Chapter 46 memikirkan keputusan

1160 Kata
“Jadi benar, kau putus asa? Aku mengatakan demikian hanya untuk memancingmu.”   “Ha,” Daniel terhenyak.   “Sebaiknya jauhi Tomi, hentikan apapun yang coba kau lakukan dengan peusahaan kami.”   “Kau pikir dirimu siapa? Kau telah berbohong dan tidak menepati janji yang kau ucapkan di parkiran rumah sakit. Apa kau ingat?”   Damian kembali pada kejadian beberapa minggu yang lalu, dimana dia dan Daniel membuat kesepakatan.   “Kau tidak menjauhinya, bahkan sekarang terlihat semakin dekat. Aku telah berbaik hati untuk mendengarkan permintaanmu. Tapi, apa yang kau lakukan.”     Daniel berjalan melalui Damian. Lelaki itu menuju ke pintu dan memegang kenopnya.   “Pergi, sebelum aku mempermalukanmu.”   Pintu di buka perlahan, tetapi Damian enggan pergi.   “Kenapa kau tidak bersaing secara sehat. Aku hanya memintamu untuk tidak mengusik perusahaan Tomi.”   “Apa lelaki itu yang menyuruhmu. Hebat sekali.”   “Tidak, aku datang atas inisiatifku sendiri. Dan, aku tidak akan pergi sebelum kau mengabulkan keinginanku.”   Daniel menutup kembali pintu ruangan itu.   “Segala sesuatu tidaklah gratis.”   Damian gemetar lalu tersungkur di lantai.   “Haruskah aku memohon. Ada banyak rekan yang akan kehilangan pekerjaan. Beberapa diantara klien bahkan membatalkan kontrak sementara yang berjalan.”   Di tengah pembicaraan mereka, ponsel Damian bordering. Panggilan datang dari Tomi.   “Siapa? Angkat saja.”   Damian menggeleng, Daniel merebut ponselnya lalu berkata.   “Aku bahkan tidak bisa percaya padamu, lelaki yang akan menjadi penghalang jalanku. Apa untungnya aku mengabulkan permintaanmu.”   Daniel mengankat panggilan itu.   “Hallo, hallo!” teriak Tomi dari ujung sana.   “Kau dengar aku, Dam. Pergi dan menjauh dari tempat itu, kau tidak tahu sedang berurusan dengan siapa. Jangan sampai kau menyesal nantinya.”   Daniel terkekeh, tak ada yang lebih menyenangkan selain mendengar bahwa Tomi mengakuinya.   “Dam, jangan rendahkan dirimu di hadapan b******n itu. Pergi dari sana!”     Daniel puas mendengarnya.   “Wow, aku tidak tahu jika kau sangat mengenalku, Tom.”     “b******k! Dimana Damian. Apa yang kau lakukan padanya?” maki Tomi.   “Kau ingin tahu? Ah, tunggu sebentar.”   Daniel mengambil Foto Damian yang sedang berlutut lalu mengirimkannya ke Tomi.   “Dia tak tahu diri, terus meminta agar aku tidak menganggu perusahaanmu. Apa dia tidak tahu, jika kehancuran kalian bukan karena aku. Tapi, karena perusahaan itu memang tak layak untuk berdiri.”   “b******k kau, Daniel!” maki Tomi.   Daniel mematikan ponsel itu dan mengembalikannya pada sang pemilik.   “Pergi sebelum kesabaranku habis.”   Damian bangkit, siap untuk pergi.   “Kau tahu aturannya, bukan. Aku sangat menyukai Amanda dari dulu, jika kau pergi dari hidupnya dengan sukarela maka aku tidak akan menganggu siapapun.”   Damian menoleh, menatap lekat lelaki itu.     “Keputusan ada di tanganmu, jadi pikirkan baik-baik.”   Tanpa kata, Damian pergi dari sana. Ucapan Daniel terus tergiang membuatnya semakin tertekan. Meninggalkan Amanda adalah pilihan tersulit. Dia tak bisa mengiyakan.   Langkahnya gontai berjalan keluar menuju ke parkiran. Dia terdiam cukup lama di mobil, lalu menangis di atas stir.   Bayi yang akan segera lahir, menjadi kekuatannya selama ini.   “Aku tidak bisa, walau bagaimanapun juga.”   **   Tomi menunggu mobil Damian keluar dari area perkantoran, kewarasannya masih dapat di kendalikan dengan tidak menerobos masuk.   Beberapa jam kemudian. Damian akhirnya terlihat . Kekhawatirannya berakhir dan dia segera mengikuti lelaki itu.   Damian menyetir dengan pelan, hingga Tomi dapat dengan santai mendekatinya lalu menuntunnya ke arah lain.   “Pipp pip. Pipp! Pipp! Pipp!” Suara klakson terdengar nyaring, Tomi menurunkan kaca mobil jendela dan memberi kode agar Damian berbelok ke kanan menjauhi jalan tol.   Damian yang mengerti segera menurutinya.   Mobil mereka berhenti saat Tomi menyalip di tempat yang cukup sepi. Lelaki itu bergegas turun tak sabar menemui Damian.   Tok tok tok.   “Buka pintunya,” pinta Tomi.   Damian mematung, ada banyak kegalauan di hatinya.   “Buka pintunya, Dam. Aku ingin bicara.”   Klik. Pintu terbuka. Tomi lega dan segera masuk. Setelah melihat wajah murung Damian, pertanyaan yang siap meluncur tertahan di tenggorokan.   Raut wajah lelaki itu tak biasa membuat Tomi terpaku.   “Maaf, aku tidak bisa berbuat banyak,” ucap Damian merasa bersalah.   “Aku senang karena kau tidak melakukan apa-apa. Keputusan untuk tidak mendengarkan b******n itu adalah pilihan yang terbaik. Ayo kembali, Amanda menunggu kita. Aku tidak menceritakan apapun.”   Damian hanya diam.   “Jangan memikirkan semua ini terlalu serius, aku memiliki banyak kolega, perusahaan akan stabil dengan sendirinya. Kau harusnya percaya itu.”   Damian kembali menatapnya, ekspresi lelaki itu seolah menyuarakan kata ‘Benarkah?’   “Aku berharap bisa mengembalikan kejayaan kita, sama seperti dulu.”   Tomi tersenyum dan menepuk pundaknya.   “Tentu, kau dan aku adalah pasanganyang hebat. Kita akan mampu membawa kembali perusahaan ini ke atas, hanya satu yang aku pinta. Tolong dengarkan aku. Jangan bertindak gegabah tanpa persetujuan dariku.”   Damian menyetujuinya. Mereka pun kembali ke kantor dengan mengendarai mobil masing-masing. Tomi penasaran apa yang telah di katakan Daniel hingga wajah Damian pucat.   Hari sudah sore saat mereka tiba di kantor, karyawan telah bersiap pulang dan menatap kaku kehadiran mereka yang kembali saat hari menjelang magrib.   Anita satu-satunya yang megetahui keadaan perusahaan mematung dengan tatapan shock.   “Selamat sore, Pak,” sapa diantara mereka saat berjalan keluar.   “Sore,” ucap Damian dan Tomi bergantian.   Tomi menuju ke sekertarisnya lebih dulu.   “Ada apa, Nit? Mengapa wajahmu seperti vampire.” Mendengar ucapan Tomi, Damian pun menoleh menatap wanita itu.   “Bu Amanda ada di ruangan, Bapak. Dan ada satu hal yang ingin saya laporkan.”   Tomi dan Damian saling bertatapan.   “Kenapa Amanda belum pulang? Hari sudah sore, ayo Dam. Kita ke ruanganku,” ajak Tomi.   Mereka pun bergegas dan menemui Amanda. Wanita itu tampak serius membaca majalah saat Tomi dan yang lainnya tiba.   “Eh, kalian sudah kembali. Darimana saja?” tanya Amanda dan bangkit dari duduknya.   “Kami ada urusan yang harus di selesaikan, benarkan, Dam.”   Damian mengangguk samar tanpa ekspresi.   “Ku dengar kau menungguku, ada apa?”   Amanda menatap Damian sekilas lalu menyampaikan keperluannya.   “Begini, aku harus control besok, jadi mungkin akan terlambat untuk bekerja.”   “Control?”   Amanda mengangguk.   “Periksa kandungan, bayinya harus selalu di cek.”   Tomi menoleh ke Damian.   “Tentu, besok pergilah dengan Damian.”   “Aku bisa sendiri,” ucap Amanda tak ingin merepotkan.   “Dia adalah ayahnya, walau kau tidak mau dia harus tetap menemanimu. Bukan begitu, Dam. Lagi pula, apa kalian tidak penasaran dengan jenis kelaminnya. Ayolah, hal itu dinantikan semua pasangan.”   Damian dan Amanda saling melirik.   “Aku akan mengantarmu, datanglah ke kantor dan kita akan berangkat bersama,” Amanda tersenyum bahagia mendengarnya.   “Ya, akan kulakukan.”   Anita menatap kedua lelaki itu, masih dalam keadaan tak tergambarkan.   “Aku akan mengantarmu ke tempat papa, bisakah kau menungguku di mobil, jangan lupa bereskan tempat makan siang yang di kirimkan ibu untukmu.”   Amanda mengangguk ceria.   “Baiklah, akan aku lakukan.”   Amanda berjalan keluar, setelah pintu tertutup rapat. Anita segera ke meja Tomi dan mengambil beberapa berkas di sana.   “Pak, klien yang pergi semakin banyak.”   Damian dan Tomi tak dapat menyembunyikan wajah cemasnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN