Chapter 47 cek kandungan

1007 Kata
Amanda telah siap di depan kantor menunggu kedatangan Damian, wanita itu sangat senang. Hari ini adalah kontrol pertamanya bersama lelaki itu. Tak berselang lama, orang yang di tunggu akhirnya datang juga. Mobil Damian berhenti kala melihat Amanda berada di luar kantor. "Hey, kenapa menunggu di luar?" ucapnya khawatir. Damian segera membukakan pintu mobil dan menuntun wanita itu masuk. "Aku baru sampai, Dam. Papa baru aja pergi." "Lain kali tunggu di dalam saja, bahaya duduk di tepi jalan seperti ini," omelnya. Amanda hanya mengangguk dan tersenyum dalam hati. Pukul 08:00 Mereka berangkat ke rumah sakit terdekat, Amanda mengelus perutnya, gerakan reflek yang selalu dilakukan ibu hamil. Sepanjang jalan, mereka diam satu sama lain, di pertengahan jalan. Hujan tiba-tiba membasahi bumi. Semakin melaju semakin tinggi curah hujannya. "Apa kita nggak menepi aja, Dam. Deras banget hujannya sampai nggak bisa lihat pengendara lain." Damian menatap jam tangannya. "Tidak apa-apa, aku akan pelan-pelan. Mereka kembali bergerak, kini hujan datang di sertai angin. "Dam, sebaiknya kita menepi. Akan bahaya kalau tetap di lanjutkan. Semoga hujannya nggak berlangsung lama." Setelah melihat situasinya, Damian setuju dab menepikan kendaraannya. Kini mereka berdiam diri dalam kesunyian, hanya memandangi pengendara lain yang rela menerobos hujan. Tanpa sadar, Damian menoleh pada Amanda yang kini menatapnya lekat. "Usianya 3 bulan, aku penasaran bayi kita sudah sebesar apa." Damian menggapai tangannya dan menggenggamnya erat. "Enam bulan lagi, ah tidak 5 bulan lagi. Kita akan menyambutnya lahir kedunia. Entah dia anak laki-laki atau anak perempuan. Aku belum menyiapkan namanya. Apa kau punya pilihan nama? Aku ingin, namamu berada di belakang nama anak kita jika dia lahir." Damian menggeleng. "Aku menyerahkan semua itu padamu, pilih lah nama yang kau suka. Apapun pilihanmu aku akan setuju." Amanda cemberut. "Tidak, aku ingin kau memilihnya untukku. Nama yang kau buat sendiri." "Baiklah akan aku pikirkan." Amanda tersenyum dan mencium tangan Damian, hal itu membuatnya tersentak. "Aku senang kau mau menyempatkan diri menemaniku," ucapnya penuh haru. Damian tak dapat membohongi perasaannya, betapa dia sangat mencintai wanita itu. Damian menariknya dan membawa Amanda ke dalam pelukan. Sudah sangat lama, dan kerinduannya tersalurkan. "Aku berjanji akan selalu menemanimu, kita akan ke rumah sakit setiap bulan. Bersama-sama." Amanda melerai pelukannya dan menatap Damian tenang. "Benarkah?" Lelaki itu mengangguk, perlahan dia mendekatkan diri dan mencium bibir Amanda. Saat dia melakukannya, Amanda tak menolak, wanita itu justru menikmatinya. Damian berhenti saat teringat batasan yang di lontarkan Daniel terakhir kali. Ancaman kehancuran Tomi terlintas di depan mata membuat Damian menarik diri. Amanda menatapnya bingung. "Kita harus segera ke rumah sakit, hujannya sudah reda." Damian kembali bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Amanda termangu, sepanjang jalan dia terus melirik ke arah Damian. Lima belas menit kemudian, mereka tiba di tempat tujuan. Rintik hujan masih terlihat. "Tunggulah di sini," ucap Damian lalu keluar dari mobil. Lalu, dalam sekejap dia membuka pintu di bagian Amanda dengan jas yang telah stay di atas kepala. Amanda lagi-lagi terkesiap melihat perlakuan Damian. "Ayo, salahku tidak menyediakan payung." Amanda tersenyum dan keluar dari mobil, di tutupnya rapat pintu itu dan berpegang pada pinggang Damian. "Kau siap?" tanya lelaki itu. Amanda mengangguk tenang. Bak, film romansa. Mereka bersama-sama berlari dari parkiran menuju ke rumah sakit. Amanda sangat menikmati hari ini, bahkan dia bisa mencium wangi parfum khas milik Damian. "Ayo, masuk. Apa yang kau pikirkan." Damian terkekeh saat melihat Amanda melamun. "Kita sudah sampai, duduklah aku akan mengambil antrian." "Ah, iya." Di pergoki membuat Amanda merasa malu, beberapa saat kemudian. Damian kembali dan duduk di sampingnya. "Kita mendapatkan nomor 35, masih sangat lama," keluhnya. "Kenapa bukan no 50." Damian menatapnya lekat. "Maaf, ini karena kita berhenti tadi. Harusnya aku lanjut saja." Bukan itu maksud Amanda, dia tak peduli dengan antrian. Dia hanya ingin tinggal lebih lama dengan Damian, juga dengan perhatian yang ditujukan untuknya. Melihat wajah Amanda yang cemberut, Damian menenangkannya dengan cara menggenggam tangan wanita itu. "Apa kau kedinginan?" Damian memakaikan jasnya pada Amanda. Waktu berlalu, satu per satu orang di panggil oleh Dokter. Beberapa ibu hamil di antaranya memuji kedekatan mereka. Damian tak sekalipun meninggalkan Amanda sendirian. "Nyonya Amanda!" panggil suster. Damian lantas berdiri dan menggandeng Amanda. "Ya, itu kami." "Silahkan masuk." Damian menunggu di luar, dan Amanda masuk sendirian. Lelaki itu penasaran dengan perkembangan bayinya. Lima belas menit kemudian, suster keluar untuk memanggilnya. "Bapak Damian, silahkan masuk." Damian mengikutinya ke dalam, Amanda mengulurkan tangan dan memintanya mendekat. "Dam, lihat itu," tunjuk Amanda pada ultrasonografi atau biasa di sebut dengan USG. "Bayi kita," ucapnya terharu. Damian menatapnya takjub. Dokter menatap pasangan itu dan ikut tersenyum. "Bayi anda berkembang sangat baik, jika di lihat di sini, beberapa anggota tubuh sudah tercetak sempurna dari, mata dan mulut. Tulang dan otot juga sudah terbentuk. Kuku-kuku pada jari pun sudah mulai tumbuh. Alat kelamin sudah terlihat. Namun belum berkembang secara sempurna." Damian sangat senang dan mencium kening Amanda reflek. "Boleh kami sudah bisa tahu jenis kelaminnya, Dok?" ucap Amanda. Dokter mengangguk antusias. "Sepertinya, ini adalah anak pertama kalian." Damian tak dapat mengalihkan pandangan dari komputer, sedang amanda tersenyum bahagia. "Benar." "Tunggu sebentar," Dokter kembali menjalankan tugasnya. Pandangan Amanda teralihkan, dia lebih tertarik memandang wajah takjub suaminya. "Menurut pemeriksaan, janinnya berjenis kelamin perempuan." Lutut Damian lemas, dia memeluk Amanda demi menyembunyikan airmatanya. "Terimakasih, Dokter." "Sama-sama, ibu harus rajin minum vitamin, dan tidak boleh stress ya," "Baik, Dokter." Dokter meninggalkan mereka untuk menulis resep. Amanda perlahan bangun dan menangkup wajah Damian. "Jangan menangis, kau tahu. Dia akan menjadi putri yang paling bahagia di dunia karena mendapatkan dirimu sebagai ayahnya." Entah, Damian harus senang atau sedih mendengar itu. "Dia pasti akan sangat mirip denganmu, Damian. Anak perempuan yang manis, aku tak sabar untuk meminangnya." Mereka tersenyum bersama, Damian mencium pipi Amanda dan berkata, "Terimakasih, kita harus menjaganya dengan baik." Amanda mengangguk antusias. Setelah menulis resepnya, Dokter menyerahkannya pada Damian. "Silahkan di tebus ya, Pak. Kandungannya harus di kontrol setiap bulan, tidak banyak ibu hamil bisa memeriksa kandungan di temani oleh sang suami. Saya harap, di setiap pemeriksaan bapak selalu datang." Damian mengiyahkan, dan Amanda sangat senang. "Tentu, Dokter. Terimakasih." "Sama-sama." Amanda berjalan keluar dengan hati-hati. Sungguh Damian adalah pasangan idaman baginya andai takdir tidak memisahkan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN