Hubungan Damian dan Amanda kembali dekat, malam itu. Damian mengantarkan Amanda hingga ke depan gerbang. Waktu menunjukkan jam 03:00 Pagi dan Amanda tak berani beranjak dari mobil.
"Sudah sampai," ucap Damian dan mematikan mesin mobil.
Amanda mengawasi rumahnya dengan teliti.
"Aku akan meminta Mamang untuk membuka gerbangnya."
"Tidak perlu, sekarang kami tidak memakai jasa pekerja lagi. Semuanya di kerjakan sendiri termasuk membuka pintu pagar."
Damian terhenyak di tempatnya.
"Kami tak mampu membayar gaji mereka dan fokus dengan hutang yang harus segera dilunasi. Mama menyimpan kuncinya. Aku jadi ragu untuk keluar sekarang."
Damian mengerti dan memilih untuk bersandar di kursinya.
"Kalau begitu, sebaiknya kita menunggu pagi di sini saja. Mama akan marah jika tahu kau berhasil keluar tanpa pamit."
"Lalu, bagaimana denganmu Damian? Ibu dan ayah pasti kini menunggumu."
Damian mengeluarkan ponselnya dan meminta izin lewat pesan. Disana dia menuliskan jika tidak langsung pulang.
"Beres, aku sudah mengabari mereka." Wajah Amanda tampak terkejut.
"Semudah itu? Memangnya apa yang telah kau katakan?"
Damian tersenyum tipis lalu menyimpan ponselnya di saku.
"Mau tahu aja. Oh ya, tadi kamu bilang Daniel tidak jadi menunggu pergantian tahun di rumah kamu. Dan pergi dengan terburu-buru. Kira-kira karena apa? Apa kau tahu alasannya?"
Amanda mengedikkan bahu, dia tak tahu pasti penyebabnya.
"Sepertinya, ini masalah pekerjaan. Wajahnya berubah tegang dan segera pergi. Tante Alana sampai kewalahan mengejarnya."
Damian sangat penasaran, sayangnya dia tak dapat mengorek informasi lebih dari Amanda.
"Dam, apa yang kita lakukan disini? Apa benar kau akan menunggu pagi denganku? Padahal kau bisa kembali ke rumah dan tidur di tempat yang nyaman, jika kau mau," ucap Amanda tenang.
Sebaliknya, Damian merasa terusik mendengar itu.
"Senyaman apapun tempatnya, tidurku tak pernah nyenyak lagi, Manda. Tolong jangan bahas itu."
Hening.
Baik Amanda maupun Damian sama-sama canggung.
"Apa yang ada dipikiranmu? Bahwa aku baik-baik saja setelah kita berpisah. Tidak. Aku tersiksa."
"Aku merindukanmu di setiap malamku, aku memandang setiap sudut rumah dan membayangkan bahwa kita baik-baik saja. Apa aku terlalu serakah karena masih mengharapkanmu?"
Netra Amanda berkaca-kaca, sesak menyeruak mempengaruhi suasana hatinya.
"Aku meminta maaf padamu, Dam. Harusnya aku tidak pernah memaksamu untuk datang melamarku."
Damian menggeleng, bukan itu yang ingin di dengarnya.
"Aku membuat kau, ibu dan ayah di permalukan di persidangan. Aku merasa bersalah ketika melihat cinta luar biasa yang dicurahkan ibu padaku."
"Tidak, kau tidak salah. Aku tidak pernah menyesal telah menikahimu,"
Deg.
Amanda terpaku dengan tatapan sendu. Damian mengerutkan kening melihat ekspresinya.
"Ada apa? Kenapa kau melamun?"
Amanda tersenyum perlahan, wanita itu menatap dengan raut wajah yang berbinar.
"Dam, bayi kita."
"Ada apa dengan bayi kita?"
Amanda sangat senang dan memeluk Damian dengan spontan.
"Aku baru saja merasakan jika bayi kita bergerak, Dam. Dia udah menendang. Aku tak percaya ini."
Melihat Amanda bahagia, Damian pun tampak antusias. Dibukanya seat belt yang menahan geraknya.
"Sayang, ini papa. Apa kau mendengarnya?"
Hening, debaran itu menghilang saat Damian begitu dekat dan menyentuh perut Amanda.
"Apa dia bergerak lagi?"
Amanda menggeleng lemah, dalam lubuk hatinya dia merasa senang karena di gerakan pertama bayinya. Ada Damian di sampingnya.
"Sepertinya dia merasa malu."
Lelaki itu tersenyum dan mencium perut Amanda.
"Sayang, seharusnya kau tidak perlu malu pada papamu sendiri."
Damian dan Amanda saling tersenyum.
"Tidurlah, aku akan membangunkanmu nanti."
Amanda menggeleng, dia sangat khawatir mamanya akan bangun dan dia akan ketahuan.
"Tidak, aku yakin papa akan keluar sebentar lagi."
Selang beberapa menit, omongan Amanda pun terbukti. Rama keluar dari rumah dengan cara mengendap-endap.
"Itu papa!" ucapnya antusias.
Amanda akan segera keluar tetapi Damian menahannya. Hal itu membuat keduanya saling menatap sekali lagi.
"Dam, papa sudah membuka pagarnya. Aku harus pergi atau aku akan ketahuan nanti."
Damian mendekat dan mencium kening Amanda lama. Perlahan lelaki turun ke bibir wanitanya.
"Hati-hati, jaga anak kita baik-baik."
Amanda mengangguk samar dan memeluk Damian sebelum dia benar-benar harus keluar.
"Jangan keluar, tidak perlu mengantarkan aku. Kamu boleh langsung pergi."
"Tapi!"
"Ayolah, Dam!"
"Oke, aku pergi sekarang."
Amanda keluar dan menghampiri Rama, setelah mereka kembali ke rumah. Damian pun langsung tancap gas meninggalkan tempat itu. Pikirannya kini berpusat pada Daniel. Dia merasa tidak sabar menunggu hari kerja tiba.
**
6 jam yang lalu.
Saat Daniel menikmati jamuan di rumah Amanda, beberapa jenis makanan telah selesai di bakar. Rama membolak-balikan jagung manis sebagai menu pendamping malam ini.
"Berikan satu untuk Amanda, jangan membuat ibu hamil ngiler," ucap Alina dan mengambilkan berbagai pilihan menu di sana. Ada udang, cumi, sosis hingga daging sapi.
"Tapi, aku juga mau, Ma. Berikan jagung bakarnya."
Daniel mendapatkan tatapan tajam dari wanita terkasihnya itu.
"Kau boleh menunggu jagung kedua, oke. Laki-laki harus selalu mengalah pada wanita."
Amanda sempat tersenyum mendengar pembelaan mama Daniel.
"Ha, wanita itu memang rumit. Nggak mau ngalah, nggak mau ngantri," ucapnya dan mengkode Rama.
Kedua lelaki itu tertawa kecil bersama seolah bari saja mendapatkan lawakkan yang pas.
"Huss!"
Ditengah penantian pergantian tahun, ponsel Daniel tiba-tiba berdering. Raut wajah lelaki itu berubah serius saat melihat layar ponselnya.
"Ma, Daniel angkat telepon dulu, ya," ucapnya lalu menjauh.
Alina menatapnya sekilas lalu kembali membawa makanan untuk Amanda. Daniel tampak gelisah dan mengepalkan tangan dengan kuat.
"Bagaimana bisa kalian tidak menyingkirkan mereka. Perusahaan-perusahaan itu tidak ada apa-apanya."
Daniel mondar-mandir tanpa sadar. Di seberang sana, orang kepercayaannya mengabarkan bahwa Tomi Corporation perlahan mendapatkan klien baru dari pasar yang lebih rendah.
"Bereskan mereka sebelum lawan mengetahui hal ini, aku akan segera menemuimu jadi jangan kemana-mana."
Daniel meminta izin dengan alasan pekerjaan, Alina yang menatap wajah cemas putranya pun memutuskan untuk ikut.
"Jeng, maaf. Tapi, aku akan pulang bersama dengan Daniel."
"Tapi, Jeng. Acaranya kan baru saja di mulai," ucap Soya.
Amanda dan Rama hanya menatap mereka bergantian, Daniel segera pergi di kejar oleh Alina hingga ke mobil. Soya pun merasa heran, karena Daniel tak menoleh sekalipun kepadanya.
"Jeng, apa semuanya baik-baik saja?" tanya Soya bahkan setelah mesin mobil dinyalakan.
"Iya, semuanya baik-baik saja, kami pergi dulu."
Wajah Soya memerah saat mobil Daniel benar-benar pergi. Sedangkan di halaman samping, Amanda dan papanya mengatur rencana agar Amanda bisa keluar menikmati sup kepala ikan yang menjadi keinginannya.
Rama yang tahu Amanda sedang ngidam dan ingin makanan itu saat itu juga memberinya izin keluar secara diam-diam