Amanda dan Anita duduk berdampingan. Kedua wanita itu kompak memandang wajah Tomi yang kini babak belur. Amanda baru memperhatikan, jika sahabatnya itu ternyata telah dipukuli.
"Seberapa pentingnya perusahaan ini bagimu, hingga kau harus menemui Amanda untuk mencari saya?"
Anita menelan salivanya dengan susah payah. Tatapan Tomi membuatnya bergidik. Ya, lelaki itu menatapnya lekat dengan posisi yang sangat dekat.
"Ma-maafkan saya, Pak. Saya hanya,"
"Hanya apa?"
"Tom, ayolah. Anita tidak salah, gue udah ke rumah Damian sebelum kita bertemu. Dia tak ada di sana, mungkin sedang mencari pekerjaan lain. Jangan buat klien kita menunggu lagi," bela Amanda.
"Lo, nggak tahu masalah apa yang tengah kita hadapi."
"Kalau begitu beritahu gue, jangan mengulur banyak waktu."
Tomi menghela napas, ditatapnya Amanda dengan rasa kasihan.
"Apa yang nggak gue ketahui? Katakan."
Tomi membuang pandangan lalu menatap Anita.
"Kau tahu siapa saja yang telah mengingkari janji dan menghianati kita kan? Mereka yang telah terang-terangan menolak kita di waktu lalu. Tolak!"
"Tom!" Amanda berhenti, tangan Tomi memberinya isyarat untuk diam.
"Mereka yang telah mampir ke Angkasa grup, semuanya tolak! Aku pun ingin memberi mereka pelajaran."
"Lalu, bagaimana jika ternyata semuanya dari Angkasa Grup, Pak?" ucap Anita.
"Aku sudah jelaskan, bukan. Aku tidak ingin bekerja sama dengan mereka yang telah meragukanku. Jika mereka berpikir aku akan menampungnya dengan senang hati, maka mereka salah besar."
Anita menoleh ke Amanda.
"Tunggu apalagi, pergi dan bereskan tugasmu!" suara bariton milik Tomi menggema ke seisi ruangan. Anita segera keluar, tubuhnya gemetar. Ya, mereka tak pernah melihat Tomi semarah ini sebelumnya.
"Tom, apa-apaan sih. Lo buat dia takut," ucap Amanda setelah pintu di tutup Anita dari luar.
"Baguslah kalau dia takut, tidak ada yang memintanya kembali, bukan."
Amanda menggelengkan kepala, sikap sahabatnya itu berbanding terbalik dengan pembawaannya selama ini.
Amanda kembali menghubungi Damian, berharap lelaki itu segera datang untuk membujuk Tomi.
"Lo, tahu keberadaan Daniel dimana?"
Amanda tertegun sejenak. Pandangan mereka kembali bertemu dan Amanda meletakkan ponselnya diatas meja.
"Lo nanya Daniel ke gue, nggak salah?"
Tomi melonggarkan dasinya dengan kasar.
"Ya, lo kira kenapa dia menghilang. Perusahaannya sedang di protes, dia menimbulkan kekacauan mungkin sengaja agar bisa di liput."
"Maksud lo apa? Gue nggak ngerti."
Tomi tak ingin merahasiakan apapun dari Amanda.
"Alasan lo nggak dipaksa sama Tante Soya untuk menikah, itu karena Damian. Saat kami keluar dari rumah sakit, Damian membuat perjanjian dengan Daniel. Lelaki itu sepakat, hanya akan menikah saat bayi lo lahir asal Damian menjauh dari lo."
"Brussh hahaa haaha, lo kira gue percaya?" Amanda tak kuasa menahan tawa. Dia jelas tak percaya karena Daniel tak mengungkapkan keinginan untuk menikah dengannya.
"Gue ma Damian nggak pernah berjauhan, lo tahu kan. Bahkan kami satu ruangan. Jangan ngarang deh, Tom."
"Oke, kalau lo nggak percaya. Walau gua saksi atas perjanjian itu. Alasan Daniel menyerang perusahaan gua karena ini, Manda. Dia tanpa ampun merebut klien gua satu per satu. Dan, sekarang Daniel melepas mereka semua begitu saja. Lo nggak mikir keanehannya? Untuk apa dia melakukan itu."
Amanda mengerutkan kening, dia tak menyangka jika Tomi akan berpikir sedangkal itu.
"Lo, sakit tahu nggak! Lo nyalahin orang yang sama sekali nggak ngeganggu lo. Tom, kenapa lo berubah."
"Gua berubah?" Tomi tak percaya, kepercayaan Daniel lebih dari segalanya dimata Amanda.
"Ya lo berubah, lo nggak kayak gini dulunya, Tom. Lo orang yang sportif, kenapa sih, harus bawa-bawa Daniel dalam masalah ini."
"Oke, gua nggak akan bahas tentang dia lagi. Sepertinya, lo sangat mempercayainya. Sekarang Damian telah menghilang, bahkan keluarganya. Bagi gua udah sangat jelas tapi ternyata nggak dengan lo."
"Maksud lo apa?"
"Pikir aja sendiri!" Tomi sangat marah dan memilih mengabaikannya.
Di saat Amanda akan mengejar, Anita mengetuk pintu dan masuk kedalam ruangan.
Sesaat hening, mereka saling menatap.
"Eh, Pak. Masih ada yang tersisa. Beberapa diantara mereka bahkan belum pernah berhubungan dengan Angkasa grup."
"Terima kontrak dari mereka saja. Bawa berkasnya padaku sebelum memastikan."
"Baik, Pak."
Amanda terpaku di tempatnya.
"Tom,"
"Lo, minta gua bangkitkan. Gua sedang fokus sekarang. Bantulah Anita di luar dan hubungi staf yang lain."
Tanpa banyak bertanya, Amanda keluar dari ruangan. Perseteruannya dengan sang mama yang terjadi semalam tiba-tiba terlintas membuat Amanda terkesiap.
Amanda mulai cemas, takut apa yang dikatakan Tomi ada benarnya.
"Nit, lo bilang. Lo ke rumah Damian sebelum nemuin gue, iya kan?" Anita mengangguk mantap.
"Tapi, rumahnya kosong. Kedua orangtuanya juga nggak ada."
"Aduh," ucap Amanda panik.
"Ada apa? Lo nggak apa-apa kan?"
Amanda menggigit bibir bagian bawahnya, perutnya menengang. Dia merasakan sakit yang teramat membuat Anita ikut meringis melihat keadaannya.
"Kandungan lo kenapa? Gue panggil Pak Tomi, Ya."
"Jangan, dia sedang fokus sekarang. Tolong bawa gue ke ruangan Damian. Gue hanya perlu istirahat, kok."
"Oke."
Anita menuntunnya perlahan, dengan hati-hati dia mendudukkan Amanda di sofa.
"Jangan terlalu banyak pikiran, orang hamil nggak boleh stress."
"Gue tahu, terimakasih, Nit."
"Sama-sama."
Amanda duduk terdiam sendirian, jika biasanya dia telah menikmati sarapan. Berbeda dengan sekarang. Damian belum datang juga membawa titipan Bu Restanti untuknya.
"Gue harus keluar sekarang, pekerjaan menumpuk. Gue tinggal nggak apa-apa, kan?"
"Iya, nggak apa-apa, santai saja."
Anita pun meninggalkan ruangan.
"Kau dimana, Dam. Tolong jangan buat aku percaya kata-kata Tomi. Jangan tinggalkan aku saat bayi kita belum lahir."
Amanda termenung, mengingat kejadian kemarin malam saat Damian bersikap sangat manis.
"Apa itu artinya salam perpisahan, kau melakukan itu lalu meninggalkan aku. Kau berjanji akan menemaniku untuk kontrol setiap bulan, kau bilang akan selalu ada mendampingiku."
Netra Amanda kini berkaca-kaca. Dia berusaha menahan tangis agar tidak terdengar keluar.
"Dam, kumohon datanglah. Buktikan bahwa apa yang dikatakan Tomi salah. Kau tidak mungkin meninggalkan aku sendirian," tangis Amanda semakin luruh. Kini dia tak bisa menahannya.
Dia tak siap kehilangan Damian.
Klik.
Tomi tiba-tiba masuk dan memergokinya sedang menangis.
"Ponsel lo ketinggalan."
Tangis Amanda semakin kuat membuat Tomi panik dan segera mendekat.
"Kenapa menangis, bukannya lo nggak percaya dengan omongan gua?"
"Gue harus gimana, Tom. Tampa Damian, gue bener-bener takut."
"Untuk sementara waktu, Daniel pergi keluar kota. Mungkin mencoba menghindari masalah. Selama itu lo akan aman. Setidaknya sampai bayi lo lahir. Setelahnya barulah gua nggak tahu, bisa jadi pernikahan kalian telah ditetapkan."
Amanda tertunduk sedih, bayinya bergerak samar membuat wanita itu mengusap pelan perutnya.
"Kita akan baik-baik saja, Nak. Jangan khawatir."
"Tom, lakukan sesuatu. Gue hanya punya lo sekarang."