6

1447 Kata
"Kamu mau langsung saya mandikan?" tanya Om Satria sesampainya kami di rumah. Ia mendorong kursi roda yang kududuki menuju ruang tamu yang rapi. Om Satria melepas kemejanya menyisakan pakaian dalam cokelat s**u lalu melempar kemeja itu ke sofa. Aku melengos saat Om Satria memandangku. Tanganku dengan cepat menggerakkan roda menuju kamar. Aku tak akan biarkan ia semena-mena padaku. Enak saja setelah membuang HP-ku, kini ia bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Baru saja tanganku terangkat hendak memutar kunci, pintu sudah didorong hingga membuka. Aku menoleh, Om Satria berdiri persis di belakangku. Aku mengalihkan pandang darinya. Kebencianku padanya semakin bertambah-tambah saja. Dengan seenaknya buang HP orang sembarangan. Dikiranya aku gak beli, apa? Menyebalkan. Dasar orang gak punya perasaan. "Kamu mau mandi sekarang atau nanti? Sebaiknya sekarang saja karena sudah sore." Bertanya tapi dijawab sendiri, benar-benar lelaki aneh dan gila. Dengan santai ia melangkah ke belakangku, aku menepis tangannya yang hendak mendorong kursi roda. Aku mendesah kuat, menatapnya tak senang. "Gak usah sok baik, deh, mendingan!" "Memangnya kamu bisa mandi tanpa bantuan saya?" Sebelah matanya memicing, terlihat begitu merendahkan. Kuakui aku tak bisa apa-apa sekarang ini, maka memilih diam saja. Aku hanya bisa merutuk dalam hati, semua ini terjadi juga karenanya. Jika ia tak menabrakku, aku masih bisa pergi ke mana-mana. "Pergi!" ucapku jengkel. Memandangnya yang bersikap tak terjadi apa-apa sungguh membuatku muak sekaligus ingin mencakar wajahnya. Andai aku punya keberanian untuk itu. Om Satria tertawa dengan sorot penuh ejekan. Tangannya bersidekap di d**a dan dia menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu marah pada saya gara-gara HP tadi? Ha ha. Hanya karena perkara konyol kamu sampai ngambek begini. Tenang saja, saya akan ganti HP kamu dengan yang lebih bagus." Aku membuang napas. Mudah sekali dia bilang akan menggantinya, karena ia orang kaya. Akan tetapi, berbuat semaunya tanpa mempedulikan perasaan orang lain namanya egois. Aku menyentak napas kesal mencoba mengusir rasa berat di d**a. Ingin rasanya teriak memaki, tapi jelas tak ada gunanya mengingat seperti apa watak suami gilaku ini. Aku kembali menyentak napas saat kursi roda akhirnya didorong pelan menuju kamar mandi. Om Satria sedikit berjongkok lalu membantu melepas celana panjangku. Saat aku mendelik, ia langsung memejamkan mata rapat. Aku ingin menangis rasanya. Aku benci Om Satria, tapi tak berdaya. Aku tak suka Om Satria melakukan ini, namun aku tak punya pilihan. Aku melengos ke arah lain menyadari wajah Om Satria yang putih bersih dengan kumis tipis samar begitu dekat dengan wajahku. Rambutnya menguarkan wangi shampo. Tangan Om Satria kini terarah ke kancing bajuku, aku langsung menepis. Ia mengedikkan bahu dan tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Saya lupa bahwa kamu bisa pakai baju sendiri. Bilang jika sudah selesai," katanya, bersikap cuek tanpa rasa bersalah sedikitpun. Dia keluar dari kamar mandi, aku lekas membuka baju, tanpa membuang waktu segera mengguyurkan bergayung-gayung air dingin ke kepala, membuat pikiranku sedikit rileks. Kutarik handuk, lalu menarik ujung baju daster yang dicantolkan ke paku tapi tidak juga lepas, malah sobek sedikit karena ditarik paksa. Sudah tahu kakiku cacat tidak bisa berdiri, tapi meletakkan bajuku di tempat tinggi. Aku benci harus minta tolong padanya, tapi tak bisa melakukannya sendiri. Ah, sungguh menyebalkan hidup seperti ini. "Oom." "Sudah selesai?" Dia memandangku, lalu cepat-cepat berpaling. Om Satria meraih daster, diberikannya padaku dengan tatapan masih ke pintu. "Sudah?" tanyanya. "Iya." Kursi roda pun didorong keluar dari kamar mandi, terus didorong ke arah dapur. Om Satria menuju kulkas, mengambil labu siam dan jagung manis dari dalamnya. Aku memutar roda menuju kamar, dengan cepat menguncinya sebelum iblis itu ke sini. Benar seperti dugaan, pintu kamarku diketuk-ketuk 30 menit kemudian. Tok tok "Kamu makan dulu saya sudah masak." Aku tak menyahut. Tok tok "Atau kamu ingin pintu ini saya dobrak?" Sungguh ancaman yang membuat orang langsung berpikir dua kali untuk terus ngambek. Jika didobrak, ia bisa masuk kapan saja. Aku akhirnya membuka pintu, lalu tanganku menggerakkan roda menuju ruang makan. Om Satria duduk di kursi hadapanku, bertopang dagu memandangiku. Rambutnya basah, ia mengenakan kaus putih sedikit ketat yang membuat tubuhnya bisa diraba jelas. Tampaknya ia memang merawat diri, tubuhnya bagus, wajahnya juga terawat. "Apa?!" Aku mendesah karena ia terus memandangku. Mau makan diperhatikan terus, bagaimana bisa nelan coba? Aneh sekali. Om Satria menggeleng, ia meraih piring dan mengisi nasi juga sayur, ditambahkannya ayam goreng lalu ia mulai menyuap. Aku mengambil makananku lalu mulai menyuap juga. Om Satria selesai makan lebih dulu, ia tidak pergi melainkan terus memandangiku. Tidak ada kerjaan saja! Aku menghela napas, sungguh aku tak nyaman. "Kalau Om udah selesai, pergi aja. Aku bisa ke kamar sendiri." "Kamu cepat selesaikan. Setelah makan, kamu minum obat lalu latihan jalan." Ia membuka strip obat di atas meja. Ia buka obat lainnya dan mengulurkannya padaku. "Aku bisa sendiri! Om gak usah sok baik padaku!" "Hanya karena soal HP?" Ia memicingkan mata tak percaya. Ia mengulurkan beberapa butir obat di telapak tangannya. Aku meraihnya dengan jengkel, mengambil gelas kemudian meminumnya cepat sampai tersedak-sedak membuat pening kepala. Om Satria tertawa kecil. Masih sambil tertawa, ia melangkah ke belakangku, mendorong kursi roda ke halaman samping ada sebuah kolam besar dari semen berisi getah karet membentuk batok kelapa. Baunya sangat memuakkan seperti keong busuk, membuatku memilih menutup mulut karena mual. Om Satria terus mendorongku menuju halaman belakang yang ditumbuhi rumpun bambu yang bergerak ke sana kemari tertiup angin, menciptakan bunyi lembut enak didengar telinga. Angin berembus sepoi-sepoi, burung-burung bercericit di dahan pohon mangga mencipta syahdu suasana. Andai yang bersamaku adalah Zaki tercinta bukannya iblis menyebalkan. "Kamu belajar berdiri. Angkat pelan-pelan tubuh kamu. Tangan kamu yang kuat pegangan agar tidak jatuh. Ayo, coba?" Aku mencobanya, menekankan tangan pada pegangan tangan di kursi roda dan mencoba berdiri, tapi kakiku seperti mati. Om Satria yang mulanya berjongkok tak jauh dari kursi roda, kini berjalan mendekati kolam kecil dengan tanaman enceng gondok mengambang di atasnya. Batang tanaman itu mengembung hampir menutupi kolam. Om Satria mengambil serok lalu menggerakkannya ke dalam kolam. Ikan langsung melompat-lompat diserok saat benda itu diangkat ke udara. Om Satria meraih beberapa ikan warna silver dengan sisik berkilau lalu mengenakan sarung tangan karet mirip sepatu bot. Aku menyentak napas saat Om Satria mengangkat ikan yang dipegangnya dengan jari telunjuk dan ibu jari itu ke udara sebatas kepalaku yang sedang duduk, lalu ia berseru, "Ni-naa, lihat ini! Niin, waktunya kamu makan camilan." "Om kira aku burung, apa?!" Aku benar-benar jengkel dibuatnya. "Saya tidak sedang bicara sama kamu." Om Satria tersenyum mencemooh. Ia menggerak-gerakkan ikan yang ia pegang ke udara. "Nina, lihat si-ni! Nin! Niin! Ni-naa!" Mataku membeliak saat mengikuti tatapan Om Satria yang tertuju pada rating besar di mana seekor unggas menatap waspada ke sini. Om Satria memandangku. "Tenanglah, dia tidak jahat. Nina, sini. Nin, Ni-naa." Om Satria melangkah lebih dekat ke unggas itu. Burung itu mengepak dan hinggap di lengan Om Satria, lalu paruhnya yang tajam runcing melekuk ke bawah mematuk ikan yang langsung dia makan sekali telan. Hap! Langsung masuk ke mulutnya. Om Satria berjalan ke arahku dengan unggas berwajah membentuk simbol cinta yang nangkring di lengannya. Wajah burung itu putih bersih seperti memakai topeng. Terlihat bagus tapi mengerikan. Hiii "Dia yang Om maksud adalah Nina?" Aku seolah sedang menyebut namaku sendiri. Huh! Kebangetan. Dia memberi hewan itu namaku. Om Satria mengangguk. "Iya, dia Nina." Telapak tangan Om Satria mengusap kepala Nina. Tatapan burung bermata jernih itu tertuju ke arahku. Aku menyentak napas dengan jengkel. "Bisa-bisanya memberi nama burung dengan menggunakan namaku. Aku gak ikhlas, Om!" Om Satria tergelak. "Ha ha. Bukan saya yang beri dia nama Nina. Tapi Zaki. Silakan mengadu padanya." Aku menggeleng tak percaya. "Mana mungkin!" Aku mendesah kuat. Om Satria meraih HP di saku celananya, tak lama kemudian terdengar suara Zaki. "Tumben ayah menelepon. Apa Nina baik-baik aja, Yah? HP-nya tidak aktif." "HP-nya rusak. Ki, Nina tidak terima saat tahu burungnya ayah, namanya Nina. Kamu mau bicara dan menjelaskan padanya?" Lalu Om Satria menghadapkan HP-nya yang menampilkan wajah Zaki ke wajahku. Zaki tersenyum kecil. "Aku yang kasih nama Nina. Dia lucu seperti kamu, jadi kuberi saja nama Nina." Aku mendelik padanya, Zaki tertawa kecil. Om Satria menjauhkan HP dari wajahku dan meletakkan burung hantu di pegangan tangan kursi roda, membuatku refleks mengerakkan tubuh agak jauh dari burung yang tengah memandangku dengan matanya yang besar lagi tajam. Aku membeliak kaget dan dadaku berdebar saat tubuhku meluncur ke bawah, Om Satria membungkuk lalu merentangkan tangannya, kepalaku pun mendarat di dadanya. Jantungku berdetak sangat kencang menyadari kami begitu dekat dengan tubuhku menimpa tubuh Om Satria. "Ooom!" Aku berseru panik dan refleks memeluknya menyembunyikan wajahku ke dadanya saat melihat burung hantu berdiri di samping tubuh Om Satria merebah, kepala burung hantu bergerak ke kiri dan kanan, mengerikan. Menakutkan. Benar-benar lelaki tidak beres yang memelihara burung mengerikan itu. Jantungku lagi-lagi bergerak sangat kencang menyadari aku memeluk tubuh Om Satria erat. Terasa detak jantung Om Satria di indera pendengaranku saking dekatnya jarakku padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN