Tanganku yang menutupi wajah perlahan-lahan merenggang dan mataku membelalak lebar mendapati Om Satria duduk berjongkok sangat dekat denganku sampai embusan napasnya terasa di wajah. Ia menatapku tajam. Aku menggaruk kepala yang tak gatal dan tersenyum salah tingkah, berusaha menetralisir gugup walau sebenarnya sangat tegang.
Ya ampuuun, ini manusia kenapa sih duduk di sini terus? Debar di dadaku semakin keras menjadi jadi saja.
"A-ada apa, Om?" tanyaku dengan tak nyaman. Aku memandangnya yang terus memperhatikanku. Aku meringis kecil karena ia hanya diam menatapku tajam. Sikapnya membuatku ... arrrrgh, ingin pergi jauh-jauh dari sini pokoknya. Andai aku bisa berlari.
Om Satria menarik napas. Lalu katanya dengan tatapan tajam seolah menembus jantungku. "Berani kamu bilang yang tadi kamu lihat pada temanmu itu, kamu tahu sendiri akibatnya!" katanya tegas penuh ancaman.
"Memangnya kalau aku sampai bilang, apa yang akan Om lakuin sama aku?" tanyaku merasa takut bercampur penasaran.
"Sesuatu yang tidak akan kamu lupakan seumur hidupmu." Ia menyeringai kecil. Mataku melebar.
"Apa itu?" Suaraku sedikit bergetar. Aku jadi berpikir yang tidak-tidak karena tatapannya terus melekat ke tubuhku. Mikir apa ya dia sekarang? Hiii, ngeri.
"Kalau saya beritahu kamu, kamu akan takut." Ia tersenyum kecil seolah tengah membayangkan sesuatu entah apa.
Tuu, kan. Jangan-jangan ia berpikir akan berbuat senonoh padaku, lagi, kalau aku sampai bilang pada Putri. Hiiii. Aku bergidik, semakin horor saja. Aku mengalihkan pandang saat tahu-tahu kami saling menatap. Om Satria meraih daguku, mengangkatnya pelan memaksa untuk menatapnya. Ia memajukan wajah mendekat hingga jarak kami begitu dekat. Mau apa dia? Aku semakin deg-degan kan saja. Refleks aku memejamkan mata rapat dan terdengar gelak tawa Om Satria. Aku membuka mata, merasa sangat malu saat melihat Om Satria tergelak sampai bahunya berguncang-guncang.
"Kamu sedang membayangkan apa?" tanyanya disela-sela tawa, lalu tatapannya menyipit. Aku menyentak napas.
"Om benar-benar membuatku takut." Aku berpikir dia akan menciumku tadi. Ya ampun malunya aku.
Ia menelengkan kepala, menatapku dengan sorot tak percaya dengan senyum kecil di bibirnya. "Yang saya lihat, kamu tidak tampak ketakutan tapi memejamkan mata."
Wajahku menghangat kini, desir aneh menelusup ke dalam dadaku. Tanpa mengatakan apa pun, tanganku menggerakkan roda menuju ke dalam. Aku menuju kamar dan menguncinya, kedua tangan kini memegangi d**a. Ya ampun, apa-apaan ini? Kenapa debar dadaku terasa sekali di telapak tangan? Aku menggeleng-gelengkan kepala saat mulai berpikir bisa jadi aku menyukai Om Satria. Gak mungkin. Dia bukan tipeku. Jutek dan dingin begitu, masa aku suka, udah tua pulaa mungkin umur 38 40 an. Iiiih amit-amit jangan sampai suka sama lelaki tua.
Aku terus mengurung diri di kamar sampai terdengar azan isya. Lapar, tapi malas ke dapur karena tak ingin bertemu Om Satria. Selain lapar, juga kebelet pipis. Ya, ampuuun. Panggil Om Satria, enggak? Panggil, enggak? Aku galau. Sebaiknya aku ke kamar mandi sendiri saja, berusaha sebisanya daripada bertemu dengannya.
Maka aku pun pelan-pelan membuka pintu kamar. Ruang tamu rapi seperti habis dibersihkan, kamar Om Satria tertutup, syukur deh. Aku pun menuju kamar mandi.
"Gak ada orang kan, di dalam?" Suaraku pelan. Aku tak mau kejadian tadi terulang. Tak ada sahutan. Aku pun mendorong pintu. Pintu mengayun membuka. Aku hanya diam memperhatikan kamar mandi karena tak bisa masuk karena posisi kamar mandi lebih rendah. Jika memaksa masuk, bisa-bisa malah terguling jatuh. Sepertinya memang tak ada pilihan lain, aku harus minta tolong Om Satria.
"Om?"
Tak terdengar sahutan. Aku pun menuju ke kamarnya.
"Om, aku ingin ke kamar mandi."
Pintu terkuak sedikit, Om Satria melongokkan kepala. Aku mengalihkan pandang saat bersitatap dengannya. Ia membuka pintu lebih lebar lalu tanpa mengatakan apa pun mengangkatku, aku terus mengalihkan pandang ke arah lain. Jangan bayangkan bagaiamana rasanya aku saat ini. Aku itu, malu, tegang, kesal, dan tengeng juga leher ini karena terus menatap ke arah lain. Benar-benar gak nyaman banget sumpah.
Om Satria mendudukkanku di kloset duduk, membantu melepas celana sambil memejamkan mata lalu menutup pintu kamar mandi. Aku memanggilnya begitu selesai, ia pun masuk dan kembali mengangkatku. Di dudukkannya aku ke sofa. Aku terus menatap ke arah lain, tak peduli tengeng.
"Ehemp." Om Satria berdeham. Aku merasa ia sedang mengamatiku saat ini.
"Kamu tidak lapar?"
Pertanyaan aneh. Jelas aku lapar dari tadi belum makan. Aneh banget pertanyaannya.
"Enggak."
"Mau makan?" tanyanya lagi.
Aku memandangnya. "Mau," sahutku akhirnya karena merasa lapar.
"Katanya tidak lapar?"
Aku menoleh, mendelik padanya yang tersenyum kecil.
"Iya saya ambilkan," katanya dengan sisa senyum di bibirnya. Segera ia berdiri dan melangkah ke belakang. Kuraih remote lalu menyalakan televisi.
"Saya tunggu kamu selesai makan lalu saya akan keluar sebentar." Om Satria meletakkan piring berisi sayur bening dan ayam goreng ke pangkuanku. Kini ia duduk di seberangku, memperhatikan. Bagaimana aku bisa makan kalau ia memperhatikanku seperti itu? Ya, ampun. Bahkan bernapas pun terasa sulit.
"Kalau Om mau pergi, tinggal keluar aja."
"Kamu bagaiamana? Kamu bahkan tidak bisa tidur di ranjang sendiri."
"Iya, sii." Aku nyengir kecil. Om Satria menggelengkan kepala. Ia meraih HP-nya dan sibuk dengan benda itu. Sementara aku makan dengan tak nyaman.
"Sudah?" tanyanya sambil mengangkat wajah, memandangku. Aku baru menyuap dua sendok.
Setelah melihat ke piringku, Om Satria kembali menatap HPnya, lalu menatap ke luar jendela. Langit abu-abu pucat. Om Satria kembali memandangku. Lalu kembali menatap ke luar jendela. Ia terlihat gelisah sekali membuatku jadi tak enak hati.
"Kalau Om mau keluar tinggal keluar aja. Aku tungguin Om di sini. Aku mau nonton tv juga."
Ia menatapku, lalu mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu saya pergi dulu. Saya tidak akan lama."
"Iya, Om."
Tapi ia tetap saja duduk di depanku, menatap seolah ada yang ingin dikatakan.
"Ada apa, Om?"
"Kamu sebenarnya tidak melihat milik saya, kan?" katanya cepat tanpa melihatku.
"Lihat."
Ia mengembuskan napas, terlihat kesal wajahnya. "Awas kalau sampai kamu bicara pada temanmu itu. Saya akan kasih kamu perhitungan yang tidak akan pernah kamu lupakan seumur hidupmu." Tatapannya tajam mengancam.
"I-iya, Om."
"Iya apa?"
"Tidak akan memberitahukan pada siapa pun kalau aku ... lihat ...." Aku menghentikan ucapan. Tatapan Om Satria yang terus tertuju ke wajahku membuatku jengah.
Om Satria akhirnya berdiri. "Kamu ingin dibelikan apa?"
"Enggak pengen apa-apa."
"Bakso mau?"
"Eng ... boleh."
"Tadi katanya tidak ingin apa-apa."
"Auk ah! Nyebelin deh!"
"Ha ha. Baiklah, saya akan belikan kamu bakso," katanya sambil melangkah menuju pintu. Mencapai ambang pintu, ia berhenti, menoleh ke arahku.
"Kalau ada orang mau jual getah karet atau sawet, bilang saja saya sedang ke dokter."
"Om sedang sakit?" Aku mengamati wajahnya. Terlihat sedikit pucat, memang.
"Saya tidak sakit. Saya mau makan di sana. Aneh sekali kamu itu." Ia menggelengkan kepala sebelum menutup pintu dari luar. Dasar orang aneh, ditanya baik-baik jawabnya semaunya. Tinggal bilang, iya sakit, apa susahnya coba.
Aku menghabiskan makanan dengan cepat. Setelah selesai, meletakkan piring di meja dan meraih remote, menonton TV. Beberapa kali aku mengganti Chanel, tidak ada yang menarik minat. Akhirnya kumatikan. Aku merogoh HP lalu membuat status FB
BT banget rasanyaa.
Aku juga membuat status WA lalu membuka-buka sss. Sesekali mengomentari status teman-teman sekelas dulu. Sebagian dari mereka pada kuliah, pasti menyenangkan sekali.
Ting!
Pesan masuk dari Putri.
Kalau bete mending ciuman aja sama yayang Satria, pasti gak bete lagi deh, Nin. Cobain deh. Ibarat makan nakso, bikin nagiiih
"Iiih!" Aku menjerit merasakan geli saat membayangkan, aku dan Om Satria ciuman. Benar-benar Putri, selalu saja membuat moodku buruk.
O-gaaaaaah. Balasku. Hiiii, balasku lagi, merasa geli sendiri.
Cobain deh, pasti kecanduan. Ya kalau gak dicoba mana tau, Niiiin. Balasnya.
Dadaku berdebar saat aku membayangkannya. Tiba-tiba aku penasaran apa ucapan Putri bisa dipercaya? Kok aku jadi penasaran, ya?
Lebih tua itu lebih menggoda, Nin. Cobain deh, dia pasti berpengalaman. Taruhan mau?
Masa siih? Aku jadi semakin penasaran saja. Dadaku Berdebar-debar. Aku menarik napas panjang lalu menyentaknya kuat mencoba membuang rasa aneh ini. Kusandarkan tubuh di sofa dengan kedua tanganku memegangi d**a.
***
Rasa hangat di pipi membuatku terlonjak kaget. Aku mendongak, melihat Om Satria berdiri di depanku membawa dua bungkus bakso.
"Apaan sih, panas tauuu, Om."
Ia meletakkan dua bungkus bakso ke meja. "Saya bangunkan dari tadi tapi kamu tidak bangun-bangun," sahutnya sambil lalu. Ia kembali lagi membawa dua mangkuk kosong juga sendok. Meraih bakso di plastik dan membukanya, menuang ke mangkuk bergambar ayam jago. Aku juga ikut membuka plastik. Kami makan dalam keheningan.
"Om sakit apa?" tanyaku setelah selesai makan. Om Satria memandangku.
"Hanya anemia."
"Padahal Om makan tiap hari."
"Saya kurang tidur, dan sedikit stres."
"Kalau stres ya, refreshing biar gak stres."
Ia hanya memandangku. Lalu katanya setelah cukup lama terdiam. "Saya antar kamu ke kamar sekarang."
"Iya."
Ia pun mendekat lalu mengangkat tubuhku. Jarak kami begitu dekat. Jantungku bertalu-talu saat tatapanku terpacak ke bibirnya. Apa benar yang dikatakan Putri? Benar-benar aku semakin penasaran saja.
Om Satria sedikit membungkukkan tubuh saat membaringkanku ke ranjang. Aku membeliak kaget dan jantungku berdentam-dentam menyesakkan d**a seperti mau copot saat tubuh Om Satria tiba-tiba menimpa tubuhku dan Om Satria segera berguling ke samping terlihat sangat lemah, lalu matanya perlahan terpejam.
"Om, Om kenapa?" Aku mengguncang tubuhnya. Om Satria baru pulang dari dokter. Jelas ia sakit. Tatapanku tertuju ke saku bajunya, lalu ke saku celananya yang mengembung. Tanganku merogoh saku mengeluarkan plastik berisi obat-obatan. Aku membacanya lalu mengeluarkan beberapa butir obat, mengambil gelas berisi sedikit air putih di meja samping ranjang lalu mendekatkannya ke bibir Om Satria.
"Om, minum dulu."
Om Satria tetap memejamkan mata. Akhirnya kubuka mulutnya lalu kudekatkan gelas ke bibirnya, yang tiba-tiba begitu menggoda. Aku meletakkan kepala Om Satria di bantal, memejamkan mata lalu dengan d**a berdebar debar dan jantung berdetak kencang tak beraturan menempelkan bibirku ke bibirnya. Rasanya itu ... lembut dan begitu mendebarkan. Ini gara-gara Putri aku jadi sinting begini. Aku membuka mata, Om Satria juga membuka mata. Kami bertemu tatap. A-duuuh, aku gimana ini akuuuu?
Deg deg deg deg
Detak jantungku keras sekali seperti mau lompat.