Damian tak dapat tidur, malam ini, setelah tiba di rumah, dia langsung berkemas dan berpikir akan kemana. Dilema yang luar biasa melandanya, gerakan bayinya. Bayangan tentang bayi mungil terus mengusik dan menggoyahkan keputusannya untuk pergi.
Ting.
Pesan masuk datang dari Daniel menyadarkannya.
[Apa kau sudah cukup bersenang-senang? Waktumu di percepat, aku tidak mau mengambil resiko, pergi atau tak ada ampun.]
Damian menghela napas kasar, di lemparnya ponsel ke arah dinding, frustasi akan keadaan.
Bugh.
Dia benar-benar tak berdaya.
Bu Restanti dan Pak Grandi yang berada di kamarnya terkejut mendengar suara itu, mereka lalu mendatangi Damian di kamarnya.
Keduanya tampak bingung saat pintu terbuka dan melihat koper dan pakaian yang masih berantakan.
"Ada apa ini? Kenapa ponselnya sampai di banting segala, Dam?" tanya sang ibu dan memungut ponsel itu.
Pak Grandi mendekat dan berusaha memperbaikinya.
"Apa yang terjadi hingga kau semarah ini, Nak? Ayah tak pernah melihatmu sekacau ini bahkan setelah perpisahanmu dengan Amanda."
Damian meremas rambutnya kasar, sikapnya itu membuat kedua orangtuanya khawatir.
"Dam, jika ada masalah katakan. Jika ayah dan ibumu bisa bantu, pasti kami akan bantu."
Damian merasa sangat bersalah. Kota ini adalah tempat kedua orangtuanya berasal. Meminta mereka ikut serta bukanlah perkara yang mudah.
"Ayo cerita, jangan dipendam sendirian."
Damian pun menceritakan soal perusahaan Tomi dan ancaman Daniel. Kedua orangtuanya terkejut dan menatap prihatin. Damian sampai menangis karena galau setelah merasakan gerakan bayinya di perut Amanda.
"Aku harus bagaimana, Bu? Aku tidak mau Tomi dan teman-teman yang lain menjadi korban karena jatuhnya perusahaan ini. Tomi telah membantu kita banyak, aku ingin membayarnya. Tapi, Daniel memintaku untuk tidak muncul di hadapan Amanda tanpa seizinnya."
Pak Grandi menepuk pundak putranya.
"Ibu nggak setuju jika kita harus pergi, Amanda sangat membutuhkanmu apalagi saat kehamilan memasuki trimester akhir," ucap ibundanya.
"Apa kau sudah memutuskan akan kemana? Aku tahu ini sulit, tapi ibu dan ayah akan menjaga Amanda untukmu," timpal Grandi.
Damian menggeleng.
"Bahkan ibu dan ayah harus ikut denganku agar dia yakin jika aku tidak akan curang lagi."
Kedua orangtuanya saling menatap satu sama lain.
"Lagi! Apa kau pernah berurusan dengannya sebelum ini?" Restanti menatapnya gemas.
Wajah bersalah Damian membuat Restanti kecewa.
"Apa yang telah kau lakukan, Nak? Jika Amanda tahu, ibu yakin dia tidak akan suka ini."
Damian merasa di pojokkan.
"Kenapa kau tidak coba melawan? Apa kau sudah berusaha? Kenapa langsung memutuskan untuk pergi, Dam!" Kali ini, sang ayah pun ikut angkat suara.
"Aku sudah berusaha, Yah. Bahkan Tomi melarangku meminta bantuan pada Daniel jika semua ini hanya untuk perusahaannya. Aku terpaksa, dia akan memaksa Amanda untuk menikah secepatnya jika aku tidak menuruti keinginannya. Itu sebabnya aku harus pergi, aku tidak mau Amanda merasa stress menghadapi pernikahan sementara bayi kami belum lahir. Dia pasti akan sangat tertekan. Daniel orang yang sangat berkuasa, aku yang hanya orang biasa, tidak bisa apa-apa."
Bu Restanti terluka melihat Damian kebingungan.
"Kalau begitu, kita harus pergi demi kebaikan calon bayi kalian," ucapan Grandi membuat Damian dan ibunya terpanah.
"Mas! Apa kau sadar, apa yang baru saja kau katakan?" Bu Restanti menolak pergi. Dia sangat menyayangi Amanda dan bertekad menunggu kelahiran cucunya.
"Sadar, Bu. Apa yang dikatakan Damian ada benarnya. Apa yang akan kita katakan jika Amanda datang mencari Damian pada kita? Kita tidak bisa mengatakan apa-apa. Maka dari itu, jangan membuat putra kita semakin pusing."
Bu Restanti jatuh terkulai di lantai.
"Aku tidak ingin pergi," ucapnya lemas.
"Bu, ibu!"
**
Tiga jam kemudian.
Mereka telah selesai dengan koper masing-masing.
"Kita mau kemana, Dam? Ayah hanya ingin bilang jika kami tak memiliki sedikitpun uang tabungan, Nak."
Damian menuntun ibunya ke mobil, langkahnya begitu berat. Ada rasa bersalah yang menyelinap di hati Damian melihat ibunya mau tidak mau menuruti keinginannya.
"Kemana saja, Yah. Aku masih punya beberapa, jika perlu. Aku akan kembali dan menjual rumah ini untuk modal hidup di kota lain."
Restanti merasa sesak mendengarnya.
"Ibu, tolong kuatlah," pinta Damian dan duduk di samping Ayahnya di kursi depan.
Malam itu juga, mereka mantap meninggalkan kota, Grandi semakin percaya dengan omongan Damian saat melihat sebuah mobil terus mengikutinya. Dia adalah anak buah Daniel yang mengikutinya hingga ke perbatasan.
"Kita di ikuti?" ucapnya khawatir.
Damian tampak tenang, Restanti menoleh ke belakang dan juga terlihat sangat ketakutan. Seumur hidup mereka, hal seperti ini tidak pernah terjadi.
"Mereka anak buah Daniel, mereka akan pergi saat tugasnya sudah selesai," ungkap Damian.
Benar saja, setelah melewati perbatasan. Mereka tak lagi mengikuti.
Kota yang dipilih Damian adalah kota Pare-Pare. Berangkat dari kota Makassar dengan segala kenangannya.
**
Hal yang sangat sulit bagi keluarga ini adalah menemukan tempat atau rumah baru. Berbeda dari kotanya berasal. Ada banyak rumah sewaan yang disediakan tanpa repot mencari. Damian dan Grandi bekerja sama menemukan tempat yang nyaman sebagai hunian baru mereka. Sementara di kursi belakang, Bu Restanti sedang tertidur
"Kota ini tidak buruk, tapi bagaimana kau akan menemukan pekerjaan di sini?" tanya sang ayah.
Sekarang pukul 07: 30 Pagi.
"Akan aku pikirkan nanti, Yah. Yang penting kita menemukan rumah terlebih dahulu."
Setelah bertanya pada orang-orang yang ditemuinya di jalan, Damian pun mendapatkan informasi tentang apa yang dicarinya.
Rumah sederhana dengan sewa yang lumayan.
"Aku menemukan rumah sementara, Yah. Kita akan menuju kesana," ucap Damian menyerahkan alamat.
Grandi tersenyum kecut di buatnya.
"Ada apa?" tanya Damian bingung.
"Kau tahu, ayah baru menginjakkan kaki di kota ini karenamu. Kau memberikan alamat, mana ayah tahu harus mengambil jalan apa?"
Damian meringis mendengarnya.
"Tenang, Yah. Ada maps."
Damian merogoh kantongnya, mencari sesuatu.
"Sepertinya kau lupa, jika telah merusak sesuatu semalam," ucap sang ayah membuat Damian memukul jidatnya sendiri.
"Oh tidak!"
Grandi menyerahkan ponsel Damian, lelaki itu berusaha mengaktifkannya kembali sambil berdoa.
"Ayolah, menyala!"
Ponsel pun hidup tetapi layarnya putih semua, Damian terkesiap merutuki kebodohannya.
"Apa yang telah aku lakukan!"
"Sudahlah, ayo pergi mencari sambil bertanya. Soal ponselmu nanti kita perbaiki," ucap Grandi kasihan.
Damian tampak kalut, nomor ponsel Amanda berada di dalam sana. Walau dia tak dapat lagi menemuinya, Damian tidak berpikir untuk berhenti bertukar kabar dengan ibu dari calon bayinya itu.
"Ayah, benar. Mari selesaikan soal kontrakan dulu."
Mereka kembali melaju, menikmati udara segar kota Parepare. Dalam perjalanan mencari kontrakan, Damian melihat gedung-gedung perkantoran di sana.