Chapter 26 Keputusan Amanda

1500 Kata
Hari yang paling mendebarkan kini datang juga. Damian duduk terpaku di sisi tempat tidur. Teringat dengan apa yang telah dia lakukan semalam di depan bosnya. "Ha, kenapa aku bisa seputus asa ini! Belum tentu apa yang aku pikirkan benar-benar terjadi," gumamnya. Damian bangkit menyibak tirai, membiarkan matahari masuk menerangi kamarnya. "Dam," Tok tok tok. Pintu di ketuk dari luar. "Apa kau sudah bangun? Sudah jam delapan. Cepat keluar dan sarapan!" Suara sang ibu terdengar nyaring di telinga. "Iya, sebentar lagi, Bu." Pak Grandi tampak sibuk menelepon dari tadi, lelaki itu mondar-mandir dan terlihat sangat gelisah. Sesekali dia mengimpat membuat istrinya mengerutkan kening. "Mas, sarapan dulu," Restanti mengajaknya masuk. Grandi terlihat sangat gusar, Damian yang baru keluar dari kamar, terpaku melihat reaksi ayahnya yang terkejut saat menatapnya. "Dam," ucap Grandi dan mengakhiri panggilan teleponnya. "Ada apa, Yah?" "Pengacaranya, pengacara kita mundur secara sepihak." Damian terkejut. Lututnya lemas seketika membuat dadanya ikut sesak. "Dam, maafkan ayah, Nak. Ayah juga heran kenapa semuanya mendadak seperti ini." Bu Restanti ikut mematung mendengar kabar itu. Hal yang sangat di khawatirkan adalah perasaan Damian. "Ayah sedang berusaha mencari pengacara pengganti, tapi tak ada satupun yang mengangkat telepon ayah dari tadi." Damian kebingungan, tangannya terkepal meredam amarah dan kekecewaan yang melebur jadi satu. Grandi tampak sibuk mencari nomor kontak untuk menghubungi pengacara yang lain. Tapi, semuanya nihil. Tak ada yang mengaktifkan ponselnya. "Dimana mereka? Kenapa semua ponselnya mati!" "Sudahlah, Yah. Biar Damian menghadapi semuanya sendirian." Kedua orangtuanya saling bertukar pandangan. "Ayah sungguh tidak tahu apa-apa, Dam. Percayalah pada ayah," Grandi menangkupkan tangan memohon maaf. Hal itu membuat Damian terenyuh. "Ayah, apa yang kau lakukan? Aku tahu ayah telah melakukan yang terbaik. Kita tak bisa melawan takdir, Yah." "Tidak, ini bukan takdirmu. Kau masih memiliki kesempatan untuk berjuang. Sepertinya kekuasaan ibu mertuamu mampu membungkam pengacara kita." Damian tersenyum kecut. "Maksudmu apa, Mas?" tanya Restanti tidak mengerti. "Uang mampu mengubah pendirian seseorang, Bu. Sudahlah, lebih baik kita menuju ke pengadilan sambil mencari pengganti pengacara yang labil itu." Damian kian terpuruk. Ingatannya kembali pada saat Amanda kembali dari rumah sakit. Kalaupun ibu mertuanya bertingkah, perlu uang yang banyak untuk menarik pengacara itu. "Ayo, Dam." "Baik, Yah." Dalam kekalutannya, Damian nekat berangkat walau tak memiliki pendamping untuk membelanya. ** Amanda tiba di pengadilan lebih awal, Mama dan Papanya setia menemani wanita itu. Soya tampak percaya diri saat ini, kehadiran Tomi yang datang lebih awal mengganggu ketenangan nyonya Soya. "Hay, Manda. Lo nggak kengen gua?" seru Tomi dan berdiri di hadapan sahabatnya itu. "Tomi, lo di sini?" Tomi mengangguk dan memeluk Amanda. Wanita itu terlihat lebih tirus dari pertemuan terakhir mereka. "Kau, untuk apa kau menemui putriku?" Nyonya Soya menatapnya bengis. "Dia adalah karyawanku, kontrak kerja dengan perusahaan kami masih panjang. Sudah berapa lama dia tidak masuk, tanpa izin dan tanpa pemberitahuan." Soya tak berkutik mendengarnya. "Ada beberapa point dalam kontrak kerja mengatakan jika karyawan melanggar kesepakatan atau berhenti tanpa pemberitahuan kepada saya maka akan di kenakan sanksi sesuai kesepakatan." Tomi melipat tangan di dadanya, menunggu kata yang akan di lontarkan oleh wanita tak berperasaan itu. "Ma, biarkan Manda bicara dengan Tomi, sidang belum dimulaikan?" "Oke, tapi awas jika kalian macam-macam. Ingat pesan mama Manda, mama nggak akan segan-segan." Amanda mengangguk pasrah. Raut wajahnya berubah derastis membuat Tomi penasaran. "Ayo, Tom. Kita bicara di luar." Tomi menggandengnya dengan hati-hati. "Damian belum kelihatan dari tadi, aku ingin menyampaikan sesuatu padanya." Tomi membawa Amanda ke taman, tak jauh dari kantor pengadilan itu. "Dia depresi, semalam dia terus meracau. Damian sedang tidak baik-baik saja," Amanda menatap Tomi dan menggenggam tangan sahabatnya itu. "Gua mengawasinya, jika itu yang ingin lo dengar dari gua. Dan lo benar tentangnya. Dia sangat mencintai lo Manda. Bahkan lebih dari cara gua mencintai lo." "Tom!" "Gua nggak berbohong, gua berharap pernikahan kalian bisa bertahan." Manda menangis di bahu lelaki itu. Tangisnya semakin menjadi membuat Tomi tertegun. "Gue harus berpisah dengan Damian, Tom. demi bayi gue." Tomi mendorong tubuh Amanda dan menatap kedua bola mata sahabatnya itu. "Maksud lo apa? Jangan bertindak bodoh!" Amanda menggeleng, wanita itu menyerahkan sesuatu yang dia dapatkan di dapur pagi ini. "Serbuk, serbuk apa ini? Dimana lo dapetin ini?" Manda hanya bisa menangis, Tomi menguncang bahunya membuat Amanda menatap lelaki itu sekali lagi. "Mama memasukkannya ke dalam s**u, gue memergokinya dan bertanya." 3 jam yang lalu. Soya tampak sibuk di dapur, wanita itu menyiapkan sarapan dan s**u khusus untuk putrinya. Amanda yang merasa sering lapar semenjak kembali dari rumah sakit, memergoki apa yang dilakukan wanita terkasihnya itu ketika tiba di dapur. "Ma, mama ngapain?" Gelas dan sendok itu terjatuh kelantai, Soya terkejut dan terlihat ketakutan. "Mama masukin apa di minuman Manda tadi, Ma? Itu gelas kesayangan Manda kan? Jawab, Ma!" Soya menyembunyikan pembungkus serbuk itu, Amanda yang di kuasai emosi segera merebutnya. "Ma ini apa? Katakan sebelum Amanda laporin mama ke polisi!" Rama yang mendengar teriakan putrinya segera menuju ke dapur. "Ada apa ini? Manda, pelankan suaramu." "Pa, Mama masukin sesuatu di gelas s**u Manda, Manda nggak tahu ini apa?" Manda gemetar dan menyerahkan bungkusan itu. Rama shock melihatnya. "Ma, apa yang sedang coba kau lakukan?" Soya terpojok, Manda menatapnya benci begitupun dengan sang suami. "Ma! Katakan!" Suara Rama menggema ke seisi ruangan membuat para asisten rumah tangga tidak berani bergerak. "Itu serbuk penggugur kandungan, puas!" ucap Soya tanpa merasa bersalah. Manda terkesiap, airmatanya luruh membasahi pipi "Apa kau gila! Kau ingin melenyapkan cucu kita?" "Ya, aku gila! Manda tak ingin berpisah, dan kehamilannya itu membuat aku semakin sengsara!" Amanda jatuh terkulai di lantai. "Kau benar-benar anak tidak tahu di untung! Kau membuat kami dalam masalah! Kau dan calon bayimu itu! Achhh!" Soya melempar semua benda yang ada di hadapannya. Piring dan gelas jatuh pecah berserakan. "Ma, sadarlah. Kau menakuti putri kita!" Rama berdiri melindungi putrinya. "Untuk apa kau peduli, Pa! Dia bahkan tidak peduli dengan penderitaan kita. Dengarkan mama, jika kau tidak berpisah dengan Damian. Mama pastikan akan melenyapkan bayi itu, mama nggak peduli jika akan di penjara, itu lebih baik daripada mama harus menjadi gelandangan." "Ma, Manda mohon. Kenapa Mama nggak mau mengalah, Damian orang yang baik, Ma." Rayunya. Amanda berharap wanitanya itu akan luluh. "Baik saja tidak cukup, Manda! Apa dia bisa membayar hutang-hutang Mama? Nggak kan!?" "Ma! Kasihani Manda, Ma." Amanda bangkit dan berlutut di kaki sang ibunda. "Apa kau tega melihat kami hidup di jalanan, Manda? Mama akan mengizinkanmu melahirkan bayi itu, dengan satu syarat." Airmata Amanda tak henti berlinang. "Ceraikan, Damian. Hanya itu, mama mohon." "Ma," Amanda histeris, hatinya hancur. Memilih antara bayi atau suaminya adalah hal yang sulit." "Putuskan di sidang kali ini, mama ingin kau sendiri yang mengatakan ingin berpisah dengannya. Setelah itu mama janji nggak akan menyakiti bayi kamu. Mama janji sayang." Amanda tertunduk pedih, Soya meninggalkannya untuk berpikir. "Kesempatanmu hanya kali ini saja, jadi jangan kecewakan mama." "Accchhh!" tangis Amanda terdengar pilu, wanita itu lemas. Semua kebahagiaannya seolah di rampas. Rama memeluk putrinya erat. "Papa, selamatkan bayi Amanda, Pa. Manda nggak mau pisah dengan Damian." Rama tak bisa melakukan apapun. "Maafkan papa, Nak. Papa nggak bisa mengubah pendirian mamamu." Tomi yang mendengar itu, memeluk sahabatnya erat. "Gue harus bagaimana, Tom? Gue mencintai Damian tapi tak ingin kehilangan bayi ini." Tomi menyeka airmatanya, sungguh dia pun tak berkutik mendengar cerita Amanda. "Laporkan saja, mama lo itu pantas untuk di penjara!" Amanda menggeleng. "Nggak, Tom. Gue nggak tega." "Tapi, dia udah tega sama lo, Manda. Sama suami lo! Bayi lo!" "Gue titip Damian, ya Tom. Berjanjilah untuk menjaga Damian untuk gue." Tomi mengeleng, dia menolak keinginannya. "Cukup semalam gue lihat dia begitu kacau, bagaimana jika kalian benar-benar akan bercerai?" "Tolong gue, Tomi. Gue hanya percaya sama lo." Damian yang akan masuk ke kantor pengadilan melihat Amanda dan Tomi dari kejauhan. Keduanya saling bersih tegang, melihat istrinya menangis. Damian semakin mempercepat langkahnya. "Sayang, apa yang kau lakukan di sini?" Amanda dan Tomi kompak menatapnya. "Damian," "Ada apa? Kenapa kau menangis?" Damian menarik istrinya ke dalam pelukannya. Pandangan kedua lelaki itu Bertemu, tetapi Tomi tak ingin menjelaskan apapun. "Gua tunggu di dalam," ucap Tomi dan meninggalkan tempat itu. Damian semakin bingung, apalagi Amanda tak hentinya menangis. "Sayang katakan ada apa?" "Dam, apa kau percaya padaku?" tanyanya dengan tatapan yang entah. "Ya, lebih dari diriku sendiri." Amanda menenggelamkan wajahnya sekali lagi, aroma khas tubuh Damian bagaikan candu baginya. "Apapun yang aku katakan di dalam sana, tolong jangan membantahnya. Kau paham?" Damian mendapatkan firasat tak enak. "Aku dan bayi kita, aku yakin bisa bersama." Damian mengangguk, dia salah paham. Amanda mencium kening suaminya lalu mencium kedua mata yang tertutup itu. "Aku mencintaimu, Damian. Aku hanya ingin kau tahu itu." Damian tersenyum mendengarnya. "Aku tahu, aku juga mencintaimu." ** Soya memperhatikan Amanda dari jauh, melihat putrinya bersama Damian membuatnya semakin naik pitam. "Aku tidak peduli Amanda hamil atau tidak, aku berharap dia akan masuk bekerja mulai besok sampai kontrak kerjanya selesai!" Tomi mengagetkannya. Soya meraba dadanya, jantungnya seolah hampir copot karena lelaki itu. "Berapa ganti ruginya, aku akan membayar asal anakku tidak kembali ke perusahaan tidak seberapa itu." Tomi tersenyum kecut. "Murah, hanya tiga M" Soya terbelalak, Tomi puas melihat ekspresinya. "Kau gila!" "Terserah!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN