Barra baru saja menemani Alma berjalan-jalan pagi saat dilihatnya layar ponsel yang menampilkan notifikasi dari tiga panggilan tak terjawab. Ia memang meninggalkan ponselnya di dalam kamar untuk mengisi daya. Jantungnya berdegup kencang saat dilihatnya panggilan itu berasal dari nomor Ibu. Dengan cepat diputarnya kembali nomor itu.
"Ada apa, Bu?" Tanyanya panik saat didengarnya sahutan dari Ibu.
"Barra, Ibu baru saja dapat laporan dari Pak Adi, tetangga sebelah kita. Katanya kemarin sore ada seseorang yang mengamati rumah kita."
"Siapa orangnya, Bu?" Barra semakin panik.
"Tidak tahu. Saat ditegur Pak Adi, dia hanya bilang sedang cari alamat lalu pergi lagi."
"Lalu? Ibu di mana sekarang?"
"Ibu di rumah. Tapi nanti sore Ibu mau menginap saja di rumah Tante Nurul beberapa hari. Kantor Ibu dari rumah tantemu itu juga kan, lebih dekat."
"Lebih baik Ibu cuti dulu. Barra takut Ibu diikuti juga di kantor." Suara Barra terdengar cemas.
Ibu tertawa kecil. "Kalau di kantor Ibu malah enggak takut. Di sana kan, banyak orang. Ada sekuriti juga. Kamu kan, tahu Ibu enggak bisa ambil cuti dadakan?"
"Barra takut Ibu kenapa-napa."
"Ibu bisa jaga diri. Kalau Ibu melihat orang itu mengikuti, Ibu akan teriak. Ibu yang justru mengkhawatirkan kamu. Apa kalian ada yang mengikuti juga?" Ada sedikit kecemasan dalam suara Ibu.
"Enggak Bu," sahut Barra tak yakin. Ia lalu menceritakan apa yang terjadi pada Alma. Terdengar tarikan nafas panjang Ibu setelah Barra selesai bercerita.
"Kalian tunggu saja perkembangannya dalam satu dua hari ini. Kalau memang keputusan Papanya masih sama, kita akan pikirkan lagi langkah selanjutnya. Kamu harus selalu hubungi Ibu, ya? Ibu mau berangkat ke kantor dulu." Terdengar suara Ibu berteriak meminta ojek untuk menunggunya sebentar. Sesaat kemudian panggilan telepon pun dimatikan.
"Dari Ibu?" Suara Alma mengagetkan Barra. Ternyata ia sudah berada di belakangnya sejak tadi.
Barra mengangguk. "Kamu mendengar semuanya?" Tanyanya melihat wajah Alma berubah pucat.
"Aku harus bagaimana, Bar? Aku sudah membuat Ibumu ketakutan."
Barra tersenyum. "Ibu enggak takut. Ibu cuma kasih tahu aja kalau mulai nanti malam dia akan menginap di rumah adiknya."
"Aku akan telepon Mama."
"Untuk apa?" Barra menarik tangan Alma yang akan melangkahkan kakinya.
"Untuk kasih tahu supaya jangan mengganggu Ibumu?"
Barra menggeleng. "Orang itu enggak mengganggu. Belum tentu juga itu suruhan Papamu. Kata Ibu kita lihat perkembangannya dalam satu dua hari ini."
"Barra! Ajak istrimu sarapan dulu!" Teriakan Kakek mengagetkan Barra dan Alma. Keduanya lalu beranjak keluar kamar.
Sigit sudah menyiapkan seteko teh tubruk dan kopi panas di teras depan. Lengkap dengan sepiring getuk manis dan pisang goreng.
Dengan wajah berseri Kakek langsung meminta Alma untuk duduk di sampingnya.
"Kakek sudah sarapan?" Tanya Alma melihat cangkir teh Kakek yang sudah kosong.
Kakek mengangguk.
"Kakek 'ndak tidur lagi sejak subuh tadi. Dia mencari pencuri burung katanya," sahut Sigit.
"Loh, cari ke mana?" Tanya Barra seraya menuang teh ke dalam dua buah cangkir untuk dirinya dan Alma.
"Pencurinya datang lagi sejak semalam. Pakai baju hitam-hitam." Wajah Kakek terlihat sangat serius.
"Kakek lihat di mana?" Tanya Barra lagi.
"Di samping rumah. Dia mengendarai motor hitam. Mengawasi rumah kita. Kakek langsung keluar sambil membawa tongkat. Kakek tunjukan kepada orang itu kalau Kakek tidak takut. Dan orang itu langsung menelepon. Dia pasti ketakutan, lalu menelepon temannya untuk meminta bantuan."
Barra melirik Sigit yang lalu mengangkat kedua bahunya. Ia sepertinya tidak tahu. "Bisa jadi, Kek. Mungkin dia takut melihat wajah Kakek yang sangar," seloroh Barra seraya tersenyum.
Kakek mengangguk-angguk.
"Dan dia pasti mengira tongkat Kakek itu senjata!" Tambah Barra lagi membuat Kakek tergelak.
Dengan tatapannya, Alma memberi isyarat pada Barra untuk berhenti berseloroh. "Kakek sekarang sarapan lagi, ya? Nanti Alma temani Kakek mencari pencurinya." Alma menyodorkan piring kecil berisi getuk ke hadapan Kakek.
Kakek menggeleng. "Ndak usah. Kamu perempuan. Kamu tidak bisa melawan orang seperti itu. Dia tinggi tegap seperti tentara. Sepatunya saja seperti sepatu tentara. Pasti dia yang mencurinya. Tapi untung saja dia tidak membawa senjata!" Ucapnya sambil menatap Alma sungguh-sungguh.
Seketika Alma dan Barra saling berpandangan. Barra meletakan cangkir tehnya. Dilihatnya wajah Alma yang kembali pucat.
"Kakek melihat jelas orangnya?" Tanya Barra setenang mungkin seraya berharap Kakek masih mengingatnya.
Kakek menggeleng. "Wong wajahnya tertutup masker hitam. Cuma matanya saja yang kelihatan."
Alma menatap Barra. Mulutnya terbuka. "Alma permisi sebentar Kek," pamitnya seraya beranjak masuk ke dalam kamar, diikuti oleh Barra.
"Dari mana mereka tahu kita di sini, Bar?" Tanyanya dengan suara bergetar menahan emosi.
Barra terdiam sesaat.
"Aku akan telepon Mama!"
"Jangan!" Barra menarik tangan Alma yang akan meraih ponsel. Ditatapnya ponsel Alma.
"Mau kamu apakan, Bar?" Tanya Alma bingung melihat Barra me-non aktif kan ponselnya.
"Sepertinya mereka melacak kita dari ponselmu. Aku akan telepon Ibu untuk memberi tahu." Sesaat kemudian Barra mengetikan pesan ke nomor Ibu sebelum kemudian me-non aktif kan juga ponsel miliknya.
"Tapi bagaimana kita menghubungi mereka nanti?" Kini wajah Alma terlihat panik.
"Kita beli ponsel biasa dan ganti nomor. Kita jangan pakai internet. Mereka bisa melacaknya. Barra menatap Alma. "Kita harus pergi dari sini secepatnya."
"Ke mana, Bar?" Suara Alma semakin bergetar.
Tapi Barra tidak menjawab. Ia segera memanggil Sigit. Dan setelah berbicara sebentar, Sigit pun mengantarnya ke sebuah bangunan kecil yang terletak di belakang rumah. Tampak sebuah Jeep tua berwarna hitam kuning yang terlihat masih terawat. "Yakin masih bisa dipakai?" Tanyanya.
Sigit mengangguk. "Sudah aku perbaiki, Mas. Malah suka tak sewain buat ke Kali urang."
"Mas, pinjam dulu, ya?"
"Pakai saja, Mas. Ini juga kan, punya Kakek. Aku cuma perbaiki saja."
Barra menatap Alma. "Kita akan touring!" Ucapnya gembira.
...
"Sudah aku cek, Mas. Aman. Ndak ada yang ngawasi."
Barra mengangguk. Dimasukannya pakaian dan barang-barangnya ke dalam ransel lalu diberikannya pada Sigit. "Masukan dalam mobil, jangan sampai kelihatan Kakek," bisiknya.
Sigit mengangguk. Dibawanya ransel dan tas besar Alma keluar dari dalam kamar.
Barra menghampiri Kakek yang terlihat sibuk mengawasi halaman samping rumah dengan tongkat besar di tangannya bersama Alma.
"Aman, Kek?" Tanya Barra dengan wajah yang dibuat serius.
Kakek mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.
"Kalau begitu Barra dan Alma pergi dulu untuk lapor polisi," ucap Barra berbisik. Diciumnya tangan Kakek. "Ingat, Kek. Kalau dia datang lagi, Kakek teriak saja. Jangan perbolehkan dia masuk rumah atau berbicara dengan Kakek. Mereka orang jahat," bisiknya lagi.
Kakek kembali mengacungkan jempolnya.
"Alma tinggal dulu ya, Kek." Suara Alma terdengar bergetar. Disalami dan dipeluknya Kakek. Dilangkahkan kakinya dengan berat di belakang Barra.
"Jangan terlalu malam pulangnya!" Teriak Kakek masih belum menyadari jika Barra dan Alma tidak akan kembali.
"Hati-hati di jalan, Mas. Telepon saja nomor temanku itu kalau sudah sampai di sana."
"Terima kasih, Git. Ingat ya, Git, kalau ada yang cari Mas dan Alma bilang saja sudah kembali ke Jakarta. Mas, titip Kakek."
Sigit mengangguk. "Tenang saja, Mas. Hati-hati di jalan," ucapnya lagi sambil menyalami Barra dan Alma.
Dari jendela mobil yang terbuka Alma terus memandangi rumah hingga menghilang dari pandangannya. Matanya berair. "Aku bakalan kangen sama Kakek," ucapnya sambil menyeka air mata.
Barra tersenyum. "Kita pasti akan bertemu lagi dengan mereka. "Ditepuk-tepuknya bahu Alma dengan lembut.