Soya dan Rama terbelalak mendengar teriakan Bibi dari ruang tengah, keduanya saling pandang dan memastikan apa yang mereka dengar adalah salah.
“Nyonya! Tuan! Non Amanda jatuh.”
Bergegas keduanya keluar dari kamar dan menuruni tangga, Amanda tepat berada di bawah dengan luka dikening tergeletak tak sadarkan diri.
“Manda!” teriak Rama khawatir.
Lelaki segera menghampiri dan mengankat tubuh putrinya.
“Kenapa ini bisa terjadi?” tanyanya panic. Sementara itu sang istri masih mematung di tangga.
“Saya tidak tahu, Tuan. Tiba-tiba saja ada suara bunyi jatuh dan setelah saya hampiri tenyata Non Amanda.”
Rama bergerak cepat membawanya ke rumah sakit.
“Ma, mama mau ikut atau tidak?”
Soya tersentak dari lamunannya.
“Mama ikut, Pa.”
Mereka segera bergerak menuju ke mobil, Amanda di baringkan di kursi belakang dengan hati-hati.
“Tapi, kalau tamu mama datang gimana, Pa?”
Wajah Rama berubah kesal.
“Tamu! Tamu kamu bilang, Ma? Kalau begitu kau tidak usah ikut. Urus saja tamu berhargamu itu,” Rama mendorong Soya menjauh dari pintu mobil. Lelaki itu merasa kesal, Soya berubah. Bahkan tak memiliki rasa kepedulian lagi.
“Pa, dengerin mama.”
“Diam kamu, anakku memang tidak butuh kamu.” Raut wajah tegas dengan pandangan nyalang membuat Soya bergetar menghadapi suaminya. Wanita itu hanya bisa berdiri mematung saat mobil Rama berlalu membawa Amanda.
Rama sangat takut terjadi sesuatu yang buruk dengan kandungan putrinya, sejauh ini. Amanda rela berkorban demi mempertahankan calon bayinya.
15 menit kemudian.
Rama tiba di rumah sakit, segera dia mengeluarkan Amanda yang belum sadarkan diri. Para perawat yang melihat kedatangan mereka segera datang membantu.
“Tolong, dia hamil dan jatuh dari tangga,”ucapnya.
Perawat membawa brangkar dan meminta Rama menidurkan Amanda di sana.
“Baik, Pak. Kami akan segera memeriksa keadaannya. Baringkan pasien di sini.”
Rama menurutinya, lelaki itu membantu perawat mendorong Amanda ke ruang UGD yang tak jauh dari posisinya.
“Silahkan tunggu di luar.”
Luka di kening Amanda cukup parah, wanita itu terbentur pada ujung tangga yang dilapisi keramik.
“Maafkan papa, Nak. Harusnya papa menyiapkan perawat khusus untuk membantumu.”
Sesal pun kini tiada guna. Dokter berjalan terburu-buru dan memasuki ruangan dimana Amanda kini terbaring. Rasa khawatir semakin menjadi dan hanya dirinya yang ada di sana.
“Apa aku harus menghubungi Damian?” ucapnya menatap layar ponsel.
Rama terdiam cukup lama.
“Ya, sebaiknya aku menguhubunginya. Walau bagaimanapun juga, dia masih memiliki tanggung jawab pada calon bayinya.”
Rama tak memiliki uang untuk membayar rumah sakit.
Keputusannya mantap untuk mengabari Damian. Panggilan terhubung di ujung sana.
“Hallo,” suara lemah dan parau terdengar diujung telinga.
“Dam, Amanda jatuh dan masuk ke rumah sakit. Papa sedang menjaganya sekarang.”
Deg.
Tidak balasan di ujung sana.
“Dam, kau dengar papa? Kami berada di rumah sakit yang sama saat itu. Manda belum sadarkan diri.”
Tut tut tut.
Panggilan terputus. Rama tak percaya Damian melakukan ini.
“Mungkin sinyalnya buruk, akan aku telepon sekali lagi.”
Naasnya panggilan kedua berlalu begitu saja, telepon masih tersambung tapi tidak ada yang mengankatnya.
“Aku harus bagaimana?” Rama benar-benar pusing.
**
Damian masih di atap saat telepon masuk ke ponselnya, nama papa mertua tertera membuat lelaki itu mau tidak mau mengankatnya.
Tak habis cobaan yang menerpanya, Damian seperti orang kerasukan menuruni tangga dengan cepat, Tomi yang masih di ruangan staf mendengar langkah kaki terayun cepat.
“Hey, ada apa? Kenapa kau terburu-buru.” Tomi menahannya.
“Amanda jatuh dan sekarang berada di rumah sakit.”
Kedua lelaki itu sama paniknya dan segera keluar dari gedung perkantoran.
“Dam, pakai mobilku saja!” teriak Tomi.
Para staf yang ada di luar gedung menatap mereka bergantian.
“Aku akan menyetir, kau harus tenang, oke.”
Damian mengangguk, lelaki itu duduk tepat di samping Tomi yang siap untuk mengemudi.
“Rumah sakit mana?” tanya Tomi.
“Harapan Bunda.”
Dengan cepat mereka membela jalanan menuju ke rumah sakit, tidak ada obrolan. Semuanya fokus agar segera tiba.
10 menit kemudian, setelah berhasil menyalip dan mencari celah. Tomi dan Damian tiba di rumah sakit.
Setelah memarkirkan mobilnya, baik Tomi maupun Damaian segera keluar dan berlari menuju koridor mencari keberadaan Rama.
“UGD,” tebak Tomi.
Damian mencari letaknya dan ya, Rama berada di depan sana. Tertunduk memegang ponselnya. Lelaki itu telihat kacau dan sangat khawatir.
“Pa,” ucap Damian.
Rama mendongak, Damian tak mengecewakannya.
“Dia jatuh dari tangga, papa nggak tahu dia baik-baik saja atau malah,” Damian memeluknya.
Sungguh hubungan yang masih terjalin baik.
“Tenanglah, semoga Amanda baik-baik saja.”
Klik.
Pintu terbuka, Dokter keluar dan berdiri di hadapan mereka.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Tomi.
Damian melerai pelukannya dan menghampiri dokter.
“Apa bayi kami baik-baik saja?”
“Kondisinya sangat lemah, lagi-lagi pasien dehidrasi hingga mengalami pusing. Perutnya juga kosong, apa dia tidak makan?”
Damian dan Tomi kompak menoleh ke Rama.
“Pulang dari persidangan dia langsung mengurung diri di kamar.”
Damian sangat kecewa mendengarnya.
“Dokter, bagaimana dengan keadaan bayi kami?” ulangnya.
“Syukurlah, bayi dalam kandungannya baik-baik saja.”
Damian dan Rama bernapas lega.
“Apa kami bisa menemuinya?” tanya Tomi.
“Tentu, silahkan. Pasien sudah sadar.”
Damian segera menerobos pintu ruangan, suster yang baru saja memasang jarum infuse menoleh ke arahnya.
“Dam, kau disini?”
Damian mengangguk dan mendekatinya, kepala Amanda kini di perban membuat Damian menatapnya lama.
“Bagaimana dengan mama? Jangan sampai mama melihatmu, Dam.”
Damian menggeleng dan meraih tangan Amanda dan menciumnya.
“Hanya ada papa dan Tomi di luar, mama tidak di sini.”
Airmata Manda jatuh, dia menarik tangannya dan merasa sungkan.
“Kenapa? Apa aku menjijikan?”
Amanda menggeleng.
“Apa karena kau telah sukses menceraikan aku?”
Amanda tertunduk dengan rasa bersalah.
“Aku tidak marah, kau berhak mendapatkan yang terbaik.”
Amanda menahan bulir bening yang terus menyeruak.
“Apa kita masih bisa berteman?” tanya Damian.
Byur. Kata-kata itu sukses membuat tangis Manda membasahi pipinya.
Tangan Damian terulur, lelaki itu ingin memulai persahabatan. Sesak di hati Amanda tak bisa di bendung lagi.
“Hey, jangan menangis.” Suster segera keluar meninggalkan mereka.
“Hey, jika kau menangis. Aku akan menjadi teman yang buruk.”
Manda meraih tangan Damian dan menciumnya.
“Maafkan aku Damian, maafkan aku.”
Damian tak bisa menahan diri, lelaki itu duduk di tepi bragkar dan memeluk mantan istrinya.
“Aku memaafkanmu, kau tahu aku tidak bisa marah padamu.”
Tangis Amanda semakin kuat, tak ada penjelasan. Dan Damian tidak ingin Amanda mengetahui jika dia telah tahu semuanya.
“Bayi kita baik-baik saja, aku harap kau bisa menjaganya dengan baik. Jangan seperti ini lagi, oke.”
Amanda mengangguk patuh.
“Lihat, kau semakin kurus. Pipi tembem itu tak lagi di sana, dan aku tidak menyukainya.”
“Dam.”
“Aku serius, Amanda. Aku tidak mau kau masuk ke rumah sakit lagi, dengan gejala yang sama. Jika kau tak dapat makan, maka pikirkan kata-kataku ini. Tidak masalah jika kita sudah berpisah. Aku hanya ingin kau bahagia dan tetap cantik.”
“Apa kau menginginkan ini?” tanya Damian.
Lelaki itu mengeluarkan ponselnya.
“Untuk apa?” tanya Amanda.
“Agar aku bisa menghubungimu, agar aku bisa mengingatkanmu untuk makan tepat waktu.”
“Tapi,”
Damian tersenyum.
”Aku akan membelikan casnya sebelum kau pulang dari rumah sakit.”
“Kalau ketahuan mama.”
Damian menekan tombol hening, pada layar ponsel.
“Dia bisa tak bersuara, dia akan menemanimu membuat kita saling terhubung.”
Amanda tersenyum, hadiah ini membuatnya merasa lega.
“Kau bisa mengirimiku foto, atau aku yang akan mengirimimu foto. Aku akan membuatmu jatuh cinta lagi padaku hingga kau akan melamarku lebih dulu.”
Amanda tertawa dalam tangisnya.
“Aku tidak mau, dulu aku yang melamarmu dulu.”
“Kalau begitu kali ini aku yang akan melamarmu lebih dulu.”
Amanda tahu, itu tidak akan mungkin terjadi.