Jantungku lagi-lagi berdetak sangat kencang menyadari aku memeluk tubuh Om Satria erat. Terasa detak jantung Om Satria di indera pendengaranku saking dekatnya jarakku dengannya. A-duuh, aku gimana, niiih? Benar-benar grogi.
Cukup lama aku terus diam di atas tubuh Om Satria sampai akhirnya ia sedikit memeluk istrinya ini lalu menggerakkan tubuhku ke bawah, jadi posisiku kini di bawah tubuh Om Satria. Om Satria beranjak bangkit lalu membantuku menaiki kursi roda, aku menatap ke arah lain, canggung. Juga salah tingkah.
"Nin." Suara Om Satria terdengar pelan.
Aku terus menatap ke arah lain, aku malu karena tadi refleks memeluknya. Semoga Om Satria tak berpikir yang aneh-aneh.
"Nina." Panggilnya lagi.
Mau apa sih dia manggil-manggil aku terus? Seperti gak ada kerjaan. Aku menyentak napas dan akhirnya memandangnya. Rasa hangat merayapi wajahku saat Om Satria menoleh ke arahku sekilas lalu menatap burung bermuka seperti topeng yang bertengger di lengannya.
"Nina mau makan lagi?" tanya Om Satria, ia mengambil ikan wader di tanah dan mengangkatnya ke udara, si mata besar langsung mematuknya. Hap, sekali telan.
Bete juga malu, aku akhirnya memutar roda ke arah rumah. Tapi aku kesulitan saat harus ke teras karena posisi teras lebih tinggi jadi harus menanjak, aku ngeri jatuh saja atau bakal menggelinding ke bawah. Hanya membayangkannya saja sudah ngeri, pasti sakit banget kalau jatuh. Benar-benar nyebelin banget Om Satria, bisa-bisanya gak mengejarku malah sibuk dengan burungnya itu. Sudah tahu aku lumpuh gak bisa apa-apa selain mengandalkannya. Karena butuh, mau tak mau aku berteriak memanggilnya.
"Ooom!"
"Ooom!" Panggilku lagi. Sepertinya, aku harus minta padanya agar carikan perempuan yang mau mengurusku. Gak bisa jika aku harus terus bergantung padanya. Siapa yang bisa jamin ia benar-benar tak tergoda saat memakaikanku celana? Aku bergidik ngeri membayangkan yang gak enggak.
"Ooom!"
"Sebentar." Terdengar sahutan dari arah belakang. Aku mendengkus sebal, bilang sebentar tapi gak datang-datang. Sepertinya sengaja deh membuatku kesal. Ada sekitar 5 menit barulah ia menuju ke arahku. Aku pun melengos ke arah lain. Tanpa mengatakan apa pun, didorongnya kursi roda naik ke teras, terus didorong menuju ruang tamu. Ia duduk di sofa, memandangku. Aku memutar roda berniat ke kamar, tapi Om Satria menggenggam tanganku membuatku membeliak kaget.
"Aku mau ke kamar!" Kusentak tangannya kuat, tanganku kembali memutar roda tapi lagi-lagi Om Satria menggenggam tanganku. Aku menatapnya sebal.
"Ada apa sih, Om!" Ganjen banget pegang-pegang segala.
Om Satria memicingkan sebelah mata, menatapku dengan heran. "Kenapa kamu terlihat kesal sekali pada saya? Aneh sekali sikap kamu itu."
Ia lagi-lagi memicingkan sebelah matanya.
"Jangan kamu berpikir saya nakal. Kamu duluan yang peluk saya, tadi." Ia tersenyum.
Mataku mendelik. Tatapan Om Satria jatuh ke tangannya yang memegang tanganku lalu ia buru-buru melepaskannya.
"Jangan berpikir aneh-aneh pada saya. Saya tidak suka dengan anak kecil yang bahkan bodinya lurus seperti kayu. Kamu harus latihan jalan dulu baru boleh ke kamar."
"Enggak mau!"
Ia tersenyum mencemooh. "Apa kamu ingin terus di kursi roda? Untuk sembuh, kamu harus berjuang. Begini." Dia mendekat ke arahku persis di samping kursi roda, lalu tangannya mengangkat tanganku dari pangkuan dan meletakkannya ke pegangan tangan kursi roda. Lalu ia membenarkan posisi kakiku di pijakan. Perbuatannya membuat perasaanku gak keruan. Aku sampai keringat dingin dibuatnya.
"Kamu tekan ini, lalu angkat tubuh kamu pelan-pelan. Coba sekarang."
Jarak kepalaku dan kepala Om Satria begitu dekat, itu sungguh membuatku tak nyaman. Tapi walau kesal, aku tetap mengikuti instruksinya. Dengan begitu, latihan akan segera berakhir dan aku bisa kembali ke kamar.
Om Satria menggelengkan kepala saat aku mulai mengangkat tubuh, tapi kemudian aku menyandarkan tubuh karena kakiku sama sekali tak berfungsi.
"Coba lagi." Om Satria memandangku.
"Enggak bisa, Om."
"Bukan tidak bisa, kamu hanya tidak mau sedikit berusaha." Ia berdiri di depanku, masing-masing tangannya terulur ke arahku. Aku hanya menatapnya, gila. Apa dia berpikir dengan ia mencoba membantuku berdiri, lantas aku bisa jalan, begitu?
"Ayo coba." Tatapannya tertuju ke tangannya yang masih terulur ke arahku. Aku menggelengkan kepala. Kakiku sama sekali tak berfungsi, kalau aku mencoba berdiri bisa-bisa jatuh, lah. Ada-ada saja. Mungkin dikiranya aku mengada-ada.
"Apa kamu tidak ingin sembuh karena sudah merasa enak tinggal di sini?"
Aku menatapnya sinis. Asal njeplak saja mulutnya minta dilakban.
"Tenang saja, jika kamu sembuh, saya akan beri kamu toko baju saya yang di pasar Wonosari. Hitung-hitung, itu sebagai rasa bersalah saya karena telah buat kamu lumpuh. Selain itu, saya juga akan beri kamu uang yang jumlahnya lumayan. Bisa untuk kamu senang-senang atau jalan-jalan ke luar negri."
Om Satria mengatakannya dengan tatapan penuh penghinaan. Mentang-mentang ia orang kaya bisa berbuat apa saja dan bicara semaunya.
Aku terlonjak kaget saat tiba-tiba ia meraih tanganku lalu memaksaku berdiri, tapi kakiku seperti tak bertulang jadi aku langsung lunglai ke lantai. Rasa sakit di pantatku membuatku menatapnya jengkel.
"Kamu benar-benar payah." Dia bersidekap memandangiku yang terduduk di lantai, sebentar-sebentar menggelengkan kepala dengan tatapan mengejek. Saat dia akhirnya berjongkok hendak membantuku ke kursi roda, aku langsung menepis tangannya.
"Apa Om bodoh? Om bahkan tau aku lumpuh."
Aku menepis lagi tangannya yang hendak meraih tubuhku. "Pergiii!"
"Kamu jangan sok sok an tidak butuh saya. Kamu tidak bisa jalan."
"Pergiii!" Teriakku keras.
"Baiklah." Ia pun melenggang santai menuju kamarnya. Aku tak dapat menahan tangis saking kesalnya. Tega sekali ia meninggalku. Seharusnya walau aku menyuruhnya pergi, ia tetap di sini karena ia tahu kondisiku. Sudah tua tapi gak peka.
Cukup lama, Om Satria tak juga kembali. Aku di posisi duduk, ingin berteriak memanggilnya tapi malu. Tanganku menarik kursi roda lalu aku perlahan mengangkat tubuh, tapi hanya pinggangku saja yang terangkat, kakiku sama sekali tak bisa digerakkan, seperti mati.
Panggil Om Satria, enggak. Panggil, enggak. Panggil? Enggak? Memanggil Om Satria aku malu, tapi terus di sini rasanya dingin banget.
Mulutku sudah membuka hendak memanggilnya, tapi kembali menutup karena gengsi. Nanti dia kegeeran lagi kalau kupanggil. Aku memang butuh dia, tapi bukan berarti ia harus semena-mena padaku. Kedua tanganku berpangku pada dudukan kursi roda lalu aku meletakkan kepala di atasnya, perlahan memejamkan mata.
Sepertinya, aku baru saja tidur saat mendengar bunyi sandal diseret mendekat, lalu tubuhku diangkat cepat. Napas Om Satria begitu dekat dengan wajahku, hangat menerpa wajah. Aku sungguh ingin membuka mata tapi menahannya. Lebih baik pura-pura tidur saja. Aku pun terus memejamkan mata. Tubuhku diturunkan perlahan, lalu kurasakan pergerakan di dekatku. Apa jangan-jangan Om Satria berbaring di sampingku? Atau jangan-jangan, ia tengah memandangiku? Sungguh, aku penasaran ingin membuka mata, tapi terus menahannya. Pura-pura tidur sajalah. Tapi, aku ingin pipis. Ke kamar mandi tentu butuh bantuannya. Akhirnya, aku buka mata pelan-pelan, merasakan dadaku berdebar keras saat beradu tatap dengan Om Satria yang berbaring miring dengan tangan menyangga kepala, tatapannya tertuju ke kakiku.
"Ngapain Om terus di sini?! Pergi, sana!"
Ia pun beranjak duduk. "Kamu butuh sesuatu atau tidak?" tanyanya seolah tak terjadi apa-apa.
"Enggak!" Aku menyahut tanpa keraguan.
"Ingin makan atau tidak?"
"Gak!"
"Mau ke kamar mandi atau tidak?"
Aku menggigit bibir karena kebelet pipis. "Mau," sahutku akhirnya. Om Satria tertawa kecil, aku mendelik padanya.
"Apa?! Aku itu masih marah sama Om!"
"Karena saya peluk kamu? Bukan saya, tapi kamu yang peluk saya."
"Iiih, nyebelin deh!" Aku mencubit kuat perut Om Satria saat ia tertawa kecil, Om Satria meringis. Dia mengangkatku, lalu diturunkannya aku ke kloset duduk dan membantu melepas celanaku.
"Hadap sana!" Aku mendelik padanya. Enak saja lihat ke sini terus.
"Ha ha." Ia tertawa. "Baiklah." Om Satria memejamkan matanya. Ia berdiri setelah melepas celanaku lalu melemparkan handuk ke arahku.
"Sudah belum?"
"Belum."
"Sudah belum?"
"Belum, Om!"
"Lama sekali, kamu pipis apa e*k?"
Iiih, ngeselin banget. Aku akhirnya mencuci tangan lalu bilang, "Udah."
Om Satria pun menggendongku ke kamar, mendudukkanku di bibir ranjang lalu membantu memakaikan celanaku.
"Butuh bantuan lagi?" Ia masih berjongkok di hadapanku, menatap tepat ke mataku yang membuatku jadi salah tingkah.
"Tolong ambilkan aku minum. Haus."
"Baik."
Tak lama kemudian, ia kembali dengan segelas s**u besar. Diulurkannya padaku yang langsung kuterima. Om Satria duduk memperhatikanku minum. Aku semakin tak nyaman saja. Akhirnya kuberikan s**u yang masih setengah padanya agar ia cepat minggat dari sini.
"Habiskan."
"Kenyang."
"Habiskan. s**u bagus untuk tulang. Saya beli s**u ini mahal, sayang kalau dibuang." Ia mengarahkan gelas yang dipegangnya ke bibirku. Akhirnya aku meminumnya hingga tak bersisa. Aku mengalihkan pandang saat secara tak sengaja beradu tatap dengan Om Satria, tatapannya seolah menembus jantungku.
Hening. Aku sungguh tak nyaman. Kenapa sih ia tetap di sini? Aku memandangnya dan Om Satria ternyata masih memandangku seperti ada yang ingin dikatakan.