Yogyakarta

1152 Kata
Alma memandangi rumah tua berhalaman luas dan asri itu dengan wajah berseri. "Ini rumahnya?" Tanyanya pada Barra yang berusaha membuka pintu pagar rumah yang tak terkunci itu. Barra mengangguk. "Kamu suka?" Tanyanya kembali. Dilihatnya Alma mengangguk senang. Barra mengucapkan salam saat pintu pagar yang terbuat dari kayu itu terbuka. Dan sesaat kemudian seorang laki-laki tua dengan rambut yang sudah memutih keluar dari dalam rumah. Sambil menyipitkan mata ia menghampiri dan menatap Barra. "Mahendra?" Sapanya terkejut. Demikian pula Barra dan Alma. Namun dengan cepat Barra tersenyum. "Barra, Kek. Cucu Kakek," ucap Barra. Diciumnya tangan Kakek. "Apa kabar, Kek?" Sapanya sambil memeluk Kakek yang sedikit gemetar saking terkejutnya. "Barra?" Kakek meraba wajah Barra tak percaya. Sesaat kemudian ia tertawa penuh haru. Dipeluknya Barra dengan erat sambil menepuk-nepuk punggungnya. Sudah tiga tahun lamanya mereka tidak bertemu, sejak Nenek meninggal dunia. "Ini istrimu? Ayu sekali!" Tanyanya melihat Alma yang menyapa dan mencium tangannya. "Hm, bukan Kek. Ini teman kampus Barra. Alma namanya," sahut Barra seraya melirik Alma yang salah tingkah. "Ohh!" Tawa Kakek pun kembali terdengar. "Kakek sehat? Ada salam dari Ibu." Barra menggandeng Kakek ke teras depan rumah. Kakek mengangguk-anggukan kepala dengan senyum bahagia yang terus terpancar di wajahnya. "Sebentar, Kakek cari Sigit dulu di belakang," ucapnya. Dan sesaat kemudian terdengar suara kencangnya memanggil nama Sigit. "Maaf, Mas! Aku lagi di kamar mandi tadi!" Sapa seorang laki-laki muda dengan tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah lalu menyalami Barra dan Alma. Barra tersenyum. "Masih betah di sini, Git?" Sapanya. Sigit tertawa sambil mengangguk. Sigit adalah adik sepupu Barra yang diminta Ibu untuk menemani Kakek setelah Nenek meninggal dunia. Namun Sigit tak bisa bercengkrama lama-lama karena Kakek kembali berteriak memanggilnya dari dapur. Menyuruhnya untuk menyediakan makanan dan minuman. "Kakek itu kalau ada tamu heboh. Dia senang dikunjungi," ucap Barra pada Alma yang kini terduduk di kursi teras sambil memandangi pepohonan rindang di sekelilingnya. Alma tertawa kecil. "Kamu sering ke sini?" Tanyanya sambil meluruskan kedua kaki. Barra menggeleng. "Waktu kecil aku sempat tinggal di sini sama Ibu sebelum pindah ke Jakarta. Setelah itu hanya setahun sekali, kalau pas Hari Raya Lebaran. Tapi sejak Nenek meninggal dunia tiga tahun lalu, baru kali ini lagi ke sini." "Barra!" Teriakan Kakek yang memanggilnya membuat Barra terkejut. Ia pun berlari menghampirinya. "Ya, Kek?" Tanyanya. Dilihatnya Kakek tengah meminta Sigit merapikan kamar tamu. "Nanti kamu dan istrimu tidurnya di sini saja. Kamarmu yang dulu kan, tempat tidurnya kecil. Ndak muat untuk berdua." Sigit mengedipkan matanya memberi isyarat pada Barra. Barra pun megangguk tanda mengerti. Kakek memang menderita demensia. Dan kata Ibu sejak kepergian Nenek, penyakitnya bertambah parah. "Ya, Kek nanti Barra tidur di sini," sahutnya seraya senyum. "Nanti kamu saja yang di sini. Aku di kamar lain," bisik Barra pada Alma yang berdiri di belakangnya dengan bingung. Dan Alma pun menjawab dengan anggukan. "Kakek mau tidak temani Alma melihat-lihat sekeliling rumah? Tanaman Kakek banyak sekali. " Tiba-tiba saja Alma sudah menghampiri Kakek. Kakek mengangguk gembira. "Kakek baru saja menanam kacang panjang di kebun belakang. Ayo kita lihat!" Serunya penuh semangat. Digandengnya tangan Alma keluar dari dalam kamar. Dan tak lama kemudian terdengar suara tawa keduanya dari halaman depan. Sesekali Kakek menepuk-nepuk pundak Alma di tengah celotehannya. Ia terlihat gembira mempunyai teman baru. Barra memandangi Alma dan Kakek dari kejauhan. Ia keheranan dengan sikap Alma yang begitu perhatian pada Kakek. Tapi kemudian ia tersenyum. Ia lupa kalau Alma adalah seorang calon dokter. ... Barra baru saja menutup telepon dari Ibu, ketika didengarnya isakan tangis dari dalam kamar. Dibukanya pintu yang tak terkunci itu. Tampak Alma tengah berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Alma mematikan ponsel saat dilihatnya Barra sudah berdiri di ambang pintu. "Aku enggak mau pulang Bar," isaknya. Air mata sudah mengalir di kedua pipinya. "Papa kamu telepon?" Barra menghampiri Alma. Hatinya mendadak tak tenang. Alma menggeleng. "Mama yang telepon. Papa masih di luar negeri. Tapi kata Mama, Papa memintaku pulang atau dia akan menyuruh orang untuk mencariku." "Mamamu tahu aku bersamamu?" Tanya Barra lagi dengan wajah tegang. Alma kembali menggeleng. "Aku bilangnya pergi sendirian. Dan aku juga bilang kalau aku hanya akan kembali kalau mereka merestui hubungan kita." "Lalu Mamamu bilang apa?" Kejar Barra lagi. "Kata Mama, ia mendukung aku. Tapi Papa tidak setuju." "Lalu?" Alma memandang Barra dengan putus asa. "Aku enggak tahu, Bar... Mama memintaku untuk kembali dulu ke Jakarta dan katanya nanti Mama akan berusaha meyakinkan Papa lagi untuk menerima kamu. Tapi aku enggak yakin. Aku enggak mau pulang. Kalau aku pulang, selamanya kita enggak akan bisa ketemu lagi. Aku enggak mau dijodohkan dengan orang lain." Alma kembali terisak. Barra memeluk Alma dengan hati yang berkecamuk. Tak ada satu pun kata yang mampu terucap dari mulutnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya kini selain menunggu. "Kamu tenang dulu. Kita pikirkan nanti, ya?" Barra menarik lembut kedua bahu Alma lalu mencoba tersenyum untuk menenangkannya. "Barra! Ajak istrimu makan!" Suara kencang Kakek memaksa Alma akhirnya tersenyum. "Sekarang kita makan dulu, sebelum Kakek teriak lagi." Barra menghapus air mata Alma, lalu menggandengnya ke ruang makan. Kakek dan Sigit sudah menunggu di sana, dengan semeja penuh makanan yang rupanya sudah dipersiapkan Sigit sejak Ibu mengabarinya tadi malam. "Ayo kita makan dulu!" Kakek menarik tangan Alma seraya menepuk-nepuk kursi di sampingnya, meminta Alma untuk duduk di dekatnya. Alma pun tertawa saat kemudian Kakek sudah berceloteh kembali. Sejenak ia melupakan kesedihannya. Tapi Barra tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Ia tahu, sebentar lagi orang tua Alma akan tahu ia pergi bersamanya. Lalu mereka akan mencari rumahnya. Dan Ibu... Mereka pasti akan meminta Ibu memberi tahu keberadaannya. Dan kalau Ibu tetap merahasiakannya, apakah mereka akan menyakitinya? Atau mengancamnya? Barra menghembuskan nafas beratnya. Dipandanginya wajah Alma yang tampak bahagia. Kini hatinya semakin gelisah. "Kamu mirip sekali dengan Ayahmu, Barra." Ucapan Kakek yang tiba-tiba membuat Barra tersentak dari lamunannya. "Oh! Memangnya Kakek masih ingat wajah Ayah?" "Masih! Orang baik selalu Kakek ingat!" Kakek menunjuk keningnya dengan jari telunjuk, membuat Barra tertawa. "Berarti Barra bukan orang baik dong, Kek?" Seloroh Barra mengingat kembali saat Kakek tidak mengenalinya saat ia tiba tadi. Kakek tertawa. "Kalau saja Ibumu mau bersabar, kamu tidak akan berpisah dengan Ayahmu." Barra terdiam menatap Kakek. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Barra meletakan sendoknya. Diteguknya air dingin dalam gelas di depannya, mencoba menenangkan hati. "Tidak sabarnya gimana, Kek?" Tanyanya perlahan. "Ya, seandainya saja Ibumu bersabar menunggu Ayahmu kembali dan tidak menceraikannya..." Kakek terdiam. Keningnya berkerut. Ia seperti berusaha mengumpulkan ingatannya kembali. Dan Barra masih terus menatapnya. Menunggunya melanjutkan cerita. Tapi tiba-tiba saja Kakek malah berceloteh tentang burung kesayangannya yang terbang karena ia lupa menutup sangkarnya. Ia sudah lupa dengan ceritanya. "Kek..." Barra tak jadi meneruskan ucapannya saat Alma memberi isyarat dengan matanya untuk tidak melanjutkan pertanyaannya. Barra menghela nafas lalu kembali terdiam. Pikirannya menerawang. Apakah yang dialami Ayah dan Ibu saat itu sama seperti yang dialaminya saat ini? Batinnya. Jadi benar Ibu yang telah meninggalkan Ayah? Ada rasa sesal di hatinya saat mengingat selama ini ia telah berprasangka buruk pada Ayahnya. Ia mengira Ayah lah yang telah meninggalkan ia dan Ibu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN