Semarang

1217 Kata
Setelah satu jam perjalanan, Barra menghentikan mobilnya di depan sebuah toko ponsel. Ia memang sengaja mencari toko yang jauh dari rumah Kakek untuk mencegahnya diikuti. "Kamu tunggu di sini aja. Aku cuma sebentar," ucapnya pada Alma yang terlihat mengantuk. Diamatinya sekeliling area toko sebelum keluar dari dalam mobil. Ia ingin memastikan tak ada seorang pun yang mengawasinya. Alma mengangguk. Matanya ikut mengamati sekitarnya. Lalu dipandanginya punggung Barra yang menghilang masuk ke dalam toko. Kini pikirannya berkecamuk. Ia tahu, tak ada kata kompromi bagi Ayahnya. Perintahnya harus selalu dipatuhi atau ia akan memaksanya. Papa selalu menjadikan alasan demi kebaikannya sebagai senjata agar ia mau menuruti keinginannya. Alma menarik nafas panjang. Ia tahu cepat atau lambat Ayahnya akan menemukannya. Apalagi sekarang ia sudah tahu Barra pergi bersamanya. Ia pasti sangat marah. Alma mendekap tubuhnya dengan kedua tangan. Kini pikirannya menerawang jauh. Ia sangat takut membayangkan kemarahan Ayahnya. Tapi yang lebih menakutkannya adalah membayangkan masa depannya bersama laki-laki itu. "Hei? Kamu kedinginan?" Tiba-tiba wajah Barra sudah berada di jendela mobil yang terbuka. Terkejut, Alma menggeleng seraya tersenyum. "Sudah dapat ponselnya?" Tanyanya. Barra menunjukan bungkusan putih di tangannya. Dikeluarkannya kedua ponsel itu, dan diberikannya satu untuk Alma. "Sudah ada kartunya." "Thanks! Aku akan ganti nanti uangnya," ucap Alma. "Enggak perlu. Murah kok," sahut Barra lagi. Kini ia sudah duduk di belakang kemudi dan menyalakan mobil. "Aku akan ganti semua biaya yang kamu keluarkan. Aku sudah merepotkanmu," ujar Alma lagi. Dikeluarkannya ponsel lipat berwarna pink menyala itu dari dalam boks nya. "Ibu sudah memberiku uang. Cukup untuk menafkahimu selama satu bulan." Barra tersenyum melirik Alma yang tersipu. "Ok. Kalau lebih dari satu bulan giliran aku yang menafkahi kamu," ujar Alma tertawa. Sesaat Barra terdiam menatap Alma. "Menurut kamu kita akan pergi selama itu?" "Aku enggak mau pulang, Bar!" Rajuk Alma seperti anak kecil. Barra menghela nafasnya. "Ma... kita enggak mungkin pergi selama itu." "Kenapa enggak?" Kedua mata Alma membulat memandang Barra. "Papamu pasti akan menemukan kita. Kamu tahu kan, Ayahmu itu siapa?" "Tapi bagaimana kalau Papa masih tidak setuju dengan hubungan kita?" Suara Alma terdengar takut. Barra kembali terdiam. Dialihkannya pandangan ke depannya, ke kaca mobil yang tampak buram oleh debu. "Kita akan pikirkan caranya setelah sampai, ya? Biar kita bisa berpikir lebih jernih," ujarnya kemudian. Barra lalu melajukan mobil dalam diam. Diliriknya Alma yang tengah menatap jalanan di depannya dengan pandangan kosong. Ia tahu, Alma saat ini sangat ketakutan, karena baru kali inilah ia berani menentang Ayahnya. Demi dirinya. Barra menghempaskan nafasnya. Entah ia harus merasa bersyukur atau bersalah telah membuat Alma memilihnya. Yang jelas semua yang dilakukan Alma adalah demi dia. Dan sekarang ia harus bertanggung jawab pada Alma. Ia harus berjuang untuknya. "Kalau ngantuk tidur aja," ujar Barra lembut seraya menggenggam tangan Alma. Alma mengangguk. Digenggamnya tangan Barra sangat erat, lalu dicobanya memejamkan mata. ... Waktu sudah menunjukan pukul satu siang lewat lima belas menit saat mobil memasuki kota Semarang. Sinar matahari yang panas dan menyilaukan membuat Alma malas membuka mata. "Masih lama?" Tanyanya pada Barra yang tersenyum melihatnya terbangun. "Sebentar lagi," sahut Barra. "Kamu pulas sekali." "Kepalaku pusing." Alma memijit-mijit kepalanya. Diraihnya botol minuman di sampingnya dan diteguk isinya hingga habis. "Mungkin masuk angin. Kamu belum makan apa-apa. Sebentar lagi, ya? Kita makan di hotel aja, sekalian istirahat." Alma mengangguk. Dua puluh menit kemudian mereka sudah sampai di sebuah hotel kecil dengan halaman yang penuh oleh kendaraan. "Kamu sudah booking?" Tanya Alma. Barra menggeleng. "Aku pernah beberapa kali ke sini. Biasanya selalu ada kamar kosong," sahutnya seraya masuk ke dalam hotel yang tampak ramai itu. Tapi dugaan Barra meleset. Seluruh kamar di hotel itu ternyata sudah terisi. Barra memandang Alma dengan bingung. "Kita cari hotel lain aja. Di samping kan, ada hotel juga?" ujar Alma menjawab kebingungan di wajah Barra. Barra tersenyum. "Itu bintang lima, sayang," sahutnya. Alma tahu, Barra sudah sangat lelah dan ingin segera beristirahat setelah tiga jam berkendara tanpa henti. "Kalau gitu kita makan dulu aja." Alma menarik tangan Barra masuk ke dalam restauran yang berada di samping lobi hotel. Dan kini Barra memandang Alma yang tengah menyantap sup ayamnya dengan malas. "Masih pusing?" Tanyanya. Alma menggeleng. "Agak mendingan," sahutnya. Disuapnya kembali sup itu ke dalam mulutnya. "Kamu capek?" Tanyanya melihat Barra menyandarkan kepala di kursi sambil memejamkan mata setelah menyantap habis sepiring nasi campur. Barra mengangguk tanpa membuka mata. Sesaat Alma memandangi wajah Barra. Tak tega rasanya ia membiarkannya harus berkendara lagi untuk mencari hotel murah. "Aku mau ambil sesuatu di mobil. Kamu tunggu sebentar, ya?" Barra kembali mengangguk. Diulurkannya kunci mobil pada Alma. Setengah berlari Alma keluar dari halaman hotel lalu berjalan masuk ke dalam sebuah hotel mewah yang terletak di sebelahnya. "Saya mau booking dua kamar untuk hari ini bisa? Tanyanya pada resepsionis yang menyambutnya. Dan ia pun menarik nafas lega saat mendengar jawaban resepsionis itu. Setelah menerima kunci, Alma pun bergegas kembali ke restauran untuk menjemput Barra. "Yuk, ke hotel. Aku udah check in!" Barra memandang Alma dengan bingung. "Di sini?" Tanyanya. Alma menggeleng. "Di hotel sebelah!" Sahutnya seraya menyembunyikan senyum melihat Barra melotot padanya. Ia tahu sebentar lagi dia pasti akan memarahinya. Dan benar saja. Barra sudah mulai mengomel saat mereka baru saja masuk ke dalam kamar. "Aku kan, udah bilang kita harus berhemat, Ma!" Omelnya seraya meletakan tas ranselnya di lantai dan meletakan tas besar Alma di atas tempat tidur. "Dari pada cari-cari lagi, Bar. Kamu kan, capek!" Sahut Alma. Dihempaskannya tubuhnya di atas kasur yang empuk. "Aku kan, bawa uang cukup," sahutnya lagi sambil memeluk tas besarnya. Barra menatap Alma dengan curiga. "Apa yang ada di tas itu?" Tanyanya. "Baju..." Sahut Alma gugup. Wajahnya mendadak tegang seperti baru saja tertangkap basah. Barra melangkah mendekati Alma, lalu dibukanya tas itu perlahan. Sesaat kemudian ia terpaku. Dilihatnya tumpukan besar uang seratus ribuan di bawah tumpukan beberapa helai pakaian Alma. "Berapa banyak yang kamu bawa, Ma?" Tanyanya dengan takut. "Seratus..." Jawab Alma pelan. "Seratus juta?" Barra melangkah mundur hingga tubuhnya bersandar di dinding. "Astaga!" "Ini uangku sendiri, Bar. Papa mentransfer setiap bulan untuk kebutuhan kuliahku... Aku ambil semua karena takut Papa akan blokir kartuku," sahut Alma lagi. Barra mengusap wajahnya. "Itu artinya uang Papamu, Ma... Buat apa kamu bawa uang sebanyak itu?" Alma terdiam. "Kamu kabur bawa uang sebanyak itu bersamaku? Kamu tahu apa yang dipikirkan orang tuamu?" Alma memandang Barra dengan bingung. Ia sungguh tidak mengerti mengapa Barra begitu ketakutan dengan uangnya. "Itu sebabnya kamu ingin kabur lebih lama?" Tanya Barra lagi. "Aku enggak mau pulang!" Sahut Alma. Sesaat Barra hanya terdiam. Ia mencoba berpikir jernih. Dihampirinya Alma yang terduduk sambil berusaha menahan air matanya yang akan keluar. Diusapnya rambut Alma dengan lembut. "Biar bagaimana pun kita harus pulang, Ma. Kita harus melanjutkan kuliah... Kita masih punya orang tua..." "Tapi aku enggak mau menikah dengan orang lain, Bar..." Suara Alma terdengar bergetar. Barra melepaskan tangannya. Ditatapnya Alma sungguh-sungguh. "Kita juga enggak akan menikah saat ini, Ma! Kuliah kita belum selesai. Aku juga enggak bisa menikahi kamu sebelum punya pekerjaan." "Tapi kamu bisa melamarku dulu, Bar. Kuliah kita kan, tinggal dua semester," rajuk Alma. Barra kembali menatap Alma tak percaya. "Alma! Ayahmu enggak suka sama aku!" Sahutnya sambil berusaha menahan emosi. "Jadi? Kamu menyerah?" Alma menatap Barra dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Barra menghembuskankan nafasnya sesaat, lalu menggeleng. "Kita akan cari jalan keluarnya. Sekarang kita istirahat dulu, ya?" Dan ia pun lalu beranjak bangun, mengangkat ranselnya keluar menuju kamar di sampingnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN