirmya mengangguk. Membuat Barra semakin malu. "Aku udah enggak kayak gitu lagi sekarang," "Apa kamu benar-benar mencintai Alma?" Milla menatap Barra sungguh-sungguh. Barra mengangguk. "Gadis yang beruntung." Ada nada iri dalam suara Milla. "Aku yang beruntung," sahut Barra. "Kamu mengorbankan segalanya." Barra menggeleng. "Aku enggak punya apa-apa. Dia yang mengorbankan segalanya untukku." Milla memalingkan wajahnya yang memerah. "Mau sampai kapan, Bar?" "Maksud kamu?" "Melarikan diri. Bagaimana kalau orang tuanya masih enggak merestui kalian?" Barra terdiam sesaat. "Aku enggak tahu," sahutnya kemudian. "Aku memikirkan nasib Alma." "Apa kamu jatuh cinta padanya karena dia anak seorang jenderal?" "Mil, kamu tahu aku bukan orang yang seperti itu. Aku mencintainya karena dia bikin aku bahagia." "Katakan, Bar. Apa kamu... membenciku?" Milla menatap mata Barra dalam-dalam. Barra menggeleng pelan. "Aku enggak pernah membencimu, Mil... Itu sudah tiga tahun yang lalu. Perasaan kita sudah enggak lagi sama." "Tapi aku masih sama, Bar!" Suara Milla bergetar. Diteguknya es jeruknya untuk menenangkannya. Wajahnya semakin memerah. Ia terlihat sangat kesal. Barra memandang Milla tanpa kata. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Mengapa sekarang jadi bertambah rumit?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN