Soya kepalang basah, Amanda dan Rama menuntut penjelasan.
"Maksud Mama apa ngomong kayak tadi? Amanda tidak akan menikah dengan siapapun tanpa persetujuan dariku, titik!" seru Rama membela putrinya.
Nyonya Soya melipat kedua tangannya ke d**a. Dengan tenang dia berucap.
"Jauh sebelum hutang piutang itu, Daniel memanglah calon yang akan menikah dengan Amanda. Ingat, mama pernah memintamu untuk menghadiri kencan buta yang selalu kau tolak. Orang terakhir dari kalangan temen-temen sosialita mama yang mengajukan putra mereka ialah Jeng Alana, hanya karena kau yang salah memilih dari awal," tunjuknya geram pada putrinya.
"Hanya karena kau telah buta dengan cinta! Hanya karena mama memikirkan hatimu dan mengabaikan insting. Kau tidak akan hidup menderita dari awal."
Amanda tertegun dengan netra membulat. Bukan hanya dia, bahkan Rama pun demikian.
"Setelah kejadian kemarin, saat mama terlilit hutang. Kalian mana tahu, bagaimana temen-temen mama mencibir dan menghina mama. Bahkan kalian keluargaku sendiri, berniat meninggalkan mama kan. Saat Daniel kembali membantu dan kau sudah tidak bersama lelaki miskin itu lagi. Untuk membalas kebaikan hatinya, kenapa tidak."
"Ma," ucap Amanda protes.
"Kenapa, memangnya kamu ingin menunggu siapa? Daniel orang yang baik, masa depannya cerah. Bahkan dia tak ragu untuk menerimah bayi yang ada dalam kandunganmu."
Amanda tak berselera menghabiskan susunya, netranya kini berkaca-kaca menahan rasa kecewa.
"Aku hanya mencintai satu lelaki, dan dia adalah ayah dari bayi yang aku kandung. Tak peduli dia miskin, atau tidak sesuai dengan selera mama. Kenapa mama selalu egois. Apa orangtua mama menekan mama untuk selalu sukses? Lalu, kenapa mama malah menikah dengan papa. Bukannya papa juga dari kalangan bawah, seorang pelukis jalanan yang mama gilai!"
"Plak!"
Soya tidak ragu melayangkan tamparan di pipi mulus putrinya.
"Bukan hanya karena dia miskin, tapi lelaki itu membawa pengaruh yang buruk bagimu. Lihat saja, lihat bagaimana kau berani membangkang. Bahkan setelah mama ingatkan berulang kali. Kau adalah putriku, sudah seharusnya kau patuh."
Sesak, Amanda menyentuh pipinya yang terluka.
"Kami telah membayar hutang-hutangmu sebagian, jangan merenggut kebahagiaan putriku dengan mengorbankan hidupnya. Jika dulu aku diam saja, itu karena aku menghargaimu. Amanda benar, jika kau bisa memilih hidup denganku. Mengapa kau tidak membiarkan dia mengambil jalan yang sama."
Tatapan Soya ragu, dia memilih menghindar.
"Jawab aku, bukan hanya Amanda yang penasaran. Tapi, aku juga."
Tangan kuat Rama memegang lengan istrinya.
"Kau yakin tidak tahu alasannya?" tekan wanita itu dengan perasaan kacau.
Amanda mencoba menghentikan mereka, ya dia seolah paham akan kata-kata yang akan keluar dari mulut mamanya.
"Pa, sudahlah. Bawa Amanda ke atas," pintanya. Usaha Amanda sia-sia karena Rama tak bergerak sedikitpun.
"Aku tidak mau dia bernasib sama sepertiku, memangnya apa yang bisa kita banggakan. Pernikahan kita ini, apa kita punya sesuatu?"
"Apa segalanya hanya dapat kau nilai dengan materi?" balas Rama tenang.
"Ya, memangnya apalagi. Amanda akan menikah dengan Daniel dengan atau tanpa persetujuanmu. Tepat, setelah bayinya dilahirkan." Soya beranjak pergi ke kamarnya meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh.
Semenjak Rama memilih tidur di kamar tamu, mereka resmi pisah ranjang. Amanda terdiam terpaku, dia tak lagi memikirkan tentang nasibnya. Tapi memikirkan perasaan papanya juga.
Rama terpejam, dan berjalan ke sofa. Dia duduk dan bersandar disana.
"Pa, papa tahukan. Mama kalau ngomong memang kasar. Tolong jangan di ambil hati."
"Yang mamamu bicarakan memang benar, Nak. Dia sangat menderita karena memilih hidup dengan mama. Keluarga besar mamamu menghindari kita, alasannya karena mama masih bertahan dengan papa."
"Pa, tidak seperti itu."
"Setidaknya papa sadar, hari ini mamamu menyadarkan papa bahwa dia harus bahagia."
Wajah Amanda tegang sempurna.
"Maksud Papa?"
Rama terdiam, Amanda kini berlutut di hadapannya dengan posisi lutut menyentuh lantai.
"Pa, jangan melakukan apapun yang mungkin akan papa sesali nanti."
Tangis Amanda jatuh berlinang.
"Mama memang keras kepala, jika mama marah. Mama akan sangat begitu kasar. Tapi, Manda yakin. Cinta mama ke papa itu begitu besar. Bahkan mama bisa nekat memperjuangkan papa di keluarganya. Tolong, Pa. Jangan menyesal seperti Amanda dan Damian."
Amanda tak kuasa menahan diri, airmatanya luruh perlahan. Membuat Rama terenyuh melihat sikap putrinya.
Di sekanya pelan pipi Amanda dan memeluknya erat.
"Kau tahu, kau adalah anugerah yang terindah yang kami miliki dalam pernikahan ini. Sayangnya mamamu tidak menyadari itu. Istrahatlah, Nak. Jangan berpikir apapun. Kembalilah ke kamarmu."
Rama mengusap kepala putrinya lalu meninggalkannya sendirian. Amanda sangat takut, takut keluarganya akan benar-benar hancur.
Ke esokan harinya.
Di kediaman Amanda. Saat Rama bangun lebih awal dan berangkat bekerja sebelum anak dan istrinya bangun. Sikap Soya semalam membuatnya memilih menghindar agar tidak merasakan sakit yang teramat. Setelah 27 tahun pernikahan mereka, baru kali ini Rama benar-benar merasa tak berguna.
Ting.
Ting.
Ting.
Bel berbunyi, sekarang tepat jam delapan lewat beberapa menit. Amanda dan Soya bergegas meninggalkan tempat tidur setelah mendengar bel yang terus berdenting.
"Siapa, sih. Pagi-pagi gini datang bertamu!"
Soya tiba lebih cepat dan langsung membukakan pintu.
Seorang wanita seumuran Amanda berdiri di sana dengan rambut di ikat ke belakang.
"Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Soya mengerutkan kening.
"Saya Anita, Tante. Temannya Amanda. Gerbangnya nggak di kunci jadi saya langsung masuk."
Amanda tiba dan menyambut rekan kerjanya.
"Hey, Nit. Kenapa nggak nelpon dulu?"
"Eh, sorry. Gue dateng bawa berita penting."
Baik Amanda dan Anita menatap kompak pada nyonya Soya.
"Eh, Ma. Ini Anita temen Manda. Manda ajak ke atas aja, ya," pintanya.
Dandanan Anita tampak meyakinkan.
"Boleh," ucap Soya pendek dan berjalan keluar. Benar saja, mobil suaminya sudah tidak berada di bagasi. Saat dia memutar balik, Amanda dan Anita pun sudah menghilang.
Amanda terkejut melihat kedatangan Anita yang begitu mendadak.
"Tumben lo ke rumah gue, apa ada kabar penting?"
Anita mengangguk cepat.
"Gue nggak bisa nemuin Pak Tomi, gimana caranya kita menjawab klien tanpa persetujuan sang pemilik perusahaan."
Amanda tak percaya lalu mencari ponselnya. Bersiap untuk menghubungi sahabatnya.
"Bahkan Pak Damian pun tak dapat di hubungi, gue sempet ke rumah lamanya tapi di sana juga kosong. Aneh banget kan? Kayaknya mereka sedang bersama, hilangnya juga kompak."
Amanda menatap tak percaya.
"Oke, tenang dulu. Biar gue hubungin satu-satu."
Amanda menelpon Tomi terlebih dahulu, tetapi telepon sahabatnya itu sedang berada diluar jangkauan. Dengan tenang dia kembali menelpon Damian. Dan, hasilnya sama saja membuat Amanda mulai khawatir.
"Mungkin mereka sedang mengobrol, atau pergi ke suatu tempat."
"Klien meminta jawaban secepatnya, paling lambat jam 12 siang ini. Jika tidak, mereka pun tidak ingin bekerja sama lagi."