Amanda terkejut saat mamanya mendorong Daniel duduk tepat di sampingnya. Rama akan protes, tetapi kerlingan mata peringatan Soya menyurutkan nyalinya.
“Pa, nggak sopan kan jika tamu diminta untuk nyetir.”
Rama mengangguk canggung.
“Iya, Mama benar. Biar Papa yang menyetir.”
“Tapi, Pa,” protes Amanda.
“Maaf, apa kau tidak keberatan?” tanya Daniel sopan.
Amanda menghela napas, Soya dengan santai masuk ke kursi depan. Seolah hal ini biasa saja.
“Ya, tidak masalah.”
Daniel tersenyum penuh arti, suatu kebangaan baginya bisa duduk di samping Amanda Sarasvati.
Amanda yang kesal membuang pandangan keluar jendela, mobil bergerak meninggalkan rumah sakit. Soya dan Daniel tampak sibuk berbincang, sesekali Rama ikut menyahut saat Daniel menceritakan tentang liburan keluarganya.
“Jadi, sudah berapa lama Pak Bramantyo di Singapura?” tanya Rama.
“Sudah lama, Om. Kakek memutuskan menetap disana, kebetulan minggu depan ulang tahun nenek saya, jadi papa dan mama, juga paman dan bibi semuanya ke Singapura. Hanya aku yang ada di Indonesia.”
“Wah, keluarga kamu semakin kompak ternyata.”
Damian mengikuti dari belakang, Amanda yang tidak menyadari kehadiran suaminya memilih membuka kaca mobil. Amanda merasa sumpek walau papanya telah menyalakan ace.
“Manda, kamu apa-apaan sih, tutup dong jendelanya.” Soya memperingatkan.
Mobil perlahan berhenti, tepat saat lalu lampu lalu lintas berubah merah.
“Aku gerah, Ma. Bentar aja, kok.”
Damian berhenti tepat di sampingnya. Soya terus meracau dan Amanda mengabaikannya. Alangkah senangnya Amanda saat melihat sang suami berada tepat di sampingnya.
“Mungkin Amanda mau menghirup udara segar,” bela Daniel.
“Apanya yang segar, Nak Daniel. Yang ada malah polusi, Amanda itu memang bebal. Kalau di bilangin nggak mau nurut.”
“Damian!” bisik Amanda antusias.
Damian mengankat telunjuknya, berharap Amanda mengerti akan kodenya. Wanita itu mengangguk samar dan tersenyum senang.
“Manda, tutup pintunya. Debunya masuk, kamu apa-apaan sih," omel Soya sekali lagi.
Amanda berubah cemberut.
“Eh, bukannya itu orang yang di rumah sakit tadi, yang menabrak kita, kan?” ucap Daniel mengenali Damian.
Rama dan nyonya Soya kompak menoleh ke arah lelaki itu.
“Apaan sih, nggak sopan nunjuk-nunjuk orang, emang kamu kenal sama dia?” ucap Manda.
Daniel menatapnya lama. Damian bersikap tak tahu apapun dinouar sana. Dia tetep fokus dengan posisinya menatap lampu merah.
“Eh iya, benar. Tante kenal helmnya, ngapain dia ngikutin kita?”
Amanda segera menutup kembali kaca mobil, dia tak memberikan kesempatan untuk mamanya mengumpati sang suami.
“Eh, kok di tutup sih. Mama belum ngomong?”
Amanda tak menghiraukannya.
“Manda, buka jendelanya. Mama mau bertanya sama dia, ngapain dia ngikutin kita.”
“Mama apaan sih, sok tahu tau nggak. Manda malu, makanya Manda tutup, Nggak enak di denger orang lain apalagi orang itu. Bagaimana jika kalian salah orang?"
“Nggak mungkin, mama yakin dia orang yang sama.”
Lampu lalu lintas berubah hijau, Damian memutar gas dengan keras lalu meluncur mencari celah di antara mobil di hadapannya.
“Tuh, kan. Dia nggak ngikutin kita, Ma. Mungkin hanya kebetulan aja bisa stop di lampu merah ini.”
Soya menatap curiga.
Pipp pippp pip
Damian menghilang dalam sekejap mata.
Soya hanya bisa pasrah, perlahan Rama membawa mobil bergerak.
“Padahal, Mama penasaran dia siapa? Atau jangan-jangan dia Damian lelaki miskin itu, iya kan?”
Amanda makin kesal mendengar mamanya menjelek-jelekan sang suami didepan Daniel.
"Damian?"
"Iya, mabtan suaminya Amanda."
"Ma!"
"Benerkan, bentar lagi. Jadi kenapa kalau mama bilang begitu."
Amanda merasakan sakit yang luar biasa.
"Oh, maaf. Saya tidak tahu."
Tiba di rumah mereka segera keluar dari mobil, Daniel begitu sigap membantu Amanda tanpa di mintai tolong.
“Hati-hati, mau ku gendong?”
Amanda terkesiap mendengarnya.
“Tidak perlu, aku bisa sendiri.”
Keluar dari mobil, Rama segera ingin membantu Putrinya tetapi dihalangi oleh nyonya Soya.
“Pa, mau kemana? Bawa barang-barang Amanda masuk ke dalam.”
Bibi yang bekerja di rumah mereka segera mendekat untuk mengambil tugas itu.
“Selamat datang Nyonya, saya akan membawakan barang-barang Nona Amanda.”
“Siapa yang nyuruh? Bibi sebaiknya siapkan makanan yang enak untuk tamu saya, cepat!”
Si Bibi sampai mematung di tempatnya mendengar titah sang majikan.
“Eh, kok malah bengong sih? Sana buruan!”
“Baik, Nya.” Bibi segera masuk ke dapur dan Rama mau tidak mau mengankat barang-barang itu sendirian.
Di tolak Amanda membuat Daniel mencari perhatian Rama dengan membantunya.
“Saya bantu, Om.”
“Tidak perlu, ayo masuk ke rumah,” ucap Rama.
Soya menuntun putrinya pelan-pelan, tak di sangka cara ini akan berhasil. Baik Amanda dan suaminya tak ada yang berwajah masam pada Daniel.
“Silahkan duduk, Nak Daniel. Tante akan mengambilkan pesanan mama kamu.”
“Baik, Tante.”
Soya membantu Amanda duduk, Rama membawa barang-barang putrinya ke kamar dan tinggallah Daniel dan Amanda tampak kaku di ruang tengah. Manda terus menatapnya membuat Daniel sedikit salah tingkah.
“Aku merasa yakin pernah melihatmu? Apa mungkin kita pernah bertemu?” tanya Amanda memulai pembicaraan.
Daniel tersiap di tempatnya.
“Mungkin saja, aku bekerja di perusahaan milik orangtuaku. Selama mereka pergi, aku yang menangani semuanya secara langsung. Apa kau bekerja?” tanya lelaki itu.
“Ya, di sebuah perusahaan. Tomi Corporation.”
Daniel tidak terkejut mendengarnya.
“Ah, perusahaannya Tomi, ya.”
“Kau mengenalnya?” cecar Amanda.
“Ya, tapi dia tidak mengenalku. Kami seangkatan dan mengambil jurusan yang sama.”
“Tidak mungkin!” Amanda memandangnya lekat.
Daniel tersenyum miring, sangat mengerti dengan maksud wanita itu.
“Kenapa?” tanya Daniel pura-pura lugu.
“Aku dan Tomi tidak pernah berpisah, kami mengambil jurusan yang sama di fakultas yang sama juga.”
Daniel melancarkan aksinya.
“Oh ya, aku ingat sekarang. Kau gadis populer itu kan? Pantas aku begitu familiar denganmu.”
Amanda tersipu mendengarnya.
“Aku tidak merasa diriku populer, kenapa kau berkata demikian?”
Daniel terkekeh, Soya memperhatikan mereka dari jauh.
“Dulu, ku dengar tidak ada yang bisa mendekati sahabat baik Tomi, dia mendadak popuer karena kecantikannya. Aku salah satu saksinya saat itu.
“Ah kamu, sungguh sangat berlebihan.” Amanda ikut tertawa, obrolan mereka mengalir begitu saja.
Amanda terus mengitrogasinya, tadinya dia tak percaya jika keturunan Pramudi Angkasa itu juga pernah kuliah di tempat yang sama.
“Aku dulu culun, jadi tak memiliki teman. Wajar saja jika kau tidak mengenaliku," akuhnya
“Maafkan aku, harusnya dulu kau menyapaku.”
Deg.
Daniel mematung, Amanda benar-benar tidak ingat sama sekali.
Di masa lalu, di bangku kuliah. Daniel yang introvert berusaha menjalin persahabatan dengan siapa saja. Dia bahkan pernah membeli coklat untuk Amanda. Sebagai hadiah persahabatan.
Tetapi saat itu, Tomi merampasnya dan mengatakan tak ada yang bisa mendekati Amanda selain dirinya.
“Ya, kau benar. Harusnya aku menyapamu. Mungkin saja, kau akan mau menjadi temanku.”
Manda tersenyum samar. Nyonya Soya dan suaminya keluar dari kamar dan menghampiri mereka.
“Ini pesanan Jeng Alina.” Soya menyerahkan sebuah paper bag.
“Terimakasih, Tan.”
Daniel menggapainya. Rama dan Amanda penasaran dengan isinya.
“Tinggallah untuk makan siang, Bibi telah menyiapkan hidangan untuk kita semua.”
Daniel lantas berdiri, baginya cukup untuk hari ini agar Amanda tidak ilfel dengannya.
“Sayangnya, aku harus segera pergi, Tan. Mungkin lain kali, terimakasih ajakannya.”
Soya terkejut mendengar penolakan itu.
“Amanda, semoga kau cepat pulih. Lain kali aku akan membawakan sesuatu untukmu.”
“Tidak perlu,” ucap Manda.
“Aku rasa harus, kita seangkatan dan kau tidak mengenaliku.”
Mereka tertawa bersamaan.
“Baiklah, terserah kau saja.”
Amanda tak menaruh curiga padanya. Sebaliknya dia mulai berbaik sangka pada Daniel.
“Kalau begitu saya pulang dulu, Om, Tante.”
“Hati-hati, Nak Daniel.”
Setelah menyalami kedua orangtua Amanda. Daniel pun meninggalkan rumah itu. Soya kembali gelisah dan bergegas ke kamarnya. Dia mengunci pintu kamar dan menyibak sedikit tirai jendela.
“Apa yang terjadi. Kenapa Daniel tiba-tiba ingin pulang?” ucapnya resah.
Soya meraih ponsel dan menelepon. Daniel yang berjalan menuju ke gerbang melihat panggilannya dan mengankat telepon.
“Ada apa? Aku baru saja keluar.”
Soya bergidik mendengar suara tegas nan berwibawa dari lelaki itu.
“Ah tidak, aku hanya penasaran. Kenapa kau cepat meninggalkan Amanda. Bukannya kau sangat menginginkannya?”
Langkah Daniel terhenti.
“Dia sedang hamil, kau ingat. Aku tidak akan mengharapkan terlalu banyak pada wanita yang masih berstatus seorang istri dari orang lain.”
“Beri aku kesempatan untuk membereskannya, Renata telah merendahkan aku dan mengirimkan bodyguardnya. Tolong bantu aku mengenai ini, aku janji akan berusaha keras mendapatkan keinginanmu ”
“Oke, kalau begitu. Aku akan maju membantu usahamu dan bicara dengan Renata nanti. Tapi, ingat. Jangan berharap lebih. Aku hanya akan membantu sebanyak usaha yang kau perlihatkan.”
Tutttttt.
Soya berdecak menatap putus asa keluar jendela. Tak heran kenapa kerajaan bisnis keluarganya menjamur dan beranak pinak. Mereka sangat pintar bernegosiasi dan mendapatkan apa yang mereka inginkan.
"Dia benar-benar lelaki yang pantas untuk Amanda," ucapnya tersenyum.