Tomi hanya mengintip kebersamaan Damian dan Amanda, meski mereka telah berpisah, keakraban keduanya masih terjalin baik. Beberapa menit kemudian, Damian keluar dari ruangan.
“Pa, tolong jaga Amanda, aku keluar sebentar.”
Tomi dan Rama memandangnya.
“Baiklah, tapi kau masih kembali 'kan? Papa tak punya uang untuk membayar biaya rumah sakitnya,” ucap Rama.
Damian mengangguk mantap.
“Pasti, aku akan kembali sekalian untuk membayar biaya administrasinya.”
“Perlu ku temani?” tawar Tomi.
Damian menggeleng dan menepuk bahu lelaki itu.
“Tidak usah, tunggulah aku disini,” ucap Damian lalu pergi dengan terburu-buru.
Tomi terkesiap melihat itu.
‘Mau kemana dia?’ batinnya.
Tak berselang lama setelah kepergian Damian. Soya- mama Amanda datang ke rumah sakit bersama dengan Daniel. Pertemuan keluarga yang di rencanakan wanita itu terpaksa bubar karena Daniel berkeras ingin melihat keadaan calon istrinya.
Tomi dan Rama telah berada di dalam ruangan saat Soya tiba bersama lelaki itu.
Klik.
Pintu terbuka, Tomi yang duduk di sisi brangkar dekat dengan Amanda langsung mendongak melihat kedatangan mereka.
Ada rasa segan yang di tunjukkan Daniel pada Tomi, hal itu jelas terlihat karena Daniel tertunduk saat bertatapan langsung dengannya.
“Kau, sedang apa kau disini?” Soya langsung merundungnya, wanita itu menatap kesal pada Tomi.
Amanda dan Rama terkejut melihat kedatangannya. Belum sempat Tomi menjawab, Rama berbalik menanyai istrinya.
“Mama ngapain di sini? Bukannya mama bilang nggak bisa datang karena ada tamu?” Rama melirik Daniel yang berdiri di samping istrinya.
Soya sedikit gelagapan. Sikap Rama seolah tak suka melihat kedatangannya.
“Emang kenapa kalau mama datang kesini? Amanda juga anak mama kan.”
Tomi tersenyum miring mendengarnya. Dan, hal itu sempat di lihat oleh Soya.
“Maksud kamu apa seperti itu?” todongnya.
“Ma, tolong hargai Tomi. Dia sahabat Amanda, Ma.” Manda pun angkat suara untuk membela sahabatnya.
“Sahabat? Sejak kapan kau bersahabat dengan seorang lelaki?”
Ekspresi Tomi semakin menjadi. Membuat Soya geram melihatnya.
“Kenapa Tante nggak tanyakan saja pada lelaki yang ada di belakang Tante itu,” tunjuknya pada Daniel.
Soya mengerutkan kening, sejauh ini. Dia memang tidak tahu apa-apa tentang pergaulan Amanda putrinya.
“Nak Daniel, apa kau mengenalnya?”
Daniel mendongak. Dia menatap Tomi dan Amanda bergantian.
“Aku semakin yakin jika Amanda hanya dijadikan alat penghasil uang oleh Tante, bahkan siapa temannya? Sahabatnya pun tante tidak tahu. Oh, bagaimana bisa. Bahkan Tante rela memisahkan dua hati yang saling mencintai walau keadaan Amanda sekarang tengah hamil,” ucap Tomi menekan kata hamil dan menatap Daniel.
“Apa urusannya dengamu. Lebih baik kamu keluar sebelum aku panggilkan security.”
Tomi tidak ingin membuat keributan, dia lalu menyentuh wajah Amanda, menangkupnya dengan kedua tangan membuat sahabatnya itu spontan menatapnya.
“Jaga dirimu, jika terjadi sesuatu hubungi aku,” bisiknya.
Amanda mengangguk pelan.
“Om, saya pamit dulu. Jika butuh bantuan hubungi saya saja.”
“Terrimakasih, Nak Tomi,” ucap Rama.
“Sama-sama.”
Tomi melangkah keluar, pandangannya tak beralih pada Daniel hingga dia melewatinya dan menghilang di balik pintu.
“Papa apa-apaan sih? Ngapain papa ngabarin dia, jika Amanda sedang di rawat?” sayup-sayup terdengar protes dari mulut nyonya Soya.
Tomi benar-benar tak habis pikir melihat sikap wanita itu. Saat akan melangkah keluar dari gedung rumah sakit, lelaki itu bertemu dengan Damian.
“Bro, sebaiknya kau tidak usah masuk," ucapnya menahan langkah Damian.
“Eh, Tom. Ada apa?”
Tomi menjelaskan keadaan di dalam sana, Damian meremas kantongan yang di bawahnya dengan kesal.
“Apa itu?” tanya Tomi penasaran.
Damian menggeleng, lalu dua detik kemudian kantongan itu berpindah tempat ke tangan Tomi.
"Charger, untuk apa?"
Damian tidak menjawab, lelaki itu lalu menuju ke bagian administrasi untuk membayar biaya tagihan rumah sakit.
“Kau tidak menjawabku? Kau buru-buru keluar dan meninggalkan Amanda hanya untuk membeli benda ini," cecar Tomi.
“Aku membutuhkannya, aku pikir akan bisa kembali kesana sebelum mama datang.”
“Cih, dia tak pantas di sebut mama, Damian. Dia orang paling jahat yang pernah ku temui.”
Damian mengabaikan ucapan Tomi dan fokus pada resepsionis.
“Tolong, Sus. Saya ingin melunasi biaya rumah sakit atas nama Amanda Sarasvati.”
“Baik, Pak. Tunggu sebentar, ya.”
“Ini semua tagihan yang perlu di bayar.”
Tomi melirik nominalnya lalu menatap Damian. Lelaki itu dengan santainya mengeluarkan uang pas membuat Tomi bangga.
“Baiklah, ini Pak bukti pembayarannya.”
“Terimakasih.”
Damian mengajak Tomi keluar.
“Apa kau ingin langsung pulang?” tanya Tomi saat memasuki parkiran.
“Tidak, aku ingin menunggu. Siapa tahu mama keluar dan aku bisa masuk untuk berpamitan dengannya.”
Tomi tak habis pikir mendengar ucapan Damian.
“Terbuat dari apa hatimu itu, Dam? Kau tahu pasti jika yang kau sebut mama itu membawa lelaki lain untuk menemui ibu dari calon bayimu.”
“Aku tahu, aku disini bukan untuknya. Tapi, untuk Amanda dan janin dalam kandungannya.”
Tomi mengangguk pelan. Harus dia akui jika cinta Damian memang begitu luar biasa.
“Kau tidak pulang?” tanya Damian balik.
“Tidak, aku berharap bisa menyaksikan perjuangan cintamu dengan mata kepala sendiri.”
Damian tertawa mendengarnya.
“Terimakasih, Bos. Sampai detik ini kau selalu mendukungku.”
Mereka asyik berbincang, Damian memasukkan charger yang baru di belinya ke dalam saku celana. Hampir dua jam di kerumuni nyamuk, orang yang di tunggu akhirnya keluar.
“Itu dia, tapi dimana tante Soya?” ucap Tomi memberi petunjuk pada Damian.
“Sepertinya mama akan menginap untuk menemani Amanda.”
Tomi berjalan mendekati mobil Daniel. Damian mengikutinya dari belakang.
“Pak, apa yang kau lakukan?” Damian memperingatkannya.
“Aku ingin memastikan sesuatu,”
Langkah Daniel terhenti saat melihat Tomi dan Damian berjalan ke arahnya.
Dari tampang Tomi, Daniel sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Wah, wah. Apa kabarmu Daniel, lama tidak bertemu,” ucap Tomi dengan senyum di buat-buat.
Damian memperhatikan kedua lelaki itu. Aroma persaingan jelas terlihat di wajah keduanya.
“Baik, bisa di bilang sangat baik untuk sekarang.”
Tanpa basa-basi, Tomi mencengkram kerah baju lelaki itu. Damian sempat panik melihatnya.
“Wow, wow, santai saja. Tidak perlu memakai kekerasan,” seru Daniel melepas tangan Tomi yang menyentuh tubuhnya.
“Aku tahu kau dalang dari semua penderitaan Amanda, b******k! Kau merencanakan semua ini, bukan? Perpisahan Amanda dan Damian pasti ulah campur tanganmu.”
Daniel tersenyum penuh arti.
“Kenapa kau perlu mencari alasan untuk pernikahan yang telah kandas, Amanda telah berpisah dan dia bukan milik siapapun juga. Jika aku disini dan di terima, itu bukanlah salahku.”
“Kau!” Tomi naik pitam dengan sikap senga yang di perlihatkan lelaki itu.
“Dia sedang hamil buah hatiku, hubungan kami baik-baik saja walau pengadilan memutuskan kami tak bersama,”
Daniel menatap Damian dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Oh, jadi kaulah mantan suaminya. Dengar, Bung. Kau hanyalah masa lalu dan akulah masa depannya. Soal anak kalian, tenang saja. Aku hanya akan menikahi Amanda setelah melahirkan bayinya.”
Damian terkesiap.
“Tak bisakah kau mencari wanita lain? Kenapa kau harus menunggu Amanda.”
Pandangan mereka bertemu, kilatan amarah jelas terpatri dalam sorot mata Damiann
“Karena aku menginginkannya. Aku tak menginginkan wanita lain selain dirinya, bukan begitu, Tom?”
Tomi mengepalkan tangan, sepertinya keduanya tak memiliki hubungan baik.
“Akan kulakukan apapun agar kau tak menganggu Amanda,” pinta Damian.
“Apa yang bisa kau berikan? Aku punya segalanya," ucap Daniel pongah.
“Terserah, aku hanya ingin kau menjauhinya sebelum dia benar-benar melahirkan. Jangan membahas apapun pada mama, jangan mengungkit pernikahan.”
“Ternyata kalian tahu banyak hal, baiklah. Aku akan mengabulkan keinginanmu itu. Tapi, kau harus berjanji akan pergi dari kehidupannya selamanya.”
“Jangan lancang kau, Daniel!” umpat Tomi.
“Aku bicara padanya bukan padamu. Jika dia mau menepati janjinya maka aku akan menunggu sampai bayi mereka lahir.”
Damian bimbang, dia tak dapat memutuskan.
“Jangan dengarkan dia, Dam. Lelaki itu telah mengejar istrimu dari dulu.”
Daniel terkekeh mendengarnya.
“Lalu bagaimana denganmu?” Bukankah yang kau lakukan lebih parah dariku.”
“Tutup mulutmu, b******n!”
Damian menutup kedua telinganya.
“Hentikan! Baik, aku akan melakukannya. Tapi, izinkan aku menemuinya saat dia akan melahirkan.”
“Dill”
Daniel meraih tangan Damian dan bersalaman di depan Tomi.
“Jika kau merasa dirimu lelaki, maka tepati ucapanmu.” Daniel meninggalkan mereka dan masuk ke dalam mobil. Dengan cepat lelaki itu menyalahkan mesin mobil dan meninggalkan area parkiran.
“Apa yang baru saja kau lakukan, Dam. Kau menyetujui untuk menjauhi Amanda? Dia licik, dia bisa melakukan apa saja!"
Damian tersungkur di tempatnya.
“Aku tidak tahu, aku hanya ingin melindunginya. Ya, ini adalah keputusan terbaik. Walau kami tidak akan bertemu, aku ingin Amanda tidak stress menjelang hari lahiran. Setidaknya dia tidak di paksa menikah dalam keadaan mengandung.”
“Kau mudah terkecoh, lawanmu bukan lah orang yang jujur!"
Damian tidak peduli, baginya kini. Kesehatan mental sang mantan istri menjadi prioritasnya.