Semuanya benar-benar sama seperti yang ada di ingatan Flora. Siang itu dia jatuh dan membuatnya tidak bisa hadir ke acara ulang tahun sekolah, seperti di masa depan yang sebelumnya dia pikir hanya mimpi buruk itu. Sekujur tubuhnya kemudian gemetaran setelah menyadari dengan pasti bahwa kejadian di masa depan bukanlah sebuah mimpi. Malam itu Flora demam tinggi sekali dan pagi harinya, dia mendapati Mira tidur di sampingnya.
Di kepalanya ada handuk yang masih basah. Flora tersenyum tipis, menyadari bahwa nenek angkatnya merawatnya semalaman. Diantara semua keluarga angkatnya, Mira memang satu-satunya yang terlihat peduli padanya. Sekalipun jika diminta memilih, wanita itu akan tetap memilih Iris dibanding Flora. Tapi mengingat semua hal buruk yang menimpa gadis itu, Flora sedikit bersyukur karena memiliki Mira.
"Kamu sudah bangun? apa kepala kamu masih sakit?" Mira bertanya sambl tangannya meraba dahi Flora lalu tersenyum lega. "Syukurlah, demam kamu sudah turun. Nenek khawatir karena semalam kamu demam tinggi." tambah Mira lagi.
"Terimakasih sudah merawat Flora Nek," Balas Flora terdengar lirih. Mira tersenyum lembut kemudian beranjak dari kasur sambil membereskan bekas kompresan Fora.
"Tidur lagi aja! nanti kalau sarapan sudah jadi, Nenek bangunkan yah!" Balas MIra lembut. Flora mengangguk sambil tersenyum. Setelahnya Mira keluar dari kamar Flora dan membuat gadis itu kembali sendirian di kamarnya.
Flora menggeser posisi tidurnya ke samping. Pikirannya melayang jauh hingga matanya melihat sebuah buku diary berwarna pink yang terletak di nakas. Flora kemudian meraih buku itu dan berusaha menahan sakit kepalanya karena dia ingin duduk bersandar pada tembok kamarnya.
Ketika dia membuka lembar pertama buku itu, Flora melihat nama Universitas impiannya. Kampus yang akan mempertemukan dia dengan Isha di masa depan. Flora lalu mengambil pulpen di sampingnya dan mencoret nama Universitas itu sampai kertas bukunya nyaris robek.
"Aku tidak boleh bertemu dengan Isha, aku tidak boleh mengenalnya dan membuat keluarganya mengenaliku. Sebisa mungkin aku harus menjauh dari mereka agar mimpi buruk itu tidak pernah terjadi." Ucap Flora penuh tekad.
Gadis itu beranjak dari tempat tidur dan duduk di meja belajarnya. Flora mulai merencanakan semua hal yang harus dia lakukan untuk mencegah masa depan mengerikan seperti yang pernah dia alami.
Di tembok meja belajarnya ada banyak foto dirinya bersama Justin dan Marianan. Senyum mereka sangat lebar di sana. Tapi saat ini, tidak ada sedikitpun senyum di bibir Flora melihat deretan foto itu.
"Dasar Psikopat sialan!" Ucap Flora sembari menatap sinis ke arah Mariana yang terlihat bahagia di hampir semua foto yang Flora miliki itu. "Tunggu saja, di kehidupan kali ini, aku tidak akan membiarkan hidupmu mudah Mariana!" Gumamnya penuh dendam.
"Flo, di luar ada Justin, kamu udah mendingan apa belum? Kalau masih sakit Nenek akan suruh dia main besok aja kalau kamu udah sembuh." Ucap Mira lembut.
"Flo udah baikan kok, Flo mau keluar nemuin Justin." Balas Flora dengan senyuman lembut. Mira tersenyum kemudian menghilang di balik pintu kamar Flo.
Gadis itu segera mencuci wajahnya dan mandi, lalu dengan jantung berdebar kencang, dia keluar dari kamarnya menuju suara Justin yang terdengar sedang mengobrol dengan Don, kakeknya. Suara itu sangat Flora rindukan. Sampai terasa panas di mata gadis itu. Masih jelas diingatannya, wajah Justin yang menyuruhnya melompat ke sungai. Masih jelas di ingatan Flora tubuh laki-laki itu yang terbujur tidak bernyawa dengan luka tembak mengerikan di dahinya.
"Yo! Kenapa lagi jagoan aku ini? kakinya kenapa?" Tanya Justin dengan senyuman cerah yang sangat Flora rindukan. Gadis itu setengah tertatih langsung menghampiri Justin dan memeluk laki-laki itu erat. Membuat Don dan Justin sama-sama kaget dengan reaksi berlebihan Flora. "Yo! Kangen banget apa sama aku? dua hari doang nggak ketemu?" Kekeh Justin geli. Flora sendiri mati-matian menahan air matanya, mendapati sahabat kesayangannya kembali hidup dan sehat di hadapannya sekarang.
"Habis demam dia semalam Jus, makanya manja. Dia suka manja kalau abis sakit." Don ikut menanggapi. membuat Justin kembali terkekeh.
"Kaya kakek enggak aja kalau sakit." Flora balas mencibi. Mira terkikik dari dalam rumah sementara Don tertawa geli.
Rasanya seperti mimpi karena semua kembali seperti semula. Don yang masih ramah, Mira yang masih lembut, Justin yang masih ceria, Irish dan kedua orang tuanya yang masih menyebalkan. Sesuatu yang dulu sangat di benci Flora karena gadis itu tahu betul semua keluarga angkatnya itu, tidak tulus padanya. Tapi kini justru dia syukuri.
"Aku punya oleh-oleh buat kamu." Ucap Justin setelah Don berpamitan pergi.
"Apaan? air dari Jakarta?" Tanya Flora sambil terkekeh geli. Keduanya memang sangat mengagumi kota besar itu.
"Brosur dari Universitas impian kamu dong." Justin tersenyum lebar sambil mengeluarkan dua lembar Brosur dari saku jaketnya. Tapi senyuman Flora langsung meredup. "Loh, ada apa ini? kenapa Yang Mulia Flo kelihatan tidak senang?" tanya laki-laki itu penasaran.
"Aku kayaknya nggak jadi daftar di sana deh Jus."
"Loh kenapa?"
"Aku tertarik sama jurusan lain soalnya."
"Yang ini aja belum dapat ijin dari kakek kamu, udah mau pindah ke yang lain?" Desah Justin heran. Flora kemudian terkekeh geli. "Terus mau ambil jurusan apaan?" Nada suara Justin terdengar kesal.
"Aku mau ambil jurusan Pertaniaan aja." Balas Flora membuat wajah Justin langsung terlihat aneh.
"Jauh banget dari Managemen ke Pertanian Flo? Kamu nggak papa kan? Apa kepala kamu ikut kebentur waktu jatuh kemarin?" Tanya Justin heran.
"Tiba-tiba aku punya cita-cita buat tinggal di Bandung. Mungkin punya kebun teh atau punya sawah. Jadi petani mungkin lebih menyenangkan dibanding pegawai kantoran." Balas Flora sambil tersenyum tipis. Justin terlihat masih bingung dengan keputusan Flora yang tiba-tiba berubah itu. Padahal laki-laki itu sangat tahu bahwa Flora sudah sangat lama memimpikan kuliah di kampus yang Brosurnya berhasil dia dapatkan itu.
"Tapi di kampus ini juga ada jurusan pertanian kok Flo."
"Tapi di kampus kabupaten katanya lebih bagus Jus. Aku kayaknya mau kuliah di sana aja deh." Balas Flora lagi, membuat Justin semakin bingung.
Hari ini memang hari Sabtu, sehingga mereka tidak ke sekolah. Lagipula memang ujian sudah berakhir dan tinggal acara Ulang Tahun sekolah yang akan di adakan selama dua minggu sebelum acara Prom Night di akhir nantinya.
"Flora!" Suara panggilan lembut dari seorang gadis yang sangat Flora kenal, mengalihkan pembicaraan serius keduanya. Justin tersenyum lebar sambil melambai ke arah gadis itu, tanpa menyadari bahwa senyum di bibir Flora meredup seketika. Jantung gadis itu berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. Darahnya terasa mendidih oleh kemarahan dan dendam. Tapi Flora sepenuhnya menyadari bahwa memukulnya terlalu ringan untuk membalaskan rasa sakit yang dia terima di mimpi masa depannya.
"Katanya mau nginep seminggu di Surabaya Mar? Nggak jadi?" Tanya Justin saat Marian akhirnya duduk di salah satu bangku yang letaknya hanya berjarak meja dari tempat Justin dan Flora duduk.
"Nggak jadi soalnya kangen sama kalian. Di sana aku nggak punya teman. Lagian aku juga nggak mau melewatkan Festival kuliner di acara sekolah nanti." Jawab Marian sambil tersenyum ceria seperti biasanya. Flora tersenyum tipis.
"Benarkah kamu kangen sama aku?" Tanya Flora dengan nada tidak percaya. Mari terkekeh geli sambil menatap lurus ke arah Flora.
"Kangen banget sama Yang Mulia Flora, aku nggak bohong deh." Balas Mari dengan nada bercanda. Justin terkekeh geli, tapi dari bibir Flora tidak terdengar suara tawa seperti biasanya. Hanya senyuman tipis seadanya.
Lalu sela perbincangan ketiganya tentang rencana masa depan, terbersit sebuah pertanyaan di kepala Flora. "Bagaimana reaksi Justin jika dia sampai tahu, bahwa sahabat yang dia sayangi dan dia percaya itu, adalah malaikat pencabut nyawa yang di kirim tuhan untuk mengakhiri masa hidupnya di masa depan?
Sekalipun Flora tidak yakin bahwa Justin bisa membenci Mari, tapi satu hal yang bisa Flora yakini jika Justin sampai tahu kenyataan itu adalah raut wajah kecewa yang seperti Flora lihat di dalam mimpi masa depan miliknya. Selama dia berteman dengan justin, baru kali itu Flora melihat kekecewaan yang terlihat sangat menyakitkan di wajah Justin yang selalu ceria dan penuh tawa itu. Flora bersumpah akan melindungi sahabat terbaiknya itu di masa depan, terutama dari Psikopat gila yang saat ini sedang tersenyum manis di hadapannya.
"Aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri, Mariana! Tunggu saja waktunya." Flora berbicara di dalam hati, sambil tersenyum lebar menanggapi gurauan yang di lontarkan oleh Mariana.
***