5

1400 Kata
Om Satria kembali lagi dengan satu tangan membawa dres polos hijau daun, satunya lagi manset dan celana panjang cokelat s**u. Aku mendorongnya saat ia mendekat lalu mengangkat dres yang kukenakan. "Aku bisa pakai dresnya sendiri. Hadap sana!" Langsung dijatuhkannya dres ke pangkuanku dan membelakangiku. Dengan tergesa aku mengenakan manset juga dres, tapi seperti tadi, aku gak bisa pakai celana sendiri karena kaki tak bisa diangkat. Aku menghela napas menyadari kelemahanku, aku begitu sedih sampai ingin menangis rasanya. Om Satria membalikkan badan ke arahku, sedikit membungkuk lalu mulai melepas celana panjangku dalam diam. "Jangan liat dong! Tutup matanya!" Aku menyentak napas, benar-benar jengkel dibuatnya. "Mana bisa saya pakaikan kamu celana tanpa melihat? Aneh sekali kamu ini." Aku mendesah sebal. Om Satria selesai memakaikan aku celana, kini ia kembali mengamatiku dari atas ke bawah. "Jangan bilang gak cocok lagi!" Aku udah parno duluan. Dia hanya diam, tanpa rasa bersalah sedikitpun dipungutnya bajuku di lantai, meletakkan ke pangkuanku kemudian mendorong kursi roda ke kasir, meletakkan dres yang tadi kucoba di meja kasir. "Saya beli semua. Tolong carikan sandal yang bagus untuknya, sama jilbab sekalian." Om Satria memperhatikanku, aku melengos ke arah lain. Ia mendekat ke arah manekin mengenakan setelan pria dan meminta pada si mbak untuk mengambilkannya. Setelah diambilkan, lelaki menyebalkan itu menuju kamar ganti. "Coba yang ini ya? Apa mbak suka?" Seorang perempuan lain mengambilkanku sandal dihiasi pita-pita kecil dipinggiranya, aku langsung mengangguk. Ia pun segera mengambilkan jilbab yang kutuding. Tak lama kemudian, pintu kamar ganti terbuka, Om Satria keluar mengenakan kemeja biru langit dan celana hitam yang membuat kulit putihnya jadi semakin cerah saja. Pakaian yang pas di tubuhnya itu membuatnya tampak berwibawa. Om Satria mengeryit mendapati aku terus memandanginya. Aku langsung menoleh ke arah lain. Terasa kursi roda di dorong ke arah kasir, Om Satria membayar lalu mendorongku keluar. Ia membantuku naik ke mobil dan meletakkan kursi roda yang telah dilipat ke bagasi. Aku memandang ke luar jendela saat ia duduk di belakang kemudi, mobilpun bergerak perlahan. "Di sana nanti jangan makan seperti orang yang sudah berbulan-bulan tidak makan. Ambil sedikit saja, atau tidak usah ambil sekalian. Karena di sana saya tidak akan makan, hanya menemui teman saya lalu pulang." Aku memandangnya dengan jengkel. Tinggal memberitahu saja agar aku gak makan apa susahnya, sih? Pakai bilang jangan seperti orang gak makan berbulan-bulan. Ya Allah, segera beri aku kesembuhan agar bisa pergi jauh-jauh dari ayah pacarku ini. Mobil berhenti di sebuah halaman luas rumah bertingkat satu. Mobil-mobil tampak mewah berjajar, ada juga kendaraan roda dua yang diparkir rapi di sudut lain. Om Satria mebantuku ke kursi roda lalu mendorongnya menuju halaman samping yang penuh dengan kelopak-kelopak bunga bertebaran menuju halaman belakang yang dipasangi tenda dengan atap dari dedaunan dan bunga-bunga segar tengah bermekaran, tampak romantis sekali. Seorang lelaki berumur sekitar 20 tahunan mengangkat tangan ke udara, tersenyum pada Om Satria dan berjalan mendekat. Ia menuding ke arah pelaminan di mana pengantin duduk diapit seorang lelaki seumuran Om Satria dan perempuan berumur 40 tahunan yang bisa jadi itu adalah orang tua si mempelai. "Ayah dari tadi nanyain Om." "Menyangka saya tidak datang?" Om Satria tersenyum lebar. Si cowok mengangguk. "Om kan biasanya tidak suka kondangan." Dia menatap Om Satria lalu tatapannya mendarat di wajahku. "Dia siapa?" "Anak saya." Mata si cowok menyipit, ia tampak mengingat-ingat. "Kukira, hanya Zaki anak Om." "Anak angkat saya." Lalu, Om Satria mendorong kursi roda. "Saya tidak mungkin gendong kamu ke sana." Ia menatap ke arah pelaminan panggung dari kayu setinggi lutut. Om Satria lalu menuding meja prasmanan. "Kalau mau makan, makan kue saja karena saya tidak akan lama." Belum sempat aku menyahut, ia sudah berjalan menuju pelaminan, melangkah perlahan menyalami kedua mempelai. Ia menjabat tangan lelaki seusianya sekitar 40 an lalu On Satria menudingku, temannya pun menatap ke arahku dan mengangguk-angguk. Entah apa yang dibicarakan Om Satria pada temannya. Daripada aku seperti orang hilang terus di depan pelaminan, aku akhirnya menuju prasmanan. Seorang perempuan berhijab memberikan piring padaku. Aku yang niatnya hanya ingin mengambil kue akhirnya mengambil nasi sedikit. Lalu menambahkannya dengan gulai dan urap, tak lupa juga sambal usus. Masa bodoh dengan pesan Om Satria tadi. Kuletakkan nasi ke pangkuan lalu tanganku menggerakkan roda ke pinggir agar tak menghalangi tamu yang hendak mengambil nasi. Aku baru akan menyuap saat Om Satria mendekat dengan tatapan tak senang. Aku bersikap masa bodoh, menyuap nasi seolah tak ada dia. "Sat, masih hidup?" Seorang lelaki bertubuh tambun mendekat. Dia menepuk-nepuk bahu Om Satria. "Lama tidak bertemu." Om Satria menjabat tangan lelaki tambun yang terulur padanya. Om Satria terlihat tak nyaman. "Sampai kukira kamu sudah dead, Sat. Tidak pernah mancing lagi sekarang." "Sedang malas. Cepat habiskan, lalu kita pulang. Kita harus kontrol ke dokter." Om Satria memandangku saat dua orang lelaki sebayanya berjalan mendekat. "Dokter bilang kamu tidak boleh makan yang mengandung banyak kolesterol. Sudah makannya." Om Satria meraih piring dari pangkuanku. Ngasal banget, padahal dokter gak mengatakan aku gak boleh makan ini gak boleh makan itu. Om Satria menatap teman-temanya. "Saya pergi dulu, harus temani dia kontrol ke dokter." "Dia siapa?" tanya si lelaki tambun sambil memandangiku. "Anak." Om Satria menyahut singkat. Lelaki tambun di hadapannya mengernyit. "Setahuku kamu tidak punya anak perempuan." "Selama ini dia tinggal dengan ibunya. Saya pergi dulu." Lalu Om Satria mendorong kursi roda menuju mobil. Aku hanya diam saat ia membantuku masuk. "Kenapa Om bohong sama temen-temen Om? Aku bukan anak Om." Ia tersenyum mengejek. "Lalu, kamu ingin saya bilang bahwa kamu adalah istri saya? Itu sangat memalukan." Aku menggigit bibir merasakan sakit di dadaku karena ucapannya. Seolah aku sampah saja. Yang mengajakku menikah kan dia bukannya aku. Om Satria memandangku sekilas. "Jangan baperan. Saya tidak suka anak-anak. Tentu sangat memalukan jika teman-teman saya tahu bahwa saya menikah dengan anak-anak." Kalau ada cabai di sini, pasti sudah kusumpalkan ke mulutnya yang bahkan lebih pedas daripada cabai. "Siapa juga yang baper, geer banget, seolah aku bakal suka sama Om om. Iiih, malas amat, nanti aku ditinggal mati duluan!" Tatapannya menajam. Aku bersikap masa bodoh. "Sayang banget kondangan tapi gak makan apa-apa. Padahal makanannya enak-enak." Aku mengalihkan pembicaraan. Om Satria melirikku. "Sepertinya, temen Om baik-baik." "Kamu tidak tahu apa-apa," sahutnya datar. Aku memandangnya heran. Bagaimana aku mau tahu kalau ia tak bercerita apa-apa? Hening. Aku sesekali menghela napas. Tak nyaman rasanya dekat-dekat dengan ayah pacarku ini. Bunyi dering HP lamnsung membuatku merogoh saku celana. Zaki menelepon. Om Satria melirikku. "Matikan," katanya. Walau kini aku tahu bahwa aku dan Zaki tak mungkin bisa bersama, tapi aku tetap rindu padanya, tetap mencintainya seperti dulu. Rasa ini belum berubah sama sekali. Jari telunjukku terangkat hendak menyentuh tombol hijau, tapi tiba-tiba tangan Om Satria bergerak ke arah tanganku. Aku langsung mempererat genggaman pada benda di tanganku. Roda roda mobil berdecit keras saat Om Satria mengerem mendadak. Tangannya lagi-lagi terulur ke arahku. "Berikan HP iitu padaku." Aku menggeleng. "Nggak, ini HP-ku." "Kamu tidak boleh berhubungan dengan Zaki lagi mulai sekarang. Saya tidak mau dengan kalian terus berhubungan, itu akan membuat Zaki sulit melupakan kamu." Om Satria melepas sabuk pengamannya lalu bergerak ke arahku hendak mengambil HP. "Aku gak akan hubungi Zaki lagi, Om gak usah khawatir." "Saya tidak akan khawatir setelah pegang HP kamu. Berikan." Aku menggeleng kuat. "Enggak!" Tegasku, menggenggamnya erat saat tangan Om Satria menarik lenganku hendak merebut HP dalam genggaman. "Berikan!" "Enggak! Om apa-apaan, sih! Ngotot banget!" Aku memeluk HP ke d**a. Om Satria memelukku dari belakang lalu merebut HP-ku. Setelah dapat, ia langsung memblokir nomer Zaki lalu melempar HPku kuat keluar jendela. HP terlempar masuk ke dalam siring berair keruh. Aku membeliak tak percaya. "Om apa-apaan! Ambilin HP-ku!" "Saya akan ganti." Om Satria masih dalam posisi memelukku, aku mendorongnya kuat lalu memukuli dadanya. Ia diam saja mulanya, tapi tiba-tiba tangannya terangkat dan memegang kedua tanganku. "Lepasin! Om gak gak bisa semena-mena sama aku! HP-ku itu penting ada nomer teman-teman aku!" Dia melepas tanganku lalu kembali mengemudi, menatap lurus ke depan seolah tak terjadi apa-apa. Kedua tanganku terangkat ke wajah dan sesaat kemudian aku sudah terisak-isak. "Allah, dosa apa aku hingga harus berurusan dengan iblis?" ucapku sengaja keras-keras. Om Satria terkekeh pelan. "Tidak ada iblis yang menampakkan diri pada siang hari." Aku mengusap air mata, mengalihkan pandang ke luar jendela. Kalau aku tidak butuh uangnya untuk biaya berobat agar bisa seperti sedia kala, aku pasti lebih memilih tinggal bersama ibu daripada dengannya yang penuh muslihat dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sungguh aku benci sekali padanya, sangat benci. Lihat saja Om, aku akan membalas perbuatanmu suatu hari nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN