Amanda begitu gelisah, wanitab itu tidak dapat tenang karena terus berprasangka buruk pada sang mantan suami, dia tak bisa kemana-mana saat ini dan hanya menikmati waktu liburnya di kamar. Sedang Damian, entah apa yang dilakukan lelaki itu.
Terbesit keinginan untuk menghubungi lebih dulu, tetapi gengsi mematahkan segalanya. Di pandangnya ponsel itu tak berkedip, tak ada pesan atau panggilan. Hal itu membuatnya sangat sedih.
"Huh, mungkin saja dia sedang menghadiri pesta, atau bersiap untuk acara kembang api seperti tahun-tahun sebelumnya. Kenapa aku malah memikirkannya sedang dia pasti tidak memikirkan aku."
"Amanda! Amanda turunlah."
Suara nyonya Soya terdengar nyaring. Manda yang kesal, mau tak mau harus menemuinya. Wanita itu beranjak dari kasur lalu turun ke lantai bawah.
"Iya, Ma. Manda datang."
Tiba di ruang tengah lantai dasar, Amanda tertegun melihat banyaknya bahan makanan yang baru saja selesai di borong.
"Ini apa, Ma? Belanjaannya kenapa banyak sekali."
Soya tersenyum bahagia.
"Bukan mama yang belanja, ini semua kiriman Daniel, nanti malam dia dan mamanya akan datang dan merayakan tahun baru bersama kita."
Deg.
Amanda terpaku di tempatnya. Belum sempat dia bicara, mamanya kembali menjelaskan.
"Jadi tadinya mereka ngajak kita kerumahnya, tapi karena memikirkan kondisi kamu yang tengah hamil muda. Jeng Alina jadi mengubah rencana. Mereka bawa belanjaannya ke rumah kita dan memutuskan buat acara barbeque di sini. Agar kamu nggak kecapean, baik banget kan?"
Bukannya senang, Amanda justru shock mendengarnya.
"Tapi, Ma. Aku sama papa rencananya mau keluar."
Tatapan tajam nyonya Soya membuat Amanda begidik.
"Maksud kamu apa?" Wanita itu meninggalkan belanjaannya dan mendekati putrinya.
"Jangan bilang kamu mau mempermalukan mama ya, kamu ingat kan siapa yang telah menolong kita. Jangan buat darah tinggi mama kumat!"
Amanda tersentak, tidak berani membantah.
"Kembali ke kamarmu, jangan keluar sebelum mama memanggil. Paham!"
"I-iya, Ma." Amanda tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti keinginan mamanya. Daniel dan keluarganya sangat istimewa bagi Soya. Amanda telah membayangkan betapa semuanya akan sangat membosankan. Percakapan akan di isi dengan segala pujian yang berisi hanya tentang Daniel dan Daniel.
"Kamu masih di sana? Berani melawan kamu ya!"
"Tidak, Ma. Manda pergi sekarang."
Dengan cepat, wanita itu menuju ke kamarnya. Berjalan pelan ke tepi jendela dan meraih dompet yang berisi foto usg bayinya.
"Tahun ini, mama akan merayakan tahun baru dengan keterpaksaan. Tapi, tahun depan. Mama berdoa agar bisa merayakan tahun barunya berdua. Mama dan kamu."
Kilas balik akan kenangan terlintas begitu saja, Amanda mengenang masa kebersamaan dengan Damian. Tahun baru yang selalu dilakukan di alun-alun kota.
Ingin sekali dia kesana, tapi apalah daya. Keputusan selalu ada di tangan sang mama.
Ting!
Notif pesan berdenting. Amanda menatap layar ponselnya, seketika raut wajahnya takjub saat melihat nama Damian berada disana.
Buru-buru Amanda membuka pesan itu.
[Hay, Amanda. Ibu telah membuatkan sup kepala ikan pesananmu. Apa kau mau menghabiskan malam tahun baru bersama kami?]
Deg.
Wajah Amanda memanas, senang bahagia surprise semuanya campur aduk. Namun, saat dia teringat dengan ucapan mamanya. Raut wajahnya kembali lusuh. Wanita itu menggigit bibirnya karena bingung.
"Duh, harus bagaimana? Gimana caranya agar aku bisa ikut dengan Damian."
Amanda berusaha mencari cara, bagaimanapun caranya dia sangat ingin menikmati sup kepala ikan buatan ibunda Damian.
Ting.
Pesan masuk dari Damian terus berdatangan.
[Kok, nggak di balas? Mau atau nggak?]
[Atau, mau dikirimin aja. Nanti, aku bawain kesana, gimana?]
Amanda tak bisa membalasnya untuk saat ini, jadi dia memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya.
Perlahan dia jatuh tertidur saat lelah mencari cara untuk meninggalkan rumah. Hari menjelang sore saat Amanda terbangun di kamarnya. Suara ketukan pintu terdengar nyaring membuat Amanda segera membukanya.
"Kamu lagi ngapain sih? Mama udah gedor-gedor dari tadi tapi kamu nggak nyahut!" omel Soya saar memasuki ruangan.
"Maaf, Ma. Manda ketiduran."
"Oh ya udah, apa kamu udah siapin baju apa yang akan kamu pakai nanti malam?" pertanyaan itu tak langsung dijawabnya.
"Duh, gemes deh. Sini mama bantu pilihkan."
"Nggak perlu, Ma. Nanti Manda pilih sendiri."
"Selera kamu itu kadang buat mama geleng kepala tau nggak? Awas aja kalau nanti makainya baju lusuh, yang sopan sedikit sama tante Alina, mengerti!" ucap Soya tegas.
"Mengerti, Ma."
Soya meninggalkan ruangan itu, saat dia membalikkan badan. Dia tak sengaja melihat foto usg yang ada di dekat jendela. Amanda terlihat menahan napas, takut mendapatkan hukuman.
"Turunlah setelah bersiap, jangan buat mama berteriak dari bawah. Ingat! Kita nggak punya pembantu."
Amanda mengangguk lemah, dengan cepat wanita itu bersiap sesuai perintah. Dia lalu lupa dengan mengaktifkan ponselnya juga dengan Damian.
Pukul 19:00 wib.
Daniel dan Alina tiba di kediaman nyonya Soya. Amanda menyambut ramah di ikuti oleh papanya.
"Selamat datang di rumah kami," ucap Rama menjabat tangan Daniel.
Lelaki itu merupakan pahlawan bagi hidup mereka.
"Terimakasih, Om."
Amanda dengan sangat terpaksa berusaha terlihat ramah.
"Kita langsung aja ke halaman belakang, ya. Saya udah menyiapkan semua yang diperlukan," ucap Nyonya Soya mencari perhatian.
"Aduh, Jeng. Maaf ya, jadi repot sendiri 'kan. Saya sudah bawa beberapa orang rumah untuk membantu kita, jadi Jeng Soya sekarang santai saja dan serahkan urusan bakar-membakar pada mereka."
Soya sangat senang mendengarnya.
"Terimakasih loh, untung Jeng Alina bawa pasukan. Kalau nggak, saya pasti kewalahan."
Kedua wanita itu langsung menuju ke belakang di ikuti asisten rumah tangga dari kediaman Daniel.
"Amanda, ayo ikut mama," pinta Soya melirik putrinya.
"Baik, Ma."
Sementara para wanita sibuk dengan hidangan, Rama dan Daniel justru bersantai dan membahas perihal pekerjaan.
"Ayo, Om. Kita bergabung dengan mereka."
"Ngapain, sepertinya mama kamu dan istri saya sangat kompak. Biarkan saja merek. Oh ya, Nak Daniel. Dimana saya akan mengirimkan cicilan p********n hutang-hutang istri saya, sebentar lagi baik saya mau pun Amanda akan gajian."
Daniel sangat menghargai usaha Rama, walau dalam hati kecilnya. Dia berharap mereka tak dapat melunasi hutang-hutang itu.
"Nanti saya akan mengirimkan no rekening saya, Om. Oh iya, om sekarang juga kerja tapi dimana?" tanyanya penasaran.
Rama menyebutkan pekerjaannya membuat Daniel terpaku dan tampak kikuk mendengar itu.
"Galery? Bukannya disana tempat pameran lukisan berlangsung. Om bekerja sebagai apa?" tanya Daniel.
"Pelukis, om seorang seniman. Beberapa karya om yang di pajang mendapatkan tempat di sana dengan harga yang lumayan, jika begini terus. Semoga kami dapat membayar semua hutang tanpa kendala."
Wajah penasaran itu berubah menjadi serius.
Daniel terpaku di tempatnya.
"Seniman? W-wah bagaimana aku tidak tahu itu."