Barra menghempaskan tubuh lelahnya di atas tempat tidur. Dicobanya memejamkan matanya yang mengantuk, tapi otaknya sama sekali tak bisa diajak kompromi. Ia terus saja memikirkan masalahnya saat ini. Pelariannya dengan Alma ternyata tak semudah yang dibayangkannya. Ia tahu, lambat laun Sang Jenderal akan menemukan mereka. Dia tidak akan menyerah. Memangnya siapa dirinya? Barra Putra Mahendra. Yang Ayahnya saja tidak jelas keberadannya. Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang? Sepertinya pelarian mereka tak ada gunanya.
Barra menghela nafas. Matanya benar-benar tak mau terpejam. Ia pun beranjak bangun. Diambilnya sebungkus kopi instan dari atas meja, lalu dituangnya air mineral ke dalam teko listrik dan menyalakannya. Ia akan membuat kopi untuk menghilangkan kantuk.
Kini Barra menyesap kopi hitamnya di balkon kamar. Disapunya pandangan ke hamparan padang rumput yang luas membentang. Rawa Pening tampak terlihat dari kejauhan. Indah sekali. Andai saja Ibu ada di sini.
Seketika Barra teringat sesuatu. Diambilnya ponsel, lalu ditekannya nomor Ibu yang sudah di simpannya di sana. Tapi tak ada sahutan. Dicobanya beberapa kali, tapi tetap tak ada sahutan. Pasti Ibu mengira yang meneleponnya orang asing. Barra lalu mengetikan pesan singkat. Ditunggunya balasan dari Ibu beberapa saat. Tapi tetap tak ada balasan. Kenapa Ibu belum membalas juga? Hatinya kini gelisah. Dibukanya kembali kontak di ponselnya, lalu ditekannya nomor Sigit. Dan seketika terdengar suara sahutan darinya. "Sigit! Ini Mas Barra."
"Mas Barra?" Suara Sigit terdengar terkejut. "Sebentar, Mas. Aku ke belakang dulu." Bisik Sigit. Barra mendengar suara langkah Sigit dengan gelisah. Kenapa harus ke belakang? Batinnya.
"Mas?" Sigit kembali berbisik. "Tadi ada dua orang polisi mencari Mas dan Mbak Alma. Katanya, Mas Barra bawa kabur Mbak Alma."
Barra tersentak. Hampir saja ia menumpahkan kopinya. "Polisi? Kapan?"
Tanyanya dengan panik.
"Sekitar dua jam yang lalu. Mereka kasih lihat foto Mas dan Mbak Alma juga."
Seketika Barra merasa tubuhnya limbung. Kepalanya terasa berputar-putar. Ia hanya bisa terdiam mendengarkan Sigit bercerita panjang lebar. Harusnya ia sudah tak kaget lagi. Bukankah ia sudah menduganya sejak awal jika suatu saat seseorang akan datang mencarinya? Tapi kenapa harus polisi? Itu berarti Ayah Alma sudah menganggapnya sebagai seorang kriminal. Penculik? Apa yang harus dilakukannya sekarang? Ia sudah menjadi buronan? Apakah mereka juga sudah mendatangi Ibu? Di mana Ibu sekarang?
"Mas?"
Panggilan Sigit menyadarkan Barra dari perdebatan hatinya. "Kakek bagaimana? Apa mereka juga bertanya pada Kakek?" Tanyanya.
"Aman, Mas! Kakek masih ingat pesan Mas Barra. Ia mengira polisi itu akan menangkap pencuri burungnya. Polisi ndak jadi bertanya. Cuma sama aku aja. Aku udah bilang, Mas dan Mbak Alma hanya menjenguk Kakek sebentar lalu kembali lagi ke Jakarta naik bus."
"Apa kamu kasih tahu Ibu?"
"Belum, Mas. Aku ndak berani."
"Jangan kasih tahu Ibu dulu. Biar Mas aja. Dan tolong kamu simpan nomor Mas ini. Kalau ada kabar lagi, segera hubungi Mas. Makasih, ya Git!" Barra menutup ponselnya, lalu bergegas keluar dari kamar dan mengetuk pintu kamar Alma.
"Ada apa?" Tanya Alma cemas melihat Barra yang langsung masuk ke dalam kamarnya dengan wajah tegang.
"Polisi datang mencari kita ke rumah Kakek!"
Alma langsung terduduk lemas di sisi tempat tidur.
"Aku harus bagaimana, Bar?" Tanyanya hampir menangis.
"Telepon Mamamu. Katakan kamu baik-baik saja. Kamu tidak sedang berada di rumah keluargaku. Tolong katakan, Ma... Jangan ganggu Ibu dan Kakekku... " Pinta Barra, memohon.
Alma meraih ponsel barunya lalu berjalan ke balkon dan menutup pintu. Ia tak ingin Barra mendengar percakapannya.
Dari balik pintu kaca Barra memandang punggung Alma. Dilihatnya Alma yang kini tengah berbicara sambil menangis. Kedua bahunya terguncang menahan emosi. Ingin sekali Barra berlari memeluk dan menenangkannya. Ia pasti sangat kecewa. Jika polisi sudah sampai di rumah Kakek, sebentar lagi polisi juga akan mencarinya di sini. Mereka pasti sudah mengirimkan gambar dirinya dan Alma ke seluruh kepolisian negeri ini. Ia kini menjadi buronan. Mereka tidak akan bisa kemana-mana lagi. Ya, Tuhan! Barra mengusap wajah dengan kedua tangannya. Tiba-tiba saja ia merasa sangat takut.
Alma membuka pintu dengan wajah yang sudah basah oleh air mata. Ditubruknya Barra dan dipeluknya "Maafkan aku," isaknya.
Barra memegang kedua bahu Alma dan menatapnya. "Apa kata Mama?" Tanyanya tak sabar.
Alma menggeleng. "Mama tidak tahu. Kemarin dia sudah bicara dengan Papa, tapi Papa tetap pada pendiriannya. Kata Mama dia akan bicara lagi dengan Papa nanti malam. Papa masih di luar negeri."
Barra terdiam. Tak ada kata yang bisa diucapkannya lagi. Kini Alma kembali memeluknya dan terisak di bahunya. "Aku enggak mau pulang," lirihnya.
Barra menarik bahu Alma dan kembali menatapnya. "Kamu kenal laki-laki yang akan dijodohkan Papamu itu?" Tanyanya.
Alma mengangguk pelan, membuat Barra sedikit tersenyum. "Kamu hubungi dia. Kamu bujuk agar dia mau menolak perjodohan itu. Tapi kalau dia menolak, bujuk dia untuk paling tidak mau menundanya hingga kamu selesai kuliah. Supaya kita ada waktu menyusun rencana lebih matang. Aku lebih siap menghadapi Papamu kalau kita sudah selesai kuliah."
"Dia enggak akan mau, Bar..."
"Kamu kan, belum coba?"
Alma menggeleng. "Aku sudah coba, tapi dia tetap enggak mau."
"Alasannya?" Kejar Barra.
"Karena... " Sejenak Alma ragu. "Hmm.. dia bilang masih mencintaiku."
"Masih mencintaimu?" Barra menatap Alma dengan bingung. "Kamu pernah pacaran sama dia?"
Alma mengangguk pelan.
"Ya, Tuhan!" Barra kembali terduduk lemas di atas tempat tidur. Ditatapnya Alma dengan tajam. "Jadi dia mantan kamu?!" Pekiknya.
Alma kembali mengangguk. Tak berani menatap Barra.
Barra meremas rambutnya. Matanya terpejam. Ditariknya nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
"Berapa lama kamu pacaran sama dia?" Tanyanya lagi.
"Dua tahun," sahut Alma. Kini ia turut duduk di samping Barra. Diraihnya tangan Barra lalu digenggamnya.
"Lalu kapan kamu mutusin dia?" Kejarnya Barra lagi.
Kini Alma terdiam lama. Tak berani menjawab. Membuat Barra semakin curiga. "Lima bulan lalu," sahutnya akhirnya.
Barra melepaskan genggaman tangan Alma, lalu berdiri menjauh. Sesaat ia hanya terdiam. Kembali kehilangan kata-kata. "Kamu mutusin dia karena aku?" Tanyanya, seolah ingin memastikan jawaban yang sudah diketahuinya.
Lagi-lagi Alma mengangguk.
Barra menggeleng-gelengkan kepalanya, memandang Alma tak percaya. "Siapa dia? Laki-laki itu?"
"Dia... anaknya teman Papa. Baru selesai pendidikannya di Akademi Militer."
Barra tersenyum sinis. "Anak jenderal juga?"
Alma menarik nafasnya... lalu mengangguk pelan.
"Ya, Tuhan, Alma..." Barra kembali menghembuskan nafas panjangnya.
"Tapi aku udah enggak mencintainya lagi Bar..." Alma terisak.
"Kita saling mengenal tiga bulan sebelum kita jadian. Kenapa waktu itu kamu enggak bilang kalau sudah punya pacar? Kamu bohongin aku, Ma..."
"Karena kalau aku bilang, kamu pasti menjauhi aku. Dan kita enggak akan pernah jadian."
Barra kembali menggelengkan kepalanya. Sekarang semuanya terasa jelas dan masuk akal. Kini ia mengerti mengapa Ayah Alma tidak menyukainya.
Barra merasakan kepalanya kembali berputar. Dipandanginya Alma yang masih tertunduk sambil sesekali menghapus air matanya dengan telapak tangan. Hatinya pun kembali luluh.
"Aku mau tidur dulu sebentar. Kita ketemu lagi nanti saat makan malam," ucapnya. Dielusnya rambut Alma untuk menenangkannya sebelum kemudian melangkah keluar menuju kamarnya.
Kali ini ia benar-benar ingin memejamkan matanya. Ia ingin tidur sebentar saja agar bisa sejenak menenangkan hatinya.