Mataku melebar seiring dengan detak jantungku dari normal ketakberaturan. Enggak mungkin. Enggak mungkin kalau aku su ... Iiih, enggak mungkiiin amit-amit jangan sampai! Kedua tanganku terangkat dan memegangi d**a, terasa jantungku berdetak kencang sekali. Ada apa denganku sebenarnya? Aku menarik napas panjang lalu membuangnya, tarik napas, buang. Tarik, buang lagi. Aku menggeleng-gelengkan kepala menyangkal perasaan aneh ini. Jangan sampai aku suka lelaki yang umurnya jauh di atasku, iih amit-amit deh. Kayak gak ada lelaki lain aja. Hiii. Aku bergidik sendiri. Masa suka sama Om Om, gak normal banget itu.
Kuhela napas lagi dan mengangkat wajah. Mataku melebar sempurna dan aku menegakkan tubuh mendapati Om Satria berdiri di ambang pintu kamar, tangannya bersidekap, lelaki berperawakan tinggi tegap itu menatap kemari dengan kernyit heran yang semakin berlipat-lipat saja.
Deg deg deg
Deg deg deg
Deg deg deg
Detak jantungku keras sekali. Om Satria lagi-lagi mengernyit. "Sebenarnya saya salah apa padamu. Perasaan hari ini saya tidak berbuat salah pada--"
"Pergi!" Tanganku terkacung menunjuk keluar. Detak jantung ini, sungguh menyiksa sekali.
"Marah tanpa sebab itu hal yang aneh," ujarnya pelan. Ia menggeleng-gelengkan kepala, menatap seolah aku orang yang aneh dan lagi-lagi menggelengkan kepala. "Ada apa denganmu?" tanyanya heran.
Aku tak menyahut ucapannya. Aku lagi-lagi menunjuk keluar. "Pergiii!"
Ia memicingkan sebelah matanya, memandangku dengan wajah tak percaya.
"Pergi! Pergi dari rumah i-ni! Pergi! Aku gak mau lihat wajah Om lagi. Pergi!"
"Saya harus pergi ke mana?" Ia menoleh ke belakang tubuhnya.
"Ya terserah! Yang penting pergi dari sini nggak deket-deket aku!" Biar aku gak deg deg kan lagi. Rasanya sungguh menyiksa. Juga ... menyenangkan. Ya ampuun, aneh banget yang kurasakan ini.
"Ini rumah saya. Aneh, kamu. Masa saya disuruh pergi dari rumah saya sendiri." Tatapannya lekat ke wajahku.
Aku nyengir kecil menyadari yang dikatakannya benar. Rasa hangat merayapi wajahku dan aku segera menutupi wajah dengan kedua tangan. Dari sela jari-jari yang renggang, kulihat Om Satria menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Yang membuatku kesal, kenapa dia terlihat menawan saat tersenyum seperti itu? Astagaaa.
"Kamu butuh bantuan saya tidak?"
Aku menggeleng cepat. "Ngajak!"
Jari telunjuknya menuding ranjang. "Mau tidur?"
"Gak!" Aku kembali menggeleng.
"Mau pipis?" Tatapannya tertuju ke wajahku.
"Eng gaaak!" Aku berpaling darinya, karena jika sampai menatap wajahnya, takutnya akan membuat jantungku kembali berdetak kencang lagi. Apa-apaan si ini, kenapa jantungku bisa bereaksi begini? Ini gara-gara Putri kirim pesan yang tidak-tidak. Sahabatku itu minta dipites memang.
"Baiklah, kalau begitu saya tinggal. Kalau butuh apa-apa panggil saja."
Aku tak menyahut ucapannya. Begitu ia keluar, langsung saja kugerakkan roda menuju pintu, menutupnya cepat. Aku menghela napas panjang lalu menuju ranjang berseprai bunga-bunga. Aku menatap lama ke pembaringan, sebaiknya aku mencoba rebah sendiri tanpa bantuan Om Satria. Maka, tanganku terjulur lalu aku berpegang pada ranjang, mengangkat tubuh pelan-pelan. Kakiku menjejak di lantai, perlahan mulai mengangkat tubuh tapi kemudian menjatuhkan p****t di kursi roda karena kesemutan, rasanya gak enak banget. Lebih baik tak dipaksa, tapi terus belajar mengangkat tubuh pelan-pelan.
Daripada memanggil Om Satria, aku memilih tidur menyandarkan tubuh di kursi roda, memejamkan mata. Aku terbangun saat merasakan dahaga dan gerah di tubuh. Kuminum air dalam gelas, menyambar handuk dan keluar kamar. Pintu kamar Om Satria tertutup, pasti ia di dalam. Baguslah, aku akan mandi tanpa minta bantuannya. Kalau aku tak bisa duduk di kloset, aku pel-pel saja tubuh ini agar air tak membasahi kursi roda. Aku pun menuju kamar mandi yang pintunya sedikit membuka, mendorongnya cepat dan membelalak kaget. Om Satria sedang mandi pas menghadapku langsung membalikkan badan.
"Kamu apa-apaan! Tutup pintunya!" Terdengar jengkel sekali suaranya.
"Ya gak bisa lah aku nutup, Om. Pintunya udah terbuka. Harusnya Om yang nutup. Aku kan gak bisa ngangkat tubuh!"
Ia menyentak napas, tetap menghadap ke dinding. Ia sedikit memiringkan tubuh lalu menyambar handuk, dengan rambut basah masih ada sabunnya yang menetes-netes berjalan ke arahku.
"Kamu tidak lihat, kan, tadi?" Tatapannya tajam ke wajahku, membuat jantungku berdetak kencang.
"Li hat."
"Bohong! Kamu tidak lihat tadi!"
"Lihat, kok."
"Tidak lihat!" katanya terus bersikukuh. Padahal aku memang lihat.
"Lihat, kok. Jelas banget." Jari tanganku melingkar membuat gerakan. Om Satria melebarkan matanya.
"Ka-muu!"
"Aku udah biasa lihat gituan, Om."
Matanya tambah melebar tak percaya. "Kamu bisa dipakai? Dibayar uang?!" katanya dengan wajah luar biasa jengkel.
"Ngawur. Enggak pernah lah, emangnya aku cewek murahan, apa!"
Ia memicingkan mata tak percaya.
"Aku lihat sama Zaki sama Putri, sama Linda, lihatnya di HP. Habisnya penasaran. He he."
Ia mengembuskan napas kesal. "Tapi kamu barusan tidak lihat punya saya."
"Lihat. Indah, kok."
Mata Om Satria melebar.
Astagaa, aku barusan bicara apa? Aku refleks membekap mulut saat menyadari ucapanku. Ini gara-gara Zaki yang waktu itu pas nonton film panas, dia komentar bahwa milik pameran cowok, indah. Om Satria menatapku tak percaya, ia menggerakkan tangan lalu melangkah cepat ke kamarnya padahal rambutnya masih ada sabunnya. Aku benar-benar nyesal tadi bilang, indah. Ya ampuuun, kenapa bisa seperti inii?
Om Satria terus mengunci diri di kamar, aku masuk ke kamar mandi, hanya usap-usap tubuh tanpa ganti baju dan menuju teras untuk mendinginkan pikiran. Aku tersenyum senang saat Putri datang bersama suaminya. Ia langsung menanyakan apa aku udah ciuman dengan Om Satria, dasar teman gak ada akhlak. Bisa-bisanya ia terus menggodaku saat temannya ini sedang merasa tak enak hati karena keceplosan mengomentari Om Satria tadi.
Put, aku ...." Aku menggelengkan kepala teringat tadi dan menutupi wajah karena malu. Om Satria tak keluar-keluar dari kamar pasti karena malu padaku. Duuh, aku harus gimana, nii? Sebaiknya aku cerita sama Putri minta solusi.
"Apaan, siih? Bikin aku penasaran aja, deh."
"Malu aku, Put, jelasinnya, aku ... Om Satria ...."
"Eheemp!"
Aku tersentak kaget, Om Satria berdiri di pintu menatapku sinis. Ia sama sekali tak menyahut saat Putri menyapanya. Aku langsung menutupi wajah saat tatapannya jatuh ke wajahku, seolah mengatakan bahwa ia keberatan aku menceritakannya pada siapapun.
Hening cukup lama, sampai akhirnya Putri berbisik di telingaku, meminta agar menceritakannya lewat WA. Aku tak menyahut, Om Satria pasti kini sedang memperhatikanku. Tak lama, terdengar derum motor menjauh.
"Ehemp."
Suara Om Satria dekat sekali denganku. Jangan-jangan, ia berjongkok di dekatku lagii.
Helaan napas terdengar. Jelas sekali. Pasti benar Om Satria ada didekatku. Tanganku yang menutupi wajah perlahan-lahan merenggang dan ....