Tak mendapatkan kabar dari Amanda membuat Damian uring-uringan. Lelaki itu terus berusaha menghubungi ponselnya tapi belum menemukan hasil.
"Dimana dia?" ucapnya putus asa.
Sementara di dapur saat ini, Bu Restanti telah selesai dengan masakannya. Wanita itu sangat bersemangat ketika Damian mengabarkan Amanda akan datang untuk mencicipi masakannya.
"Dam, apa kau sudah mengabari Amanda. Semuanya sudah hampir selesai," ucapnya lalu menata makanan di atas meja.
Damian merasa bersalah, takut ibundanya akan kecewa.
"Sudah, Bu. Ini aku lagi telepon. Sepertinya ponsel Amanda lobet karena nggak aktif dari tadi."
Pak Grandi yang telah berada di meja makan menatap mereka bergantian.
Mereka sadar, kedatangan Amanda adalah hal yang mustahil. Soya tidak mungkin mengizinkannya untuk datang berkunjung.
"Jangan berharap banyak, Amanda datang kita syukuri. Tapi, jika tidak datang mau gimana lagi."
"Tapi, Yah. Ibu udah siapin sup ini khusus untuk calon cucu kita."
Tak enak dengan situasinya, Damian memilih meninggalkan meja makan dan keluar di teras.
Undangan pesta datang kepadanya, tidak sedikit teman kantor mengajaknya hang out tapi Damian menolak. Dia masih berharap akan ada keajaiban.
"Dam, makanlah. Sudah larut, mungkin Amanda nggak bisa datang," ucap Pak Grandi membujuk putranya.
Damian merasa tak berselera. Tapi, juga tak ingin membuat ibunya semakin merasa kecewa.
"Sebentar lagi, Yah. Aku ingin menunggu sebentar lagi."
Grandi tak ingin mengusiknya, dia pun kembali ke meja makan. Hingga waktu berlalu tanpa terasa, nomor ponsel Amanda masih tak aktif membuat Damian menyerah. Suara kembang api mulai terdengar nyaring. Pergantian tahun telah tiba, warna warni langit terlihat meriah.
Boom.
Boom, boom, boom.
Baik Restanti maupun Grandi pun ikut keluar menikmati meriahnya sambutan pergantian tahun itu.
"Selamat baru, Dam. Semoga tahun ini semua yang kau inginkan tercapai. Bayi kalian lahir dengan selamat."
"Aamin, terimahkasih, Bu."
"Sama-sama, Nak."
Perumahan itu menjadi sangat meriah, semua orang fokus pada pemandangan di atas langit, bagaimana kembang api seolah bergejolak dengan indah.
"Dam," suara yang lembut memanggilnya.
Damian dan kedua orangtuanya menatap ke arah depan, tampak Amanda telah berdiri di sana sendirian.
"Nak Amanda, ibu telah menunggumu sedari tadi." Restanti sangat bahagia, dia segera mendekati dan menggandeng Amanda memasuki rumah.
Damian masih terpaku melihat kedatangannya. Bagaimana tidak, tepat jam 12 malam. Bagaimana bisa Amanda tiba-tiba saja muncul.
"Supnya sudah ibu siapkan khusus untukmu, ayahmu dan Damian tidak boleh mendapatkannya jika kau belum berada di rumah."
Amanda sangat bahagia mendengarnya, perhatian yang di tunjukkan Bu Restanti tidak berubah, masih sama seperti dulu.
Damian mengikuti mereka masuk ke dalam. Grandi pun tampak terkejut melihat kehadirannya.
"Nak, kau kesini menggunakan kendaraan apa?" tanya ayah Damian itu.
Restanti langsung melirik kearahnya dengan tegas.
"Apa pentingnya itu, sudahlah. Jangan banyak bertanya. Biarkan nak Amanda menikmati supnya berlebih dahulu."
Mata bertemu dengan mata. Damian tak dapat mengalihkan pandangannya pada wanita yang duduk di sampingnya.
Restanti meletakkan semangkuk sup di hadapannya. Dari aromanya saja, Amanda sudah sangat berselera.
"Sepertinya enak, Bu," ucapnya meraih sendok lalu mencicipi kuahnya.
"Tentu, semua ini milikmu. Makanlah."
Amanda menikmati makanannya perlahan, satu persatu daging atau isi sup itu tandas begitu saja.
"Emm, ini sangat enak." Selesai dengan supnya, Manda pun sedikit bersendawa. Hal itu membuat ibu dan ayah Damian tertawa melihat tingkahnya.
"Sepertinya cucu kita jagoan, Bu. Lihat saja, dia sangat menyukai kepala ikan."
Amanda terpaku lalu menatap mantan suaminya.
"Apa Damian tidak cerita? Kemarin kami pergi control bersama dan telah mengetahui jenis kelaminnya."
Kedua orangtua Damian terpaku di tempatnya.
"Control, lalu bagaimana hasilnya?" Ibunda Damian tampak antusias.
"Bayi kami perempuan, Bu. Ibu dan ayah akan memiliki cucu anak perempuan yang cantik."
Pak Grandi dan Bu Restanti tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya.
"Benarkah? Dia pasti akan sangat cantik seperti ibunya. Kita harus lebih extra lagi untuk menjaganya."
Amanda tak kuasa menyimpan semua kebahagiaan itu sendiri. Di keluarkannya foto usg yang ada di dompetnya.
"Ini, ibu boleh menyimpannya."
Restanti menggapai dengan hati-hati. Airmatanya luruh karena terharu.
"Tuhan, ini beneran cucu ibu. Ya Allah,"
Damian menggapai tangan Amanda di bawah meja saat wanita itu akan bicara lagi. Spontan saja, Amanda terpaku di tempatnya.
"Dam, kenapa kau tidak mengatakan apa-apa?"
Lelaki itu tersenyum santai, satu tangannya menggenggam tangan Amanda di bawa sana dan satu lagi menggapai tangan ibunya di atas meja.
"Aku ingin hal ini menjadi kejutan dan di sampaikan langsung oleh Amanda."
Bu Restanti terus menatap foto itu, lalu menatap suaminya. Hal yang tak pernah mereka rasakan tetapi sangat senang atas kebahagiaan putra angkatnya.
Setelah makan malam, semua orang pindah ke ruang tengah. Waktu tak terasa berlalu terlalu cepat, kini tepat jam 2 subuh.
"Bu, sepertinya aku harus kembali. Sudah sangat larut sekarang."
Kedua orangtua Damian tidak mengizinkan wanita itu pergi.
"Bermalamlah, ini masih rumahmu. Jangan pulang dulu,"
"Mama akan mencariku, aku takut dia akan marah nantinya."
"Tapi, Nak."
Amanda tertunduk cemberut.
"Baiklah, biarkan Damian menemanimu. Bahaya berkeliaran sendirian di jam segini."
Amanda tidak menentang keinginan Pak Grandi.
"Bagaimana, Dam?" tanya lelaki itu.
"Baik, Yah. Aku akan mengantarkannya."
Amanda langsung berpamitan dan memeluk bu Restanti erat.
"Terimakasih untuk setiap makanan yang ibu buatkan, perutku tak pernah menolak jika masakan ibu. Anehnya aku tidak pernah mual."
Bu Restanti sangat bahagia mendengar itu.
"Ibu akan selalu mengirimkan makanan untukmu, kau bisa meminta apa saja. Pasti akan langsung ibu buatkan."
Amanda memeluknya semakin erat.
"Terimakasih, Bu. Terimakasih, Yah. Amanda pulang dulu."
"Iya, Nak. Hati-hati."
Damian membukakan pintu mobil, untuk Amanda dan membantunya masuk dengan hati-hati. Kehamilan wanita itu semakin jelas dengan perut yang kini makin membuncit.
Setelah memakaikannya seat belt. Keduanya saling berpandangan. Damian segera menutup pintunya dan menuju ke kursi pengemudi.
"Dam, pelan-pelan saja. Jangan ngebut," ucap sang ayah.
Damian mengangguk paham lalu menyalakan mesin, perlahan mobil bergerak meninggalkan kediamannya. Bu Restanti dan Pak Grandi tampak melambaikan tangan di belakang sana.
Mereka saling diam satu sama lain, sesekali Damian melirik ke arahnya lalu fokus menyetir.
"Dimana ponselmu?" tanya Damian akhirnya memecah kesunyian.
"Ponsel, sepertinya aku tidak membawanya."
Damian menepikan mobilnya saat mereka telah berada di jalan raya.
"Kok berhenti, Dam? Rumahku kan masih jauh."
"Aku menghubungimu seharian, nomormu tidak aktif dan aku sangat mencemaskanmu. Apa kau sengaja melakukan semua ini?"
Amanda menggeleng kaku.
"Daniel dan mamanya ke rumah, itu sebabnya aku tidak bisa kemana-mana. Aku langsung kesini saat mereka pulang karena keadaan genting. Entah ada apa. Akupun tak tahu. Aku kabur dari rumah karena ingin bertemu denganmu."
Damian kehilangan kata-kata.
"Apa kau marah? Aku tak berkutik di hadapan mama. Semoga kau mau mengerti akan itu."
Damian meraihnya, lalu memeluknya erat.