Hening cukup lama. Mau bicara apa sih ia sebenarnya? Aku menarik selimut dan menutupi tubuh, Om Satria langsung menarik selimut bagian bawah hingga kakiku tertutupi.
"Makasih," kataku dengan perasaan tak nyaman. Om Satria memandangku seolah sedang salah dengar.
"Tumben sekali kamu bilang terima kasih pada saya. Biasanya, kamu selalu marah-marah."
"Gak jadi terima kasih deh kalau gitu!" Aku sewot. Mana ada orang sepertinya coba? Orang berterima kasih malah diejek.
"Ha ha." Ia tergelak, bahunya bergetar pelan. Om Satria seketika diam saat aku mendelik.
"Aku udah gak butuh bantuan Om lagi untuk malam ini. Aku mau tidur."
Ia mengangguk, dengan cepat berdiri tapi kembali duduk. Aku mengangkat alis, menatapnya heran.
"Saya tahu kamu benci sekali pada saya karena saya menghalalkan segala cara agar Zaki bisa jadi orang yang bisa diandalkan. Tapi jika kamu berada diposisi saya, mungkin kamu akan mengikuti jejak saya juga. Besok, saya akan belikan kamu HP. Saya minta maaf karena sudah buang HP kamu."
Wajah Om Satria terlihat menyesal. Bisa merasa tak enak hati juga ia ternyata. Atau mungkin pura-pura? Orang jahat tetap aja hatinya jahat.
"Emang dengan Om ngembaliin HP aku, aku bakalan maafin Om, gitu? Emangnya dengan Om ngembaliin HP-ku, di HP baru langsung ada nomer teman-temanku, gitu? Aku gak mungkin datangi rumah temanku satu-satu mengingat kondisiku sekarang ini." Aku menatap ke arah kakiku dengan rasa sedih yang semakin menjadi saja. Aku tak punya gambaran masa depan karena keadaan ini. Om Satria mengikuti tatapanku dan ia tersenyum mencemooh sambil menggelengkan kepala. Tatapannya sinis sekali.
"Kalau begitu, saya akan antar ke rumah salah satu teman kamu. Jangan jadi bodoh dengan mendatangi semua rumah teman kamu, kamu tinggal memintanya ke salah satu temanmu, semudah itu." Ia tersenyum penuh ejekan.
Aku menatapnya jengkel. Minta maafnya tulus gak, sih, sebenarnya? Pakai bilang jangan jadi bodoh segala. Nyebelin banget. Tinggal bilang aja cukup mendatangi satu temanku, gak perlu dikasih embel-embel jangan jadi bodoh segala.
Aku menatapnya kesal. "Dengan Om minta maaf, juga gak bisa buat aku bisa jalan, Om."
Tatapannya terpantik ke wajahku dan ia mengedikkan bahu acuh. "Tergantung. Jika kamu malas, maka sampai kapanpun juga kamu akan bergantung pada kursi roda. Jangan pesimis karena itu akan membuatmu sulit sembuh. Baiklah sekarang sudah malam, sebaiknya kamu segera tidur dan saya pun harus tidur juga."
"Ya." Aku pun memejamkan mata. Om Satria menghela napas panjang, sungguh membuatku tak nyaman. Tak lama, terdengar suara sandal diseret menjauh. Aku menarik napas panjang-panjang, lega karena ia akhirnya pergi. Aku menghela napas memikirkan ucapannya tadi. Apa iya aku bisa sembuh? Jujur aku pesimis. Tapi semoga yang dikatakannya benar. Semangat, Nina, kamu harus sembuh, kataku dalam hati.
***
Aku terbangun dari tidur saat mendengar bunyi spatula beradu dengan penggorengan. Harum telur goreng menguar sedap di udara. Terdengar bunyi srang-sreng, Om Satria pasti sedang menumis sayur saat ini. Aku pun merentangkan tangan lebar-lebar lalu beranjak bangkit dengan susah payah, bisa mengangkat pinggang dan duduk walau kaki tak bisa digerakkan sama sekali.
"Ooom!" Teriakku keras.
"Sebentaar." Yang kupanggil menyahut dari arah dapur. Tak lama, Om Satria berjalan mendekat. Rambutnya basah. Samar harum sabun mandi menguar dari tubuhnya yang dibalut kaus putih polos longgar dengan celana kain warna hitam membuatnya terlihat santai. Dan, menawan. Om Satria lumayan tampan jika dibandingkan dengan lelaki seusianya yang kebanyakan bertubuh melar atau berpenampilan berantakan. Ia termasuk pandai merawat diri. Perutnya rata, dan wajahnya pun bersih terawat. Mungkin karena ia duda, kah? Tatapanku terpantik ke kaki Om Satria lalu ke tubuhnya, kini ke wajahnya.
"Ada yang aneh dengan penampilan saya?" Ia mengernyit heran, dia menatap ke bawah pada tubuhnya dan akhirnya menatapku.
Aku menggeleng cepat, gelagapan karena tertangkap basah sedang memandanginya. "Eng eng-gak. Tumben ra-pi. Mau ke mana?" Aku kembali meneliti penampilannya.
"Mau bertemu pacar saya." Ia bersidekap, sedikit mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum. Pasti suasana hatinya sedang senang karena akan bertemu pacarnya jadi tersenyum.
"Om punya pacar?" Aku menatapnya tak percaya. Sudah tua pacaran, nggak malu sama Zaki, apa? Yang membuatku kesal, ia kan punya istri, tapi bisa-bisanya pacaran. Itu selingkuh namanya. Ya walau pernikahan kami hanya sampai aku sembuh saja, tetap saja tak seharusnya ia pacaran. Tanpa sadar aku menyentak napas jengkel. Om Satria mengernyit memandangku dan tergelak kecil. Ia keluar dari kamarku dengan bahu bergetar oleh tawa dan kembali lagi dengan mendorong kursi roda. Aku tersentak saat tiba-tiba ia mengangkat tubuhku sebatas dadanya. Ia menunduk memandangku. Tatapan kami bertemu. Aku mengalihkan pandang darinya, menatap lantai yang membosankan.
"Om ngapain gendong aku? Turunin!" Aku memukul dadanya kuat.
"Saya akan bawa kamu ke kamar mandi," sahutnya santai. Senyumnya yang mengejek membuat wajahku sekonyong-konyong menghangat. Dia benar, tentu saja aku harus mandi. Aku merasa malu karena telah berpikir yang enggak enggak padanya.
"Emp, aku nanti aja mandinya deh Om, masih dingin."
"Mandi pagi bagus untuk tubuh. Kamu mandi sekarang saja karena saya mau pergi."
"Mau bertemu pacar Om?" Aku menatapnya penasaran. Om Satria tergelak.
"Memangnya diusia saya masih pantas pacaran? Kamu terlalu bodoh mudah sekali dibohongi." Ia menurunkanku ke kloset duduk. Dilepasnya celanaku dengan mata terpejam lalu ia keluar dari pintu dan menutupnya. Walau masih dingin, akhirnya aku mengarahkan gayung ke tubuh, sesekali aku meringis karena sensasi dingin di kulit.
Pintu tiba-tiba bergerak membuka.
"Berhenti! Om mau ngapain? Aku lagi mandi, Om!"
Tangan Om Satria terjulur dengan handuk digenggamannya. Pintu hanya terbuka sedikit saja. "Handuk," katanya. Aku pun segera menjulurkan tangan mengambilnya lalu mengeringkan tubuh.
"Sudah belum?" tanyanya dari luar.
"Udah." Aku menyahut sambil menutupi tubuh dengan handuk. Om Satria memberikan baju terusan lalu sedikit mengangkatku hingga ujung baju jatuh ke bawah sebatas tumit. Aku mendongak menatapnya saat ia mengangkatku.
"Om, aku nggak nyaman kaya begini terus."
Ia menyipitkan mata. "Tidak nyaman kenapa?" Ia menatapku sebentar, terus menggendongku menuju kamar, mendudukkanku dengan hati-hati ke kursi roda. Tanganku menggerakkan roda ke arah meja rias, mengambil sisir. Dari cermin, kulihat Om Satria duduk di bibir ranjang memperhatikanku dengan wajah heran.
"Aku gak nyaman. Masa tiap hari aku harus bergantung sama Om terus. Mau pipis minta bantuin Om, mau makan diambilin Om, mau ngapain aja butuh Om."
Kami bertatapan lewat cermin. Aku menghela napas. Ini saatnya mengatakan pada Om Satria bahwa aku butuh seseorang untuk membantu keperluanku.
"Lalu kamu inginnya bagaimana? Kamu butuh saya karena tidak bisa melakukan semuanya sendiri."
"Maka itu." Aku membalik kursi roda menghadapnya. Ia menatapku semakin penasaran saja. "Apa Om gak bisa bayar orang buat ngerawat aku? Yang cewek, jadi aku gak merasa risih, Om."
Setelah heing yang panjang membuatku berpikir ia bakal marah, akhirnya ia berkata dengan tatapan menerawang.
"Dulu, saya punya pembantu. Saya percaya padanya, tapi ternyata dia tidak bisa dipercaya. Dia ambil 70 an juta uang saya, sudah dilaporkan polisi, tapi belum ketemu juga. Orang itu tidak pernah ditemukan bagai ditelan bumi."
Aku menelan ludah. Dari ceritanya dapat kusimpulkan ia tak mungkin mengabulkan keinginanku. Aku menelan ludah dengan susah payah dan menarik napas panjang.
"Jadi, Om gak bakal kabulin permintaanku?" tanyaku lirih walau sudah tahu jawabannya. Mataku memanas dan tenggorokanku tercekat, aku bertahan untuk tak mengumpat atau menangis.
"Sebab saya menikahi kamu, agar saya bisa mengurus kamu tanpa takut dosa. Paham, Nina?"
Aku sangat paham. Tapi bukan karena itu ia menikahiku.
"Aku tahu bukan karena itu Om nikahin aku, tapi agar aku diharamkan nikah sama Zaki." Bantahku. "Benar, kan?" Karena keegoisannya, aku dan Zaki jadi gak bisa nikah. Sungguh jahat.
Plok plok plok. Ia bertepuk tangan sambil tersenyum penuh ejekan. "Hebaat, seperti peramal, kamu, Nina. Benar-benar hebat." Jari telunjuknya terkacung di udara. Aku membuang napas kuat. Om Satria menggelengkan kepala lalu keluar kamar. Tak lama, lelaki tinggi menyebalkan itu kembali membawa nampan berisi piring, segelas s**u besar dan segelas air putih. Diletakkannya di meja.
"Saya pergi dulu," ucapnya datar.
Aku mengangguk. Ia tersenyum mencemooh lalu menggelengkan kepala, tatapannya sinis. "Kamu seperti peramal."
Aku menuding dadaku, tapi Om Satria tak melihatnya karena ia keburu membalikkan badannya dan keluar dari kamar. Kenapa ia terlihat sangat kesal? Kan ia sendiri yang waktu itu membenarkan ucapanku bahwa niatnya menikahiku agar aku tak dibolehkan menikah dengan Zaki. Aneh sekali.