Amanda dan Anita memutuskan untuk mencari keberadaan Tomi dan Damian. Mereka tak memiliki banyak waktu, dan segera bergegas.
"Kita akan kemana? Gue udah ke kantor dan hasilnya nihil."
Amanda masih berusaha menghubungi Tomi.
"Kita ke rumahnya, jika dia tidak ada dimanapun. Dia pasti ada di rumahnya. Gue tahu kok alamatnya, jalan aja nanti gue tuntun."
"Oke." Anita bergerak sesuai perintah.
Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di rumah Tomi. Amanda yang telah mengenal baik lelaki itu segera keluar dan menemui security yang bertugas.
"Pak, masih ingat saya kan?" ucap Amanda sembari melambai dan menampilkan wajah ceria.
"Nona Amanda, tentu Non. Silahkan masuk," seru lelaki itu.
Anita takjub melihat itu.
"Terimakasih, Pak."
Amanda dan Anita tak membuang kesempatan dan segera masuk ke kediaman Tomi. Kehadiran Amanda di sambut baik oleh para pelayan yang bertugas.
"Selamat siang, Nona. Ada yang bisa kami bantu?"
"Kami datang untuk mencari Tomi, teleponnya tidak aktif. Mungkin baterainya habis. Apa dia ada di dalam?"
Para pelayan hanya bisa saling pandang.
"Kok diem sih, kami sedang buru-buru nih."
"Maaf, Nona. Tapi, dari kemarin Den Tomi belum juga kembali. Kami pun tidak tahu beliau ada dimana sekarang."
Amanda menghela napas, gerah sekaligus lelah. Aktivitas yang dilakukannya membuat Amanda mudah sekali berkeringat. Memasuki trimester ini, Amanda gampang capek.
"Aduh gimana dong, kita cari kemana lagi. Gimana kalau mereka mundur. Perusahaan Pak Tomi bisa saja kembali seperti semula dan kita bisa kembali bekerja. Tapi, kalau beliau tidak bisa si temukan. Lalu bagaimana dengan nasib kita," Anita terus ngedumel.
"Tunggu dulu," Amanda menoleh pada pelayan.
"Apa Tomi telah membeli ticket untuk perjalanannya keluar negeri?"
Para pelayan kompak menggeleng.
"Hah, lega."
"Kami menggeleng bukan karena tahu, tapi karena tidak tahu, Nona. Kalau soal barang Tuan muda, memang belum selesai di packing."
"Yess," ucap Amanda dan Anita senang.
"Berarti dia masih di Indonesia, kita harus menemukannya sebelum jam makan siang tiba."
Mereka kembali bergerak.
"Eh, lupa. Jika Tominya pulang. Tolong minta dia hubungi saya, ya," pinta Amanda pada para pelayan.
"Baik, Nona."
Waktu semakin sempit, Amanda dan Anita memilih berpencar untuk mencari keberadaan Tomi.
"Kayaknya akan sulit menemukannya jika kita jalan bersama. Sebaiknya kita berpisah. Gue akan mencari ke tempat Pak Tomi biasa nongkrong. Dan, lo coba ingat-ingat, kemungkinan terbesar dia ada dimana mungkin aja lo tahu."
Ide Anita sangat bagus dan Amanda setuju.
"Oke, turunin gue di depan, gue akan naik taksi. Kita akan saling mengabari jika telah menemukannya."
Setelah kesepakatan mereka, Amanda pun berpindah kendaraan beberapa menit kemudian. Ponsel Damian masih tidak aktif. Amanda berpikir untuk menemuinya lalu mencari Tomi bersama-sama.
Tiba di tempat tujuan, rumah yang pernah menjadi tempat tinggalnya itu begitu sepi. Amanda membayar biaya taksi dan berjalan mendekat. Pagar terkunci, perasaan wanita itu mulai tak enak.
"Tumben, pagarnya di kunci. Damian kemana? Ibu dan Ayah kenapa rumah terlihat sunyi?"
Amanda ragu untuk berteriak, dia yakin tak ada orang di rumah sekarang.
"Apa mereka di rumah lama, ya?" Sibuk memikirkan Damian, Amanda lalu tersentak saat ingatan tentang Tomi kembali membuatnya panik.
"Astaga, apa yang telah aku lakukan. Aku harus mencari Tomi sekarang."
Amanda berjalan keluar dari perumahan, langkahnya terayun dengan santai lalu menahan ojek yang kebetulan lewat.
"Bang, Bang! Ojek kan? Antar saya ke kantor," ucap Amanda antusias.
"Dimana kantornya?"
"Tomi Corporation," ucap Manda lantang.
Kang ojek pun menyanggupi. Mereka bergegas kembali ke kantor. Di tengah perjalanan, sosok Tomi terlihat di taman, Amanda sangat senang dan memukul bahu kang ojek itu berkali-kali.
"Bang, berhenti. Di sini aja!"
Sepeda motor yang mereka kendarai sempat oleng. Amanda tak ingin kehilangan Tomi lagi, dia sangat bersemangat dan kembali memukul tukang ojeknya.
"Bang, disini aja berhenti!"
"Iya, Neng."
Amanda mengeluarkan uang lembaran berwarna hijau lalu berlari ke seberang. Dia sangat antusias hingga tidak memperhatikan arah kanan dan kirinya.
"Neng, awas!" teriak Kang ojek membuat Tomi yang sedang melamun spontan menoleh.
Sebuah minibus melaju dengan cepat ke arah Amanda, tetapi wanita itu tak menyadarinya dan justru tersenyum melihat Tomi yang ada di seberang jalan.
"Manda! Awas!" teriak Tomi. Raut wajah khawatir jelas terpampang di sana.
Tomi bergegas, lelaki itu berlari sekuat yang dia bisa. Mobil itu semakin dekat, Amanda yang baru menyadarinya berteriak sembari menutup kedua mata dengan tangannya sendiri.
"Achh!!"
Sleup.
Wanita itu mendarat di rumput dengan posisi Tomi berada di atasnya. Lelaki itu terengah, tangannya mengepal kuat dan langsung berdiri.
"b******k! Berhenti lu kalau berani!"
Amanda gemetar, mobil minibus berwarna hitam itu tak berhenti meski tahu dia baru saja hampir menabrak seseorang. Tukang ojek yang di tumpangi Amanda segera mendekat dan menolongnya.
"Neng, baik-baik saja. Nyeberang nggak lihat kanan kiri, tau gitu tadi saya seberangin."
Amanda masih shock, Tomi yang melihat lelaki asing mendekati sahabatnya segera membawa Amanda pergi dari sana.
"Permisi!"
Tukang ojek itu tampak sopan, meski Amanda tidak membalas ucapannya.
Tiba di mobil, Tomi memutar Amanda layaknya manekin.
"Nggak ada yang luka kan? Lo apa-apaan sih. Lari di tengah jalan nggak lihat situasi, gimana kalau terjadi sesuatu dengan bayinya. Kenapa lo nggak mikir sampai di sana!"
Tomi sangat marah, dia melampiaskan kekesalannya pada wanita itu.
"Mana gue tahu bakal ada mobil, Tom. Lo nggak tahu aja, gimana senengnya gue lihat lo ada di Taman. Gue udah nyariin lo dari pagi, hp lo nggak aktif. Gue ke rumah lo, lo juga nggak ada."
"Emang gua minta lo nyariin gua? Berhenti nyari alasan biar nggak di marahi. Lo, tahu nggak, sedikit saja gua telat tadi. Entah lo atau bayi lo yang akan kenapa-napa. Lo, mau?
Amanda menggeleng sedih.
"Sorry, Tom. But, gue kesini karena alasan penting. Ini soal perusahaan dan klien kita. Semuanya menunggu keputusan. Dan, Lo belum memberi jawaban pada Anita."
"Nggak ada jawaban, sana masuk. Gua antar lu pulang."
Amanda terkejut dengan wajah melongo, kini Tomi memasuki kursi pengemudinya.
"Maksud lo apa, Tom? Jangan bercanda, lihat bagaimana perusahaan lo udah mau maju lagi."
"Semua itu bukan urusan lo, lagian kan gua udah bilang jauh-jauh hari. Gua mau ke Singapura."
Amanda kesal, wanita itu membuka pintu mobil bersiap pergi.
"Mau kemana? Balik nggak!"
"Nggak, lo nggak kasian sama kita. Rekan-rekan yang lain berharap besar sama perusahaan. Lo tahu kan, sulitnya mendapatkan pekerjaan. Lagi pula, apa yang buat lo milih meninggalkan semua ini, Tom. Semuanya udah normal. Lihat, tepat pukul 12."
Tomi tidak ingin mengambil keuntungan, dia tak mau menerimanya pengorbanan. Mengembalikan kejayaan perusahaannya akan membuat Amanda berpisah dengan Damian untuk selamanya.
"Nggak, lo yang nggak tahu apa yang sedang gua lakukan. Semuanya tak sesimpel kelihatannya. Di balik semua ini, ada banyak jebakan. Ada banyak racun!" ucap lelaki itu dan memegang lengan Amanda.
"Maksud lo apa? Gua nggak ngerti."
"Masuk dan tutup pintunya, gua akan jelaskan semuanya nanti tapi tidak sekarang."
"Lalu kontraknya, waktunya udah mepet, Tom."
Tomi tersenyum licik.
"Akan gua tanda tangani jika Damian berada di sini."