Selesai dengan pekerjaan yang di tugaskan, tak ada karyawan yang kembali dengan wajah yang meyakinkan. Semuanya menatap dengan pandangan datar.
“Bagaimana hasilnya? Kalian mendapatkan hasil?” Damian menatap semua orang.
Tak ada satu pun yang memberinya wajah ceria.
“Kami tidak tahu, Pak. Mereka tak memberikan jawaban.”
Tomi mendengarkan semua keluhan karyawannya.
“Ada yang tertarik, tapi hanya mengatakan akan menghubungi kami kembali nanti.”
“Baiklah, tidak apa-apa. Semangat, yang penting kita sudah melakukan yang terbaik. Oh ya, selamat tahun baru untuk kalian semua.”
Damian menyalami semua orang.
Sendu, tak ada rencana yang sesuai harapan.
“Selamat tahun baru, Pak. Selamat liburan.”
Kantor akan tutup selama lima hari. Tomi menghargai kerja keras semua orang, dia dengan suka rela menyerahkan bonus akhir tahun seperti tahun-tahun sebelumnya.
“Terimakasih untuk kerja kerasnya, seperti biasa kantor akan membagikan sedikit bonus.” Mereka yang sedang berkumpul terkejut melihat kemunculan Tomi.
“Ayo, atur posisi seperti biasa.” Para karyawan sangat senang. Mereka mengikuti arahan dan meneriman amplopnya dengan suka cita.
“Selamat tahun baru semuanya,” ucap Tomi.
“Sama-sama, Pak. Terimakasih atas bonusnya.”
Tiba giliran Damian dan Anita, keduanya kompak menolak bonus itu, membuat rekan-rekannya menatap aneh.
“Untuk bonus kami, tolong di simpan dulu, Pak. Kami ingin mengambilnya saat gaji keluar.”
Cara halus Anita pun digunakan oleh Damian.
“Begitupun dengan bonus saya, Pak.”
“Ambil aja, Nit. Nanti kita kumpul-kumpul kayak biasa, adain party,” seru yang lainnya.
Anita hanya bisa tersenyum canggung, lebih tepatnya dia meringis.
“Baiklah, kalau itu mau kalian.”
Tomi hanya bisa mengangguk.
“Kalau begitu kami pamit pulang, Pak. Selamat tahun baru.”
Semua karyawan berpamitan satu per satu. Hingga kini yang tersisa hanya tinggal Damian, Anita dan Tomi. Serta Amanda di ruangan lainnya.
“Aku punya kabar lain, mari bicara,” Anita tampak begitu serius.
Tomi dan Damian pun mengikutinya.
“Ada apa?” tanya Tomi saat mereka sampai di ruangan lelaki itu.
“Saat pembagian brosur oleh para karyawan tadi, kami di cegat oleh beberapa orang.”
Damian tidak heran akan itu.
“Memangnya kau membawa timmu, kemana, Nit?”
Anita menceritakan tempat-tempat yang di datanginya. Tempat umum yang tidak melanggar aturan. Strategis dan tak terkecuali dia membagikan flayer di lampu merah.
“Aneh,” ucap Tomi heran.
“Sebenarnya tidak aneh, aku pun bertemu dengan orangnya Daniel tadi, aku yakin dia mengikutiku,” pernyataan Damian tak kalah membuat semua orang tercengang.
“Apa kau yakin dia orang-orangnya Daniel?”
“Ya, aku sangat yakin. Dia yang mengusirku saat aku akan menemui lelaki itu di kantornya.”
Tomi menghela napas.
“Artinya mereka tertekan, walau merasa perusahaan-perusahaan itu kecil. Daniel rupanya tetap mengawasi kita. Oke, tidak apa-apa jika kita tak dapat klien, kita telah melakukan segala yang terbaik dan itu sudah sangat cukup.”
Tomi tersenyum penuh kebanggaan, sebaliknya Anita mau pun Damian tidak mengerti kenapa suasana hati bosnya malah terlihat begitu tenang.
“Oh iya, kalian boleh pulang. Selamat berlibur, aku akan menemui pak Wijaya secara pribadi setelah ini.”
“Untuk apa, Pak?” Anita sang sekertaris mengkhawatirkannya.
“Untuk berterimakasih, dan ya kalau pun dia ingin mundur aku tidak menyesal, kehilangan kejayaan.”
Tomi tidak ingin terlihat lemah di depan orang lain, lelaki itu bangkit dan meraih jas yang ada di kursinya.
“Ini bonus kalian, jangan memperlakukan aku seperti pria bangkrut.”
“Tapi, Pak.”
“Aku yakin takdirku untuk gulung tikar, bukanlah karena lelaki itu, oke. Kalian santai saja dan nikmati pergantian tahun.”
Anita dan Damian tertunduk, mau tidak mau dia harus menerima amplop itu.
“Oh iya, tolong tetap rahasiakan semuanya. Terutama pada Amanda,” ucap Tomi.
Damian mengangguk. Dan mereka pun bubar. Bersamaan dengan itu, Amanda keluar dari ruangan. Tomi berlalu tanpa menoleh. Lelaki itu menghindari Amanda untuk saat ini.
“Kok sepi?” tanya Amanda heran.
Anita yang ada di hadapannya menyerahkan amplop milik wanita itu.
“Sekarang tahun baru, kantor tutup. Ini bonusmu dari pak Tomi,”
Amanda meraihnya dengan senang hati.
“Oh ya, apa kantor mengadakan acara?” tanya Amanda antusias.
Damian menggeleng.
“Tidak, sebaiknya aku mengantarmu ke papa.”
Damian menggapai tangannya lalu membawanya keluar.
“Eh Dam, kenapa kau buru-buru? Bye Nit,” seru Amanda tergesa-gesa.
Anita membalasnya dengan melambaikan tangan.
Tiba di parkiran mereka langsung masuk ke dalam mobil. Damian terlihat sangat tegang membuat Amanda terus mengamatinya.
“Ehm, kamu nggak jawab aku, Dam? Liburan nanti kamu mau kemana?”
“Aku tak punya acara, aku hanya di rumah bersama ayah dan ibu.” Damian seolah tak berselera.
Mobil meninggalkan kantor, Amanda yang gelisah meminta Damian berhenti.
“Dam, stop.”
Perlahan mobil melambat, Damian menunggu apa yang akan di katakan oleh calon ibu dari bayinya itu.
“Aku nggak mau ke papa, aku nggak mau pulang.”
Wajah Damian terlihat bingung.
“Lalu kau mau kemana? Lihat, hujan sebentar lagi turun. Sekarang musim pancaroba, sebaiknya kau jangan kemana-mana.”
Amanda menatap kikuk, ragu untuk bicara.
“Di tanya kok diem. Kamu mau kemana?”
“Ke rumah, aku ingin bertemu dengan ibu dan makan sup kepala ikan buatannya. Sebentar lagi tahun baru dan aku masa ngidam.”
Damian terpaku di tempatnya, lelaki itu terlihat bingung untuk mengambil sikap. Terdiam cukup lama, membuat Amanda memikirkan hal yang tidak-tidak.
“Apa kau mengajak seseorang pulang?”
Entah apa yang terjadi atau mungkin semuanya masalah hormone hingga Amanda selalu merasa cemburu untuk sesuatu yang tidak jelas.
“Tidak, aku tidak mengajak siapapun. Aku hanya memikirkan tentang bagaimana dengan mama. Kau tahu dia akan marah besar saat tahu kau bersamaku.”
Amanda cemberut.
“Dan, ya. Ibu sedang berada di rumahnya sendiri. Jadi kau belum bisa menikmati sup kepala yang kau mau malam ini.”
Canggung, suasana berubah kikuk. Amanda tidak lagi bersuara dan menatap keluar jendela. Damian menatap jam tangan miliknya, masih ada waktu beberapa jam sebelum jam kerja Rama selesai.
“Baiklah kalau kau tidak percaya, aku akan membawamu pulang.”
Mobil bergerak, tapi tak dapat mengubah ekspresi Amanda. Wanita itu terlanjur kesal,
“Aku tidak ingin kembali denganmu, aku ingin menemui papa. Tolong antarkan aku kepadanya.”
Damian hanya bisa terpaku. Entah sikapnya yang mana yang telah menyinggung perasaan wanita itu.
“Maafkan aku, tapi ibu memang benar-benar tak ada di rumah kita,” ucap Damian lagi.
Kali ini pandangan keduanya bertemu, ada sesak di hati Amanda yang tak bisa di jelaskan..
“Aku tahu,”