Amanda membuka kertas yang di selipkan Damian di tangannya. Wanita itu membaca pesan suaminya sebelum jatuh tertidur malam ini.
"Maafkan aku tak bisa mengantarmu secara langsung, kau harus menjaga kesehatan dan terutama bayi kita. Suamimu, Damian."
Manda tersenyum bahagia melihatnya.
"Aku memaafkanmu, Dam. Semua ini bukan salahmu tapi salahku," bisiknya.
Amanda sangat merindukan lelakinya itu. Tapi, apa boleh buat. Karena kemurkahan mamanya. Manda harus menelan kepahitan berumah tangga karena perbuatannya sendiri.
Sidang akan di mulai dua hari lagi. Amanda berharap Tuhan akan menyelamatkan ikatan pernikahannya.
**
Terbakar cemburu, Damian mengikuti dan menyelidiki siapa lelaki yang mengantarkan istrinya kembali dari rumah sakit. Wajah itu baru baginya. Damian tak pernah bertemu dengannya, bahkan saat acara lamaran dan pernikahan berlangsung membuat lelaki itu berasumsi bahwa Daniel lah orang yang dimaksud oleh ibu mertuanya.
Wajah Damian memucat kala Daniel memasuki area perkantoran. Bukan sembarang perkantoran tapi itu adalah perusahaan Angkasa Corporation.
Segera lelaki itu memarkirkan motornya dan menghampiri security yang berjaga di gerbang.
"Pak, maaf saya ingin bertanya. Boleh saya tahu lelaki barusan itu siapa?" tanya Damian.
Daniel keluar dari mobil dan merapikan jasnya, dengan langkah pasti lelaki itu berjalan memasuki kantornya.
"Yang pakai jas abu-abu itu?" tunjuk security tadi.
"Iya, Pak."
"Itu adalah anak dari pemilik perusahaan ini, Pak. Namanya Pak Daniel Argantara Angkasa. Putra dari Arga Bramantyo Angkasa."
Siapa yang tidak mengenal lelaki itu. Keluarganya orang terpandang dan nomor satu di seluruh Indonesia.
"Oh,"
"Bapak ada perlu, orangnya ramah, Pak. Masuk saja."
Damian sedikit gelagapan di buatnya.
"Ah, tidak. Kalau begitu terimakasih, Pak."
"Sama-sama."
Damian segera pergi dari sana. Mengetahui latar belakang lelaki itu, dan uang yang menjadi permintaan nyonya Soya-ibu mertuanya membuat Damian sadar diri.
Kembali ke kantor dengan wajah pucat. Waktu berlalu, dan Damian terus bekerja. Kehadiran Daniel merusak konsentrasinya.
"Siapa dia? Kenapa Amanda tidak risih di dekatnya?"
Damian terus memikirkan itu, hingga pekerjaan semakin menggunung.
"Ha, aku harus menyelesaikan ini semua Jika tidak. Besok akan semakin berlipat ganda." Dia tak ingin menyusahkan banyak orang.
Hingga waktu berikutnya, lelaki itu hampir drop. Kepalanya pusing, terlalu lama di depan komputer bahkan lupa untuk makan siang.
"Istrahatlah, Damian. Besok jadwal persidanganmu dengan Amanda, bukan?" Tomi masuk ke ruangannya.
Kini sudah lewat jam kantor, tapi Damian belum beranjak juga.
"Tidak apa-apa, Pak. Sebentar lagi."
"Aku bisa mengerjakannya, Damian. Ada banyak staf di sini, tidak perlu khawatir."
Tomi menutup berkas itu dengan paksa. Damian tertegun dan bangkit. Namun, baru selangkah dia berjalan. Damian terjatuh ambruk karena kelelahan.
"Aku sudah bilang kan, kau tidak mendengarkan aku."
Tomi membantunya berdiri, kepala Damian oleng. Migrain menyerang tak melihat kondisi.
"Accch!" rintihnya.
"Ada apa?"
"Kepalaku sakit,"
Tomi memapah lelaki itu.
"Aku akan mengantarmu pulang, sekarang sudah malam."
Damian meremas kepalanya. Sudah 3 hari berturut-turut Damian tinggal di kantor dan kembali ke rumah saat jam 12 malam. Tomi terus memperhatikan hingga hari ini. Takut terjadi sesuatu, maka dari itu Tomi memutuskan tetap tinggal menunggui suami dari sahabatnya itu.
"Hati-hati, kau harus beristirahat dengan cukup atau kau akan pinsan di persidangan besok."
Tomi terus mengajaknya bicara hingga mereka melangkah keluar. Security yang bertugas segera membantu Tomi saat melihat atasannya itu sedikit kewalahan.
"Bawa ke mobil saya, Pak," titahnya.
"Baik, Pak. Laksanakan."
Tomi sempat mengambil foto Damian yang terpejam di kursi depan.
"Kau akan pulang kemana? Ke rumahmu atau ke rumah orangtuamu?"
"Ibu dan ayah ada di rumahku," ucapnya tepar.
Tomi hanya bisa menggeleng.
"Kau benar-benar gila kerja, Damian. Kau bahkan tidak memperhatikan kesejatanmu."
Tomi pernah mengantarkannya sekali, jadi sudah tahu arah jalan pulang ke rumah Damian.
"Aku melihat seorang lelaki, dia datang saat Amanda keluar dari rumah sakit."
Tomi mengerutkan kening.
"Siapa? Setahuku dia tak punya banyak teman lelaki kecuali aku."
Damian membuka mata, dan memperbaiki posisi duduknya.
"Aku mengikutinya, namanya Daniel Argantara."
Tomi yang sedang melaju mendadak menginjak rem dengan kuat.
"D-Daniel kau bilang?"
Damian yang tadinya pusing, kini sadar sepenuhnya.
"Bapak mengenalnya?"
"Kita di luar jam kantor panggil saja Tomi. Ya, dia teman seangkatan kami saat kuliah dulu. Tapi, Amanda tidak cukup dekat dengannya. Bisa jadi dia tak mengenalnya."
Damian memijit kepalannya, dia benar-benar pusing saat ini.
Mobil kembali melaju, kini Tomi pun memikirkan kenapa Daniel bisa menemui Amanda.
"Aku merasa dia lelaki yang akan di jodohkan dengan Amanda. Kekayaan lelaki itu, uang tiga milyar bukanlah hal yang besar baginya."
Tomi menghela napas.
"Ya, keluarganya memang bukanlah orang sembarangan. Aku harap itu hanya prediksimu saja."
Tiba di depan perumahan, Tomi menurunkan Damian dan mengantarnya masuk.
"Hati-hati,"
Damian tersenyum kecil mendengarnya.
"Lihat, ini adalah istana bagiku dan merupakan gubuk bagi Mama mertuaku."
Langkah Tomi berhenti melihat Damian berjalan dan melepaskan genggamannya.
"Dia sangat bahagia saat menempati rumah ini, belum sampai Amanda menginap. Mereka membawanya pergi dan merebutnya dariku."
Pak Grandi dan Bu Restanti segera keluar dari rumah.
"Dam, anakku."
"Apa dia mabuk?" sang ayah tampak begitu khawatir.
"Tidak, kami baru saja pulang dari kantor," ucap Tomi lugas.
"Ayah, apa pernikahanku bisa di selamatkan? Apa besok, hakim akan berpihak pada kita?"
Tomi menatapnya iba.
"Dia harus beristirahat, sudah beberapa hari ini dia selalu pulang terlambat."
"Terimakasih telah mengantarkannya kembali."
"Sama-sama, eh Om. Kalau boleh saya tahu, jam berapa sidangnya di mulai. Saya siap jika Om dan Tante mencari saksi untuk membela Damian."
Bu Restanti dan Pak Grandi terlihat lega mendengarnya.
"Besok, jam 10. Datanglah."
"Baik, Om. Terimakasih. Saya pulang dulu."
Tomi meninggalkan rumah Damian. Dia merasa harus ikut turun tangan dalam masalah ini agar bisa membantu sahabatnya.
"Ayo, Nak. Ibu bantu."
Damian di bawah langsung ke kamarnya, lelaki itu terkapar di atas tempat tidur.
"Dia sudah tidur, Bu. Biarkan saja."
Bu Restanti menangis melihat keadaan Damian.
"Aku tak pernah melihatnya begitu bekerja keras seperti ini. Dia selalu menangis, aku tahu itu. Kenapa Damian kita harus melewati semua ini."
"Sudahlah, ini sudah takdirnya. Kita harus selalu mendukungnya itu yang utama."
"Tapi, Mas. Damian begitu menderita."
"Amanda juga menderita, mereka sama-sama menderita. Jadi jangan mengunkit hal seperti ini di depan putra kita. Dia sudah berjuang sejauh ini, bahkan dia merendah di hadapan mertuanya. Hakim bisa melihat semua itu, aku yakin semuanya akan baik-baik saja."
Bu Restanti menangis pilu, di usapnya wajah Damian lalu mencium keningnya.
"Ibu akan selalu ada untukmu, Nak. Jangan putus asa."
Sidang kali ini menjadi harapan terbesar keluarga Damian.