10

1446 Kata
Ada apa denganku? Aku mengembuskan napas kuat-kuat mencoba mengusir rasa aneh ini. Cukup lama aku memperhatikan ke arah perginya Om Satria, dengan cepat menoleh ke arah lain saat Om Satria tiba-tiba muncul dengan burung hantu bertengger di tangannya. Heran! Orang kok suka banget dengan burung mengerikan. "Ni-naa!" Ia manggil aku apa manggil si mata besar sih sebenarnya? Penasaran, aku pun menoleh ke arahnya. Om Satria duduk di bangku panjang dari bambu di pendopo tengah memberi si Nina ikan kecil-kecil. Burung itu makan dengan rakus seperti gak pernah makan. Aku nyengir kecil, salah tingkah sendiri saat tiba-tiba Om Satria menatap kemari, menajamkan mata. Tatapannya yang terus tertuju ke sini sungguh membuatku malu. Aku pun memutuskan masuk ke dalam. Terdengar derum motor memasuki halaman. Suami Putri ternyata. Aku memperhatikan Om Redi dan Om Satria mengobrol dari jendela, tampak Om Satria terlihat sangat kesal sekali. Mataku melebar sempurna saat suamiku itu melempar ikan ke arah Om Redi, membuat Om Redi langsung berlari menjauh karena Nina mengejarnya. Dan pada saat si mata besar itu hinggap di bahu Om Redi, Om Satria malah tergelak sambil memegangi perut. Aku terperangah tak percaya. Ya am-puun, sungguh kekanakan sekali ternyata Om Satria, ia tertawa lepas tampak begitu bahagia seperti anak kecil diberi permen. Suami temanku menatap Om Satria jengkel sebelum akhirnya melangkah cepat menuju motornya, mengegas-ngegasnya dan membawa kendaraannya itu menjauhi halaman rumah ini. "Ehemp!" Aku membeliak saat menyadari Om Satria sudah berdiri di depanku dengan Nina si burung di lengannya. "Kamu menguping?" Om Satriw memicingkan mata. Tatapannya menajam seperti elang. "Eng ... enggak." Aku tergagap. "Aku gak nguping, kok. Aku gak denger obrolan Om sama sekali." "Baguslah," kayanya tampak lega. "Kamu butuh sesuatu?" tanyanya kemudian. Aku menggeleng gugup. "Enggak, Om." "Sejak tadi kamu terus di sini, apa kamu butuh bantuan saya? Ingin pipis? Atau mau e*k?" Iiih, apaan sih tanya-tanya begitu segala? Bikin aku malu saja deh. Aku menggeleng cepat. "Enggak." Aku menatap burung di lengannya. Om Satria berdiri persis di sampingku, mengangkat burung berwajah seperti mengenakan topeng itu di udara lalu meletakkannya ke tangkringan dari besi. Kepala burung itu neleng-neleng dengan tatapan ke arahku. Tingkah si burung membuatku bergidik ngeri. Takutnya ia mau matuk aku, lagi. Hiiii. Lihat parunya melungkung tampak tajam banget. Atau jangan-jangan ia akan nyakar seperti yang dilakukannya pada Om Redi. Hiii. Om Satria tertawa kecil melihatku yang terus bergidik. "Dia baik," katanya setengah tertawa. Aku nyengir. "Masa si, Om?" "Iya. Pegang saja. Dia jinak." Aku memperhatikan si burung, lalu mengangkat bahu. "Enggak, ah, takut." Jantungku mengentak kuat bahkan nyaris lompat dari rongganya saat tiba-tiba Om Satria meraih tanganku lalu menggerakkannya ke arah si burung dan mengusapkan ke kepala burung dengan kepala berbentuk love dengan penuh kasih. "Tidak jahat, kan?" tanya Om Satria dengan tatapan tertuju ke wajahku. Aku mengangguk, tapi tetap saja memandang si burung membuatku takut di patuk. Trlqpqk tanganku yang menyentuh kepala burung sampai terasa begini dingin. "Kamu yakin tidak ingin ke kamar mandi?" tanya Om Satria tampak ingin memastikan, aku menggeleng. "Belum ingin, Om." "Baiklah. Kalau butuh bantuan saya, tinggal teriak saja. Dengar, Nina?" "Iya, Om." Aku menunduk saat bertatapan dengannya. Hatiku berdesir pelan. Ya ampun, ada apa sih demganku? Om Satria juga terus berdiri di depanku kenapa, coba? Bukannya segera pergi saja malah terus di sini. Wajahku menghangat dan aku menggerakkan kursi roda hingga kini aku menghadap burung hantu, memunggungi Om Satria. "Nina, jangan nakal, ya?" Om Satria menjulurkan tangannya di atas kepalaku lalu mengusap kepala Nina, lalu Om Satria menunduk memandangku. Kepanya persis di atas kepalaku. Aku menahan napas karena tiba-tiba begitu gugup. Sepeninggal Om Satria, aku mengembuskan napas lega. Ya ampun, ada apa sih denganku? Aku menyentak napas untuk melenyapkan rasa aneh di d**a ini. Kurogoh HP yang bergetar di saku baju dan membaca pesan WA. Dari sahabatku, Putri. Sedang apa? Sedang bete, Put. Juga merasa aneh, ada apa denganku sebenarnya? Bete kenapa? Balasnya. Bete sama lelaki gede tapi pikirannya seperti anak kecil. Dia nyebelin banget. Balasku. Nyebelin karena senang banget berdiri di dekatku sampai membuatku begini. Tanganku menyentuh d**a yang berdebar. Ini aneh banget. Kenapa sih aku? Tiba-tiba jadi aneh begini. Iya, bener. Om Satria emang nyebelin banget. Tapi kalau diperhatikan baik-baik, dia ganteng juga lho, Niiin. Balas Putri disertai emot senyum. Bwlum spat mbalas, Putri kembali mengirim pesan. (Nin, kamu belum pernah ngerasain ciuman sama cowok yang usianya jauh di atasmu, kan? Cobain deh sama Om Satria, rasanya beda bikin kecanduan, Nin, sumpah.) Kali ini pesannya disertai emot malu-malu. Aku langsung membalas sambil bergidik. Iiih amit-amit, masa ciuman sama Om-om? Sama Zaki iya, gak nolak. Hehe. Tapi sama Om Satria, pikir seratus ribu kali, laaaah. Aku seriusan gak bohong, Nin. Aku kan sering tuh ciuman sama Rizal, tapi ternyata caranya nyium tu beda banget sama Om Redi. Sumpah deh, yang tua tu lebih pengalaman, tauu. Lebih menggoda. Om Redi buktinya. Uhuiii. Dan dia hebat sekali di tempat tidur, bikin aku kecanduan lagi dan lagi. Seriusaan. He he.) Lagi-lagi disertai emot malu-malu. Aku meringis saat tanpa sengaja aku membayangkan sedang gituan di ranjang dengan Om Satria. Iiiih, apaan sih pikiranku inii? Aneh banget, sumpah. "Hem." Aku menoleh terkejut. Om Satria membawa dua gelas es teh besar, mengulurkan satu padaku yang langsung kuterima dan mengucap terima kasih. Kini aku mendongak menatap Om Satria. Dari rambutnya yang basah, sudah jelas ia habis mandi. Wajahnya terlihat segar dan ... menggoda. "Makasih," kataku dengan gugup saat beradu pandang dengan Om Satria. Aku meraih gelas di tangan Om Satria membuat Om Satria langsung menyipitkan mata. Ada apa sih dia? Aku pun menatap tanganku, membuat mataku langsung melebar kaget menyadari kini aku membawa dua gelas besar. Om Satria menggeleng-gelengkan kepala saat kuulurkan satu gelas padanya sambil aku nyengir kecil. Dengan wajah menghangat karena malu, aku menyeruput minumanku pelan sambil memperhatikan Om Satria yang menunduk meminum es tehnya. Tatapanku kini jatuh ke bibirnya yang tampak seksi menggoda dengan kumis tipis samar di atasnya. Tiba-tiba, aku membayangkan tengah berciuman dengan Om Satria. Aku menggeleng kuat menyadari kegilaanku lalu menepuk jidat kuat-kuat. Sekali. Dua kali. Aku kini membuang napas kuat-kuat. Pikiran jelek, enyahlah entahlah! "Ada apa?" Om Satria mengeryit heran. Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Eh, oh, eng gak, Om. Enggak." Dia pun kembali menyeruput tehnya. Bibir itu basah kok, tampak menggoda, ya? Om Satria lagi-lagi menyipitkan mata memandangku. Aku mengalihkan pandang. Ia mendekati Nina dan mengusap kepala hewan bermata tajam dan besar itu. Aku terus memperhatikan Om Satria yang tersenyum pada si Nina burung. Bibirnya basah tampak begitu menggoda, seperti apa rasanya di bibir .. ku? Apa iya yang sudah berumur itu lebih menggoda? Masa, siih? Tanpa sadar, jari telunjukku menempel di bibirku. Begitu sadar, Om Satria sedang menatapku, aku jadi salah tingkah sendiri, hanya bisa nyengir kecil dan garuk kepala yang tak gatal. "Ada yang salah dengan penampilan saya?" Om Satria menatap ke bawah pada kakinya, lalu tatapannya jatuh ke perutnya yang rata, kini tertuju ke wajahku. "Emp." Tanganku masih menempel di bibir. Sekalian aku usap sudut bibirku seolah ada kotoran yang menempel di bibir Om Satria dan bilang, "Itu, Om seperti anak kecil deh, makan belepotan." "Masa?" tanyanya seolah tak percaya. Tangannya menyentuh bibir yang penuh itu. Iiih, ini gara-gara Putri nih, pikiranku jadi gentayangan begini. "Padahal saya baru saja salat, sebelum salat saya sikat gigi dan mandi. Mungkin kurang bersih mandinya mungkin." Ia terlihat malu. Aku juga malu, karena tak ada sisa makanan di bibirnya. Om Satria tertawa kecil, tangannya mengusap sudut bibirnya dan lagi-lagi ia kembali tertawa. "Padahal saya tidak pernah makan belepotan sebelumnya." Kami berpandangan dalam diam. Hening. Aku sumpah gak nyaman banget. Aduh, Putriii, ini gara-gara kamu. Aku menoleh ke arah lain, meremas tangan dengan tak nyaman. Ngapain juga Om Satria terus berdiri di sini? Yaa, am-puuun, ini juga dadaku kenapa berdebar terus begini? "Kenapa?" tanya Om Satria heran. "Ini gara-gara Om!" Aku gemas pada diriku sendiri yang tiba-tiba menjadi aneh juga kesal pada Om Satria yang terus berdiri di sini. "Saya kenapa?" Ia tampak kebingungan. "Pikir aja sendiri!" Ia menatap heran. "Hari ini saya tidak berbuat salah pada kamu." Tidak berbuat salah bagaimana? Ia terus berada di sini dari tadi membuatku merasakan sesuatu yang aneh dan ia dengan seenaknya bilang gak buat salah? Sumpah nyebelin banget manusia di hadapanku ini. "Pokoknya Om jangan dekat-dekat aku lagi! Awas aja kalau dekat-dekat!" Aku memberikan gelasku padanya dengan sinis lalu melajukan kursi roda menuju kamar. Sampai di kamar, aku menutup wajah dengan kedua tangan karena malu mau memanggilnya. Sementara mau merebah di ranjang sendiri pun gak bisa. Oh ya, ampuuun, ada apa dengan diriku sebenarnya? Ini aneh banget, sumpah. Nggak biasanya aku berdebar begini kecuali saat sedang sama Zaki. Itu karena aku suka Zaki. Aku cinta Zaki. Mataku melebar seiring dengan detak jantungku dari normal ketakberaturan. Enggak mungkin. Enggak mungkin kalau aku su ... Iiih, enggak mungkiiin!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN