Chapter 31 rumah disita

1174 Kata
Amanda menunggu kedatangan Damian. Hingga larut malam wanita itu masih terjaga, tapi mantan suaminya itu tak kembali. Ponsel yang di titipkan Damian di pandangnya lekat. Amanda tak ingin ketahuan, jadi diputuskannya untuk menonaktifkan ponsel itu sampai kembali ke rumah. “Ada apa, Nak? Kenapa belum tidur juga?” tanya Rama. Manda yang tadinya duduk, kini berbaring menutupi dirinya dengan selimut. “Tidak apa-apa, aku terbangun tadi. Selamat malam, Pa.” Manda kembali terpejam dengan puluhan tanya dalam benaknya. ** Waktu berlalu, Soya semakin uring-uringan. Wanita itu mondar-mandir tak jelas di hadapan putrinya dengan raut wajah gelisah, Amanda memilih untuk tidak peduli. Dua hari berlalu, dan keadaannya masih sama. Bedanya, kali ini Soya tak meninggalkan Amanda walau hanya sebentar. “Amanda sudah bisa pulang, kita rawat di rumah saja. Lagi pula keadaannya sudah membaik,” ucap Nyonya Soya siang itu. Amanda sedang menikmati makan siang yang di sediakan rumah sakit. “Apa dokter yang menyarankan atau ini keputusan mama?” tanya Rama curiga. “Apa-apaan sih, Pa? Tempat yang lebih baik untuk wanita hamil memang di rumah, Papa nggak usah nyolot. Emang papa bisa bayar biaya rumah sakitnya?” Napsu makan Amanda menguar begitu saja. “Damian telah melunasinya,” ucap Rama tenang. “Damian! Lelaki miskin itu sok-sok'an membayar biayanya. Kapan dia datang? Kenapa mama tidak tahu?” Amarah nyonya Soya terpancing. “Beberapa menit setelah Amanda tiba di rumah sakit, dia datang begitu cepat dan melunasi biaya perawatan Amanda untuk lima hari ke depan. Dia meninggalkan pekerjaan atau apapun itu demi mantan istri dan calon bayinya, sedangkan kau. Kau bahkan tidak mau mengantarkan anakmu dengan alasan akan kedatangan seorang tamu.” Rama dengan tegas menentang sikap angkuh istrinya. “Oh, jadi papa berpihak kepadanya, iya!” “Pa!” sela Amanda. “Tenang sayang, papa memang udah gedek sama mama kamu.” Raut wajah Soya semakin tak karuan. “Kau tahu, aku merasa lebih bodoh dari Damian. Aku bahkan bertahan denganmu walau kau tak pernah menghargai aku!” Soya mematung dengan wajah terperangah. “Jika bukan karena ingin menjaga Amanda dan calon bayinya. Aku pastikan akan mengakhiri hubunganku denganmu!” ucap Rama kecewa. Soya tak pernah melihat kemarahan yang luar biasa seperti ini. Suaminya itu melangkah keluar, untuk menenangkan diri. Amanda menatap mamanya iba, wanita itu merasakan pilu saat mamanya tak bisa berkata-kata. “Pa, mau kemana kamu?” Soya akan mengejar, saat melihat pintu terbuka lebar dan suaminya tak lagi di sana, membuat wanita itu semakin terpuruk. Soya jatuh menangis, sikapnya yang angkuh roboh oleh sikap dingin suaminya. Amanda ingin sekali memeluknya, tetapi dia kembali berpikir. Apa yang dilakukan papanya tidak salah. Mamanya memang keterlaluan hingga ingin melenyapkan bayi dalam kandungannya. Disela tangis wanita itu, Soya menatap Amanda yang bergeming. Sungguh dia telah menghancurkan hati semua orang demi kepentingannya sendiri. “Manda, lihat apa yang dilakukan papa kamu.” Amanda yang mendengar keluhan mamanya, memilih membuang pandangan dan kembali berbaring. Soya benar-benar di acuhkan. “Baiklah, sepertinya tidak ada yang peduli dengan mama lagi.” Amanda terlanjur sakit, hatinya tak tergerak walau mamanya tersungkur tak berdaya. Soya meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumah. Tangis Amanda jatuh berlinang, setelah kepergiannya. Dadanya sesak melihat keadaan keluarganya. Waktu kembali berlalu, hingga hari kelima. Baik Damian maupun Soya tak datang ke rumah sakit. Rama mengurus sendiri kepulangan putrinya. Sikap Rama membuat Amanda terharu. “Pa, terimakasih karena mau mengurus aku,” ucap Manda saat Rama membereskan semua barang-barang yang akan di bawah pulang. “Kamu bicara apa, Nak? Ya wajar lah, kamu kan anak papa.” Manda menautkan jari-jarnya, tertunduk dalam lalu berkata. “Tapi, aku juga anak mama, Pa. Tapi mama menunjukkan sikap yang berbeda.” Sejenak Rama tertegun, lalu kembali melanjutkan kegiatannya. “Jangan hiraukan mama kamu, kau tahu dari dulu dia sudah seperti itu.” “Ya, dan papa masih mencintainya.” Rama tersenyum dan membantu Amanda duduk di kursi roda. “Cinta itu buta, kan. Sama seperti kau yang telah memilih Damian. Walau kau tahu jika mamamu akan sangat marah jika tahu dia bukan type yang dia inginkan.” Amanda tersenyum untuk pertama kalinya. “Papa benar, cinta itu buta hingga segala ketidak sempurnaan dapat tertutupi.” “Ayo pulang, Nak. Mulai sekarang papa yang akan menjagamu.” Amanda merasakan hikmanya, sejauh ini. Rama lebih berani dan tegas. Dia menjelma menjadi sosok ayah yang di idam-idamkan Amanda selama ini. Perjalanan memakan waktu hingga 20 menit, Rama membawa mobil dengan pelan, agar Amanda merasa nyaman. Saat tiba di rumah, keduanya terkejut melihat papan bertuliskan peringatan terpampang di pagar. Rumah ini akan disita, segera tinggalkan dalam waktu 2x 24 jam. “Pa,” ucap Manda bergidik. “Apa-apaan ini?” Rama keluar dari mobil. “Tunggu di sini, papa akan menemui Mamang.” Langkah Rama tegas menghampiri post security. Lagi-lagi keningnya berkerut saat tidak menemukan siapa-siapa disana.” “Mang! Mamang, kemana kalian. Bibi!” teriak Rama dan mengetuk besi pagar dengan batu. Tak ada siapapun menyahut hingga mau tidak mau dia harus menghubungi istrinya. Panggilan tersambung, tapi tidak ada yang mengankat. “Sial, kemana semua orang?” umpatnya. Rama terus mencoba, hingga panggilan ketiga. Telepon akhirnya di angkat. “Hallo.” “Kamu dimana? Kenapa tidak ada security di rumah. Tidak ada Bibi, minta mereka membukakan pagar!” Soya mematikan panggilannya, nada suara suaminya tak ada lembut-lembutnya. “Ada apa, Pa?” tanya Amanda. “Nggak ada apa-apa sayang, tunggulah di sana.” Rama menurunkan papan peringatan itu dan menyimpannya di sudut pagar. Nyonya Soya keluar dari rumah dengan perasaan yang kacau. Rama tertegun melihat keadaan istrinya, lebam di sisi pipi kanan, dan lengannya membuat Rama mematung. Dua hari tak bertemu dan Soya terlihat mengerikan. Soya membuka gembok yang ada di pagar, tanpa suara lalu meninggalkan suaminya yang tercengang. Bukan hanya Rama, bahkan Amanda pun terkejut melihat keadaan mamanya. “Pa, apa ini serius?” tanya Amanda khawatir. “Entahlah, sebaiknya kita masuk dulu.” Mobil di parkirkan di halaman, Rama menutup kembali menutup pagarnya lalu membantu Amanda keluar dari mobil. Mereka melangkah masuk dengan hati-hati. Pemandangan di ruang tengah membuat Amanda dan Rama kembali tak bisa berkata-kata. “Dimana bibi? Kenapa rumah berantakan nggak ada yang beresin?” Soya hanya diam di sofa. “Ma, kenapa kau tidak menjawab aku? Dimana semua orang? Bibi! Bibi! Dimana kalian?” Soya terseyum miring melihatnya. “Mereka semua sudah di pecat, Bibi, Mamang. Semuanya.” “Kenapa? Kenapa mama pecat?” Soya yang telah bersabar dari tadi menatap tegas kearahnya. “Karena mama nggak mampu menggajinya, karena kita harus keluar dari rumah ini paling lambat hari ini, puas!” Rama dan Amanda tercengang. “Kita nggak bisa bayar hutang, lelaki yang akan menikahi Amanda mundur. Uang sebanyak itu mau mama dapatkan dari mana?” Manda hampir saja terjatuh andai Rama tidak menahan tubuhnya. “Apa ini permainanmu lagi? Kau ingin membodohi siapa?” Soya tak percaya mendengar kata-kata itu keluar dari mulut suaminya. “Apa wajah lebam ini seperti sandiwara? Kita bahkan tidak memiliki apapun. Mobil pun disita, tak ada lagi barang berharga. Apa aku sehina itu membuat lelucon seperti ini untuk kalian?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN