Daniel sedang bersantai di sebuah Café saat anak buahnya datang untuk melaporkan, lelaki itu tampak bersahaja sama seperti biasa dengan kaca hitam, memakai pakaian kantor lengkap dengan jasnya menghadap ke arah luar.
“Bos, kami telah selesai dengan pekerjaan kami,” ucap seorang lelaki berdiri tegak di ikuti oleh rekan lainnya.
“Bagaimana hasilnya?” tanya Daniel tampa menatap ke arah anak buahnya.
Dua orang suruhan itu saling pandang.
“Lelaki itu telah keluar kota bersama dengan keluarganya, kami telah mengikuti hingga ke perbatasan, mereka menuju ke arah selatan.”
“Bagus,” Daniel tersenyum dan meletakkan sebuah berkas di atas meja.
“Urus dan temui semua orang-orang bodoh itu, putuskan kerja sama kita yang belum selesai. Katakan bahwa Daniel Argantara sedang keluar kota.” Daniel berdiri dan bersiap untuk pergi.
“Baik, Boss. Akan kami laksanakan.”
Pengorbanan Damian langsung mendapatkan apresiasi oleh Daniel. Lelaki itu menepati janjinya dan langsung mengambil penerbangan keluar kota untuk menghindari masalah. Saat ini, akibat penolakan dari kontrak Angkasa Grup. Banyak perusahaan yang tidak terima dan melakukan protes.
Tomi sedang berkunjung di kantor klien utamanya saat berita itu tersebar di media.
[Selamat siang pemirsa, dunia bisnis kembali mencuri perhatian. Beberapa orang tengah berdemo di depan kantor pusat Angkasa Grup. Hal yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah pertumbuhan bisnis keluarga Angkasa. Apa penyebabnya kini masih dalam penyelidikan.] Sontak saja hal itu membuat semua orang tercengang.
“Wow, bukan kah dia adalah rivalmu?” tanya Pak Wijaya dan menatap lekat Tomi yang tercengang.
Di pertemuan kali ini, Tomi bermaksud pamit undur diri. Tetapi berita tadi membuatnya terpaku.
“Sepertinya, Tuhan tidak membiarkan karirmu berhenti cukup sampai di sini, melainkan kesempatan masih terbuka lebar.”
Tomi mencerna kata-kata lelaki itu. Belum sempat dia bicara, ponselnya berdering. Panggilan masuk datang dari Anita. Tomi menatap Pak Wijaya meminta izin untuk mengankat panggilannya.
“Silahkan, Pak.”
Tomi mengankat teleponnya tanpa menyahut. Anita langsung bicara tanpa henti membuat Tomi tersadar akan sesuatu. Pikirannya hanya satu yaitu Damian.
Panggilan Anita diputus begitu saja, Tomi langsung menghubungi Damian tetapi nomor telepon mantan suami sahabatnya itu sedang tidak aktif.
“Tidak, aku harap kau tidak bertindak bodoh, Dam,” ucapnya khawatir.
“Pak, email dari klien berdatangan untuk ajakan kerja sama, mereka terus menghubungi dan saya belum memberi jawaban.” Begitulah ucapan Anita barusan.
“Ada apa, Pak Tomi? Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Pak Wijaya.
Tomi tak jadi mengucapkan salam perpisahan.
“Pak, saya harus pergi untuk memastikan sesuatu, sekarang. Ini sangat penting.”
Mengerti akan kegelisahan yang terpancar dari wajah lelaki itu, Pak Wijaya pun mengangguk.
“Baiklah, kita bisa bertemu lain waktu.”
“Terimakasih, Pak.”
Tomi segera pergi meninggalkan tempat itu, berkali-kali dia mencoba menghubungi Damian tapi tak kunjung berhasil.
“Dimana kau, ha!”
Tomi berlari keluar dan menuju ke parkiran. Dengan cepat dia naik ke mobil dan menyetir menuju kediaman Damian, ketakutan Tomi sangat kuat. Dia takut Damian nekat, bahkan setelah dia melarangnya berulang kali. Beberapa menit kemudian, Tomi tiba di tempat tujuannya. Mobil terparkir di pinggiran jalan. Lelaki itu berusaha tenang dan berjalan mendekat pagar.
Tomi kembali panik saat menemukan pagar rumah Damian terkunci. Tidak seperti biasanya.
“Dam! Apa kau di dalam?” teriak Tomi kuat.
“Dam, keluarlah!”
Tomi terus memanggil tapi tak ada satu pun yang datang. Di dalam kekalutannya, ponselnya kembali berdering. Tomi mengankat panggilan itu tanpa melihat siapa yang memanggil.
“Halo, Dam. Apa ini kau?” ucapnya penuh harap.
Sesaat hening membuat Tomi memeriksa siapa yang telah meneleponnya. Alangkah terkejutnya, Tomi saat melihat nama Amanda tertera disana.
“Hallo, Tom. Ini gue, Tadi Nita telepon nanyain lo dimana? Eh, tapi kok lo malah nebak gue Damian. Emang lo lagi nyariin dia?”
Deg.
Tomi mengepalkan tangan, lelaki itu gugup dan terpaku di tempatnya.
“Halo, Tom. Lo ngelamun, ya? Kok gue di cuekin?” cerocos sang lawan bicara.
Tomi kembali mobil dan bersikap tenang.
“Hey, eh gini. Em, tadinya gua di kantor klien, Anita udah telepon gua tadi. Gua belum ngasih jawaban makanya gua mau minta sarannya Damian dulu baru mau memutuskan.”
Amanda mengoceh memberi Tomi nasehat agar tidak membuang kesempatan yang datang.
“Apa-apaan sih? Klien datang segitu banyaknya dan lo masih mau mikir dulu. Keburu di ambil ama orang lain, Tom. Pokoknya, lo nggak boleh keluar negeri, lo harus tetap di sini. Gue akan meminta Anita untuk mengundang mereka semua dan menghubungi rekan-rekan staf yang lain. Kita harus kembali beroperasi. Kita harus tetap tinggal bekerja, mungkin jam segini Damian masih tidur, soalnya semalam dia pulangnya agak malaman.”
Tomi ragu setelah melihat pintu dan pagar yang tertutup rapat.
"Oke, gua sedang sibuk, Manda. Udah dulu, ya."
"Bagaimana dengan kliennya, jangan biarkan mereka menunggu lama," tekan Amanda.
"Iya, gua tahu."
Panggilan terputus.
Tomi menunggu di depan rumah Damian cukup lama, bukannya memikirkan klien-klien yang mulai berdatangan. Tomi justru mematikan ponselnya dan tidak ingin di ganggu sebelum menemukan dimana keberadaan lelaki itu.
Hari mulai beranjak sore, Tomi benar-benar yakin jika rumah itu benar-benar sudah kosong. Kedua orangtua Damian orang yang ramah dan selalu menghabiskan waktu di luar saat sore hari. Dan, sekarang rumah itu benar-benar terlihat sangat sepi.
"Oh Tuhan, kemana aku harus mencarinya."
Tomi tiba-tiba terpikir untuk menemui musuh nyata Damian.
"Aku harus mencari Daniel, entah apa yang telah dia katakan hingga dapat meracuni kepala Damian."
Keputusan Tomi telah bulat, dia segera bergegas menuju ke kantor Angkasa grup. Saat keyakinannya sudah bulat, dia teringat dengan tayangan di televisi.
Kantor itu sedang menjadi sorotan media, jika nekat datang kesana, orang-orang akan salah paham padanya.
"Sial!" teriaknya frustasi.
Berita yang sama mengguncang keluarga Amanda dan juga orangtua Daniel sendiri.
Soya gemetar saat menyaksikan tayangannya, sedang Rama fokus mendengarkan berita. Wajah Soya berubah pias, satu-satunya harapannya kini tersandung masalah.
"Ini pasti fitnah, pasti banyak yang ingin menjatuhkan Daniel."
Amanda bersikap netral dan menikmati s**u yang telah di recomendasikan oleh Dokter.
"Lihat, siapa mereka itu. Beraninya mereka protes pada calon menantuku!"
Amanda dan Rama yang berdiri tidak jauh darinya. Mendengar semua dengan jelas. Keduanya terkejut mendengar penuturan Soya.
"Ma! Apa yang kau katakan?"