Suara Meresahkan di Kamar Tamu
Bab 9 : Hancur
Cukup lama aku terdiam, meratapi kepahitan ini. Tak kusangka, semua akan jadi begini.
"Aaggghhh!!!" teriakku kesal dengan napas yang memburu, menahan air mata agar tak kembali berjatuhan.
Aku seorang lelaki, tak pantas air mata ini keluar hanya untuk w************n itu. Setan!!!
Rumah tangga harmonis yang selalu kubanggakan akan segera hancur sebentar lagi. Istri yang baik juga setia, itu hanya bulshit! Dia hanya w***********g, p*****r!!!
Aku kembali terdiam, memikirkan apa yang akan kulakukan nanti.
Oke Syilvina, akan kukabulkan keinginanmu. Tunggu saja!
Kulirik jam di pergelangan tangan yang sudah menunjuk ke arah 17.30. Aku beranjak lalu melangkah menuju mobil.
Kukeluarkan ponsel lalu mengetik pesan untuk Riko, hantu penunggu kamar tamu yang sudah mengganggu ketenangan anak-anakku itu juga memperok-porandakan biduk rumah tangga yang telah sekian tahun kubina.
[Riko, pukul 19.30 kamu harus sudah berada di rumah!] Langsung kukirimkan pesan itu.
Dua menit kemudian, Riko langsung mengirim balasan.
[Duh, Bang, ini malam minggu juga, Riko bakalan pulang pukul 22.00 gitu.]
Aku melengos dan kembali mengetik balasan.
[Ada hal penting. Acara malam mingguannya dipending saja dulu! Ingat, pukul 19.30 kamu harus sudah berada di rumah.]
[Oke, Bang.]
Aku tersenyum sinis dan mulai memacu mobil menuju suatu tempat yang harus kudatangi.
Tepat pukul 20.00, mobilku telah tiba di depan rumah. Di depan garasi juga sudah terparkir motor ninja hitam milik adikku, Riko.
"Ayo, Pak, turun!" ujarku kepada tiga orang pria yang kubawa.
Ketiganya langsung turun dan mengikuti langkahku menuju pintu rumah.
Kuketuk pintu rumah sambil membunyikan bel juga. Taklama kemudian, pintu sudah terbuka dan ternyata Riko yang membukakan pintu.
"Assalammualaikum," ucap salah satu dari tamu berkopiah yang kubawa.
"Waalaikumsalam," jawab Riko dan mempersilakan tiga tamuku itu untuk duduk di ruang tamu.
Aku melangkah masuk ke dalam, menuju kamar Arsha dan mendapati Syilvina sedang mengeloni Arshi. Melihat kedatanganku, dia langsung bangkit dari tempat tidur dan menghampiriku.
"Sha, kunci pintu dan jangan keluar dari kamar!" ujarku dengan nada tegas kepada putri pertamaku itu.
"Iya, Pa," jawab Arsha sambil mengikutiku ke depan pintu.
Aku berpindah ke kamar Arka dan mengatakan kalimat yang sama pula.
Syilvina mengikutiku ke kamar, wajahnya terlihat bingung.
"Syil, cepat ganti pakaian gamis yang ada kerudungnya!" perintahku.
"Ada apa sih, Bang?" tanyanya makin bingung dan masih berdiri di tempat semula tanpa menghiraukan perintahku.
Aku melangkah menuju lemari dan membongkar isinya dengan geram dan mencarikan pakaian untuk Syilvina.
"Bang, kamu kenapa?" Dia menghampiriku.
"Cepat pakai baju ini!" Kulempar baju itu ke wajahnya.
"Bang, kamu kesurupan, apa?" teriaknya dengan wajah kesal.
"Cepat pakai baju itu dan berdandanlah! Setelah itu temui aku di ruang tamu. Kamu hanya kuberi waktu sepuluh menit, cepat, ya!" Kuacungkan jari telunjuk lalu membalik badan dan keluar dari kamar.
Aku melangkah ke ruang tengah dan mendapati Riko sedang menonton televisi.
"Rik, cepat ganti pakaian muslim! Baju koko dan celana panjang, pakain kopiah juga!" perintahku.
"Ada apa, Bang?" tanya lelaki yang kini baru berusia 20 tahun itu.
"Turuti saja perintah Abang, cepat ya! Setelah itu temui Abang di ruang tamu!" perintahku dengan wajah datar.
Tanpa menunggu jawaban dari mulut adikku itu, aku langsung melangkah menuju ruang tamu.
*****
Beberapa saat kemudian.
Syilvina dan Riko datang bersamaan ke ruang tamu. Tiga tamuku itu langsung tersenyum lega.
"Akhirnya kedua calon pengantin tiba juga," celetuk tamuku yang berbaju batik biru, kopiah abu-abu.
Sontak, Syilvina dan Riko langsung melotot dan saling pandang.
"Silakan duduk! Kita mulai ijab kabulnya sekarang saja soalnya sekarang sudah hampir pukul 21.00." Kini tamuku yang berjas hitam dengan syal putih juga syorban putih yang angkat bicara.
"Apa-apaan ini, Bang?" Bola mata Syilvina melotot hampir mau keluar dari tempatnya.
"Syilvina Dewi binti Abdul Qumar, aku talak kamu saat ini juga!" ujarku lantang.
"Bang!" pekik Syilvina sambil mendekat ke arahku, air matanya bagai air terjun yang dengan cepat langsung membanjiri wajah putih bersihnya.
"Jangan mendekat Syil, kamu bukan istriku lagi!" ujarku.
"Abang kenapa? Ada apa ini sebenarnya?!" Riko juga mendekat ke arahku, ekspresi wajahnya sama dengan Syilvina, sama-sama bingung.
"Aku sudah tahu permainan kalian selama ini, jangan pura-pura b**o!!!" bentakku sambil mengeluarkan ponsel dan menunjukkan video m***m itu kepada dua pelakunya.
"Nikahkan mereka, Pak Penghulu!" ujarku sambil mengakhiri video itu dan menyimpan ponsel ke saku celana.
"Bang, ampuni Riko, Bang!" Riko langsung luruh ke lantai sambil memeluk lututku.
"Bang, jangan lakukan ini!" Syilvina juga berlutut di kaki ini.
"Maafkan Riko, Bang, Riko memang salah tapi jangan nikahkan kami!" Riko terlihat menangis di kakiku.
"Bang, maafkan aku, Bang! Aku khilaf .... " Dia w***********g itu ikut menangis juga.
"Bangun kalian! Jangan sentuh aku!" Aku mundur ke belakang dan menghindar dari sentuhan kedua manusia terkutuk itu.
"Bang!" Syilvina menatapku dengan wajah yang sembab, ia mencoba merayu dengan air mata tapi hati ini sudah terlanjur terluka dan tak akan pernah bisa memaafkan kesalahan fatal ini.
"Duduklah di depan Penghulu! Kalian akan kunikahkan malam ini juga," kataku lirih sambil memalingkan wajah.
"Tidak, Bang, jangan lakukan ini!" Riko bangkit dan menghampiriku, sepertinya dia ingin bernegosiasi.
Kuarahkan tangan kepadanya dengan isyarat jangan membantah lagi dan menurut aja.
"Duduk ke sana kubilang!" perintahku dengan nada tinggi, melihat kedua anak manusia tak tahu malu itu hanya saling lirik. Tangan ini mengepal, berusaha agar tak memukul keduanya.
Bersambung ....