Kenapa ia terlihat sangat kesal? Kan ia sendiri yang waktu itu membenarkan ucapanku bahwa niatnya menikahiku agar aku tak dibolehkan menikah dengan Zaki. Aneh sekali.
Tanganku menggerakkan roda keluar dari kamar, kulihat Om Satria hendak menutup pintu dari luar. Ia mengernyit saat melihatku mendekat ke arahnya.
"Kenapa dikunci, Om?" Tatapanku tertuju pada kunci berbandul burung hantu di tangannya.
"Kalau tidak dikunci, nanti ada orang masuk." Ia menatap ke arah lemari. Sepertinya ada barang berharga sampai ia harus mengunci rumah padahal ada aku di rumah. Seperti tahanan saja dikunci di dalam.
"Kan ada aku, Om," kataku akhirnya.
"Tadi kamu di kamar."
Aku ingin duduk di teras."
Om Satria mengamatiku sejenak, terlihat ragu. Ia menarik napas dan akhirnya mengangguk. "Baiklah. Jika kamu masuk ke dalam, jangan lupa kunci pintunya," ucapnya terlihat keberatan.
"Iya, Om. Om tenang aja, aku gak akan mencuri barang-badang Om."
Kilat keterkejutan terlihat di matanya. "Saya tidak berpikir kamu akan mencuri."
"Tapi sikap Om mengatakan seolah aku akan mencuri," balasku tak mau kalah.
Om Satria membuang napas, tanpa mengatakan apa pun menuju garasi, tak lama kemudian, ia keluar menunggangi motor besarnya. Ia berhenti hanya untuk menutup gerbang dan kembali melajukan motor tanpa menoleh ke belakang. Aku memandang gerbang dengan perasaan suram. Om Satria enak bisa pergi ke mana pun sesuka hati, sementara aku? Hanya berdiam diri di rumah saja. Membosankan.
Aku menatap ke halaman samping di mana tumpukan kelapa sawet menggunung, sebagian buah oranye kemerahan itu terlepas dari tandannya dan jatuh berserak di bawah. Tatapanku kini jatuh pada beberapa aquarium besar yang diletakkan di pendopo terbuat dari bambu dengan bunga-bunga cantik dalam pot mengelilinginya. Mungkin duduk di sana hawanya segar, dengan daun mangga bertiup di atasnya. Pohon mangga itu berbuah banyak hijau segar. Dipetis enak, tuh. Tanganku pun menggerakkan roda, sesaat ragu saat mau menuruni teras. Kalau jatuh, gimana? Aku bergidik ngeri. Pada akhirnya aku mengurungkan niat, hanya menatap gerbang yang menjulang tinggi. Sumpah hanya duduk aja gak enak banget rasanya. Andai ada HP, aku mungkin bisa menyuruh ibu atau Putri datang ke sini untuk menemani.
Bosan, aku masuk ke dalam, mengunci pintunya dan menuju ruang tamu. Dari sini terlihat kamar Om Satria dalam keadaan sedikit terbuka. Didorong rasa penasaran, aku memutuskan masuk. Aku tercengang melihat banyaknya foto seorang perempuan cantik berambut sepinggang, ia tersenyum manis. Fotonya tertempel hampir memenuhi dinding beda-beda gaya. Tatapanku berlama-lama pada foto keluarga di mana perempuan itu tengah menggendong anak lelaki, ia duduk di kursi dan Om Satria berdiri di sebelahnya. Mereka sama-sama tersenyum menatap depan.
"Itu pasti saat Zaki masih kecil," gumamku saat melihat foto seorang anak lelaki memegang paha ayam, bibirnya belepotan oleh kecap. Aku menarik napas panjang dengan perasaan sedih menyadari aku dan Zaki tak mungkin bersama. Om Satria begitu licik menghalalkan segala cara. Kalau aku gak sakit, aku pasti sudah hengkang jauh-jauh dari rumah ini. Lebih baik aku latihan jalan. Dengan aku sering latihan ada kemungkinan untuk sembuh. Aku tak betah berlama-lama di sini. Aku ingin bebas menghirup udara segar.
Aku menggerakkan roda keluar kamar, kini aku di ruang tamu dekat dengan sofa. Aku berpegang pada tangan sofa lalu menggerakkan tubuh pelan-pelan dengan hati-hati. Berdiri! Berdiri! Kamu pasti bisa! Kamu pasti bisa! Aku mensugesti diri dalam hati.
Kakiku menapak di lantai yang dingin, berdiri pelan-pelan. Dadaku berdebar saat aku mulai mengangkat tubuh, kakiku terasa ringan seperti tak bertulang, aku menggerakkannya sedikit dan buru-buru duduk karena merasa akan jatuh. Pantatku terempas kuat di pinggiran kursi roda dan karena tidak seimbang tubuhku pun jatuh ke bawah. Aku meringis merasakan nyeri di p****t yang menjalar ke pinggang. Aku berusaha bangkit pelan-pelan namun tidak bisa.
***
Aku jatuh tertidur, terkesiap kaget saat merasakan tubuhku diangkat. Aku membuka mata lebar, beradu tatap dengan Om Satria yang tengah menggendongku dengan kedua tangannya. Ia mendudukkanku di sofa, mengamati kakiku terlihat cemas.
"Om siapa yang bukain pintu?"
"Saya bawa kunci cadangan," sahutnya dengan tatapan ke kakiku.
"Oh, gitu."
"Iya."
Hening.
"Kamu sudah lama jatuh?" Tatapannya kini ke wajahku.
"Satu jam man mungkin, sampai aku ketiduran." Aku mengusap mata yang masih mengantuk dan sedikit menguap. Aku langsung menutupi bibir saat beradu tatap dengan Om Satria. Aku pun mengalihkan pandang, kini tatapanku tertuju pada plastik hitam di atas meja. Om Satria sedikit mengangkat tubuh lalu merogoh sakunya, lalu meletakkan HP ke pangkuanku.
"Lain kali hati-hati."
"Aku belajar berdiri, tapi gak berhasil."
Ia mengamati kakiku.
"Kalau mau belajar, pas ada saya saja. Kalau tidak ada yang mengawasi, kamu bisa cidera. Dan kalau jatuh ya seperti barusan, tidak ada yang menolong."
Aku menunduk, merasa tak nyaman karena ia terus memperhatikan kakiku. "Iya, Om."
"Pintar." Tatapannya tertuju ke HP yang masih di pangkuanku. "Itu buat kamu," katanya.
"Makasih." Aku meletakkannya di meja. Om Satria menyipitkan mata. Aku mengedikkan bahu acuh tak acuh.
"HP kosong gak ada nomer teman-temanku buat apa? Makanya kalau mau bertindak pikirin dulu. HP yang Om buang penuh dengan nomer teman-temanku. Aku juga masuk di grup sekolah."
Om Satria meraih HP, mengusap layarnya kemudian menghadapkannya padaku dengan tatapan mencemooh. Ada nomer Putri dan grup teman sekelas ternyata. Aku pun menyambar dari tangannya. Kubuka pesan dari Putri.
Makasih ya Om udah traktir aku pecal, salam buat Nina
Om Satria ikut membacanya. Kini ia memandangku. "Kamu dapat salam dari Putri."
"Iya aku udah baca. Om ketemu temen aku di mana?"
"Dia menyebut pecal, berarti aku dan dia bertemu di warung pecal."
Aku mengangguk. "Iya juga, yaa."
"Iya."
Aku dan Om Satria hanya pandang-pandangan. Sepi. Aku benar-benar tak nyaman. Kenapa sih ia terus duduk di sini gak pergi aja? Aneh banget. Ngapain juga ia terus di sini?
Aku mengembuskan napas saat Om Satria meraih plastik putih transparan dan membuka isinya, ia meletakkan pecal di hadapanku lalu membuka untuknya sendiri. Ia berdiri. Tak lama kembali lagi membawa dua gelang air dan dua sendok yang salah satunya ia letakkan di hadapanku. Om Satria menyuap pecalnya, ia mengernyit melihatku hanya diam memperhatikannya makan.
"Kenapa?"
"Eng-enggak."
"Dimakan."
"Iya, Om." Aku pun menyuap.
"Temanmu itu, apa dia sudah nikah?"
"Siapa? Putri?"
"Yang barusan WA kamu. Yang waktu itu datang ke sini kan dia. Siapa lagi memangnya?" Ia menyipitkan mata memandangku seolah-olah aku orang aneh.
Aku nyengir menyadari kebodohanku sendiri. "Iya dia udah nikah."
"Karena hamil di luar nikah?" tanyanya terlihat penasaran.
Aku tak dapat menahan tawa melihat ekspresinya yang bergidik. "Emangnya kalau nikah muda pasti karena hamil di luar nikah, apa? Enggak, lah. Putri bukan hamil di luar nikah tapi hamil setelah nikah." Jelasku agar ia tak berprasangka buruk pada sahabatku.
"Saya kira dia hamil di luar nikah." Ia mengangguk-angguk
"Enggak."
"Saya lihat dia menangis di warung pecal." Om Satria memandangku. Ia menatap pecalnya yang masih setengah terlihat bergidik. Aku menatapnya heran.
"Kenapa, Om?" tanyaku saat ia melipat kertas pecal.
"Teman kamu itu sangat jorok, sampai saya tidak bisa nelan ini karena ingat dia di warung pecal tadi."
"Putri jorok kenapa?"
"Kalau saya ceritakan, nanti kamu juga tidak bisa nelan makanan. Kamu habiskan makanan kamu, saya ke belakang dulu beri Nina ikan."
Nina yang dia maksud, tentu Nina si burung bermata besar nan tajam bukannya aku. Aku mengangguk. Ia pun berdiri.
"Om?"
Om Satria menyipitkan mata memandangku. "Ada apa?"
"Bisa tolong dikasih turunan gak, terasnya? Aku gak bisa turun lihat-lihat halaman karena terasnya tinggi, aku takut jatuh." Aku berniat ke teras untuk memberitahunya, tapi saat ini aku duduk di kursi. "Bantu aku duduk di kursi roda, Om." Pintaku malu.
"Baiklah." Ia mengulurkan tangan padaku, tangannya berada di bawah ketiakku dan mengangkatku hingga aku berdiri. Aku berpaling ke arah lain menyadari wajah kami begitu dekat. Setelah duduk, dengan cepat tanganku menggerakkan roda menuju teras. Om Satria mengikuti. Aku menuding teras dengan pinggiran tinggi.
"Dibagian samping itu, kasih turunan yang pas di kursi roda, jadi aku bisa turun naik."
Ia memperhatikan teras cukup lama dan akhirnya mengangguk. "Baik, saya akan beri turunan."
"Makasih."
"Belum saya kerjakan."
"Kalau gitu gak jadi makasih!" Benar-benar menyebalkan. Aku mengembuskan napas kesal. Om Satria tertawa kecil. Bahunya sedikit berguncang. Kenapa saat dia tertawa lepas begitu jadi terlihat manis, yaa? Benar-benar terlihat manis dan ganteng. Iiih, ada apa denganku yang tiba-tiba berdebar? Aneh banget. Aku kembali menyentak napas mencoba mengusir rasa berdebar di d**a. Ini aku sedang eror, pasti.
Om Satria masih saja tergelak. "Begitu saja ngambek." Ia menggelengkan kepala, tersenyum kecil lalu melangkah panjang-panjang menuju halaman samping dengan bahu bergetar oleh tawa. Tanganku menyilang di d**a. Debar-debar ini masih terasa. Ada apa denganku? Aku mengembuskan napas kuat-kuat mencoba mengusir rasa aneh ini.