Tak mendapatkan apapun dari Daniel membuat Soya kalang kabut, hilang sudah harapan untuk melunasi hutang-hutangnya. Soya stress dan memukul stir mobil dengan kasar. Semburat kekecewaan jelas tampak di wajahnya.
“Tuhan, aku harus bagaimana lagi?” Dalam kekalutannya, Soya tetap memaksakan diri menuju ke rumah sakit. Semuanya benar-benar kacau sekarang membuat kepalanya berdenyut nyeri.
Perjalanan menuju ke rumah sakit memakan waktu beberapa menit, moodnya semakin tak karuan saat terjebak macet di jalan tol.
“Apa lagi sekarang, tidak adakah yang lebih buruk dari ini?” Dia terus mengomel membuat pengendara di sekitarnya menoleh menatapnya.
“Apa lihat-lihat! Nggak sopan banget.”
Waktu kini memasuki jam makan siang, perutnya mulai keroncongan karena tidak sempat sarapan.
Pipp pip pip.
Suara klakson terdengar nyaring di belakang sana, karena penasaran dia menoleh tapi tidak menemukan apapun.
“Apaansih masih merah, mata kalian buta,” ujarnya.
Klik.
Pintu mobil dibuka dan masuklah dua lelaki dengan pakaian rapi serta memakai kacamata tersenyum sangat mengerikan kepadanya. Nyonya Soya terkejut, dia lantas menyilangkan tangan ke d**a berusaha melindungi diri sendiri.
“K-kalian, kalian siapa?”
Soya tak percaya ada orang asing yang berani masuk dengan paksa ke dalam kendaraannya di siang bolong seperti ini.
“Tolong ada rampok!” teriaknya histeris dan memeluk tasnya erat.
Kedua lelaki itu hanya tersenyum, beberapa pengendara mulai mendekat.
“Berhenti bersikap berlebihan Nyonya. Kami datang untuk memperingatkan jika tengak waktunya sebentar lagi.”
Jantung wanita itu berdetak hebat. Pandangannya nanar, tubuhnya bergetar hebat. Ini adalah pengalaman pertamanya di datangi oleh orang asing.
“Apa maksudmu?”
“Kau tahu pasti kami, kami adalah orang suruhan. Kalau begitu selamat siang.”
Belum sempat warga membantunya, kedua lelaki itu keluar dan melenggang pergi membuat Soya dan pengendara lain tertegun karenanya.
“Santai saja, Bung. Kami adalah kawan lama,” ucap lelaki itu sebelum pergi.
“Ibu tidak apa-apa?” tanya pengendara yang ada di sampingnya.
Nyonya Soya menatapnya tajam, tak terima dengan panggilan ibu yang di ucapkan lelaki itu.
“Ya, dia melotot. Orang aneh, di tolongin bukannya bersyukur.”
Lampu lalu lintas kembali hijau, orang yang mengajaknya bicara segera melenggang pergi meninggalkannya.
Nyonya Soya mengatur napasnya perlahan. Tak di duga dia akan mendapatkan peringatan dengan cara seperti ini. Suara klakson kembali terdengar nyaring karena mobilnya belum bergerak juga.
“Woi! Jalan!”
Piiipppppp.
Kakson panjang seolah meneriakinya. Dia tergagap, sedikit panik lalu perlahan in bergerak dan mendengar umpatan para pengendara yang lain.
“Bikin telat aja, kalau mau tidur di rumah jangan di jalan raya!”
Soya menelan salivanya dengan susah payah, kedatangan dua lelaki tadi seolah memberinya shock terapy.
“Beraninya Renata memperlakukan aku seperti ini, dia mengirim orang untuk menakut-nakutiku. Awas saja, aku akan membungkamnya secepat mungkin.”
Tiba di rumah sakit dia langsung menuju ke ruang rawat putrinya. Rama masih di sana dengan sabar menunggui Amanda.
Prak.
Pintu di buka dengan kasar, wajahnya yang kesal dengan tatapan tajam menatap sang suami lekat.
"Baguslah kau telah datang."
Soya melangkah mendekat dan melihat Amanda masih terlelap.
"Dia belum bangun juga? Apa yang terjadi padanya?"
"Ma, tenanglah. Dia baru saja tertidur, dia sudah makan dan beristirahat. Jadi jangan buat kekacauan."
Amarah nyonya Soya senakin menjadi.
"Kekacauan! Kau tahu apa yang baru aku lalui? Aku hampir jantungan di lampu merah, Daniel tidak ingin memberikan aku uang dan Renata telah menyuruh orang untuk menakut-nakuti aku!"
Manda yang terlelap, mendengar semua keluhan namanya.
Rama memilih diam, dia tak bisa membantu istrinya.
Perut Soya semakin keroncongan. Makanan yang ada di atas meja mencuri pandangannya.
"Hutangmu begitu banyak, bagaimana jika kita menjual rumah."
Langkah nyonya Soya terhenti.
"Walau kau menjual semua hartamu itu tidak akan berguna, harganya tidak mencapai hutang yang harus aku bayarkan."
"Ini semua salahmu! Kau sangat ambisius! Kau membuat keluarga kita di ambang kehancuran. Hutang sebanyak itupun kau tidak meminta pendapatku terlebih dahulu."
"Apa kau bilang? Aku pelakunya!" Wanita itu menujuk ke dirinya sendiri.
"Sadar, Pa! Ini semua salahmu, andai kau becus menangani perusahaan tentu kita tidak akan bangkrut dan Manda tidak perlu bekerja di perusahaan lain dan bertemu lelaki miskin itu."
Mereka terus saling menyakiti, menyerang dan mencari pembenaran sendiri.
"Bukan aku yang berhutang, tapi kau! Karena judimu itu, berteman di lingkup yang salah membuat pikiranmu ikut salah!"
Bergetar Soya menahan amarahnya.
"Pa, Ma. Ini rumah sakit," ucap Amanda tidak tahan.
Soya yang menunggunya bangun sedari tadi langsung mendekati dan menyerangnya.
"Bagus, kau sudah bangun. Semua ini salahmu, tidak bisakah kau berbakti? Kenapa kau harus hamil saat keadaan genting seperti ini?"
"Ma!" Rama segera menghalangi Soya.
"Diem kamu! Kamu nggak bisa apa-apa kan. Jangan ikut campur."
"Gara-gara kehamilanmu ini, kita semua mendapatkan masalah. Apa itu yang kau inginkan?"
"Ma, maafkan Manda Ma. Manda juga nggak tahu jika Manda akan hamil secepat ini."
Emosi Soya kian meradang, suara langak kaki terdengar riuh di luar sana. Sepertinya orang-orang mencuri dengar pertengkaran mereka.
"Tolong, biarkan Amanda melahirkan bayi Manda Ma. Manda janji nggak akan menyusahkan Mama."
"Menyusahkan! Lihat kesekelilingmu. Bahkan saat-saat seperti ini, mama masih memikirkan kebaikan kamu. Kau berada di kelas vip Manda. Biaya perawatan ini tidak sedikit."
Airmata lolos di wajah putrinya.
"Anak itu hanya akan menjadi beban, dia tidak akan bisa menyenangkan hati keluarganya. Dia hanya akan menjadi luka bagi keluarga kita maka dari itu sebaiknya singkirkan saja dari sekarang."
Manda terperangah, dia menarik selimut dan melindungi dirinya.
"Ma, tolong jangan lakukan itu. Manda mohon."
"Aku tidak peduli dengan persidangan, aku hanya ingin janin itu di gugurkan sekarang juga!" teriaknya.
Plaakk.
Rama kembali menamparnya.
Manda dan soya terkejut, Rama mengepalkan tangan dengan kuat.
"Jika kau tak mengizinkannya hidup, maka aku yang akan mengizinkannya. Dia darah dagingku, cucuku. Kau tak menginginkannya tidak masalah."
"Kau menamparku lagi? Kau telah berani bermain tangan denganku. Kau pikir dirimu siapa? Kau bukan siapa-siapa!"
Manda tak kuasa melihat pertengkaran mereka, wanita itu memberanikan diri meninggalkan tempat tidur.
"Ma, Pa. Jangan seperti ini, Manda mohon. Manda tahu, Manda yang salah."
Soya mendekati dan menguncang bahunya dengan kesetanan.
"Jika kau tahu kau penyebabnya, kenapa tidak kau perbaiki! Kenapa terus menangis, mama tidak pernah mengajarimu menjadi lemah. Kau akan menikah dengan Daniel secepatnya, persetan dnegan bayimu itu!"
"Ma!" tangis kepedihan terdengar pilu. Soya meninggalkan kamar putrinya dan kembali pada Daniel.