Damian terpaku di meja kerjanya, lelaki itu tak dapat fokus dan memikirkan masalahnya. Beberapa berkas dan pekerjaan penting menumpuk di depannya.
Tomi memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu, lelaki itu segera mendatangi Damian setelah mendengar tentang desas-desus pernikahan Damian telah sampai ke persidangan.
Para staf dan karyawan yang lain telah mendengar berita itu dan menjadi hot news.
"Damian," ucap Tomi.
Lelaki itu masih tak menyadari kehadiran sang atasan.
"Kamu dengar saya?"
Tok tok tok.
Damian terkejut melihat tangan Tomi mengetuk meja.
"Pak, anda di sini?" Lelaki itu segera berdiri dan sedikit gugup.
"Santai saja, aku mengerti jika kau banyak pikiran. Aku dengar dari yang lain, masalahmu telah masuk ke meja persidangan. Kenapa kau tidak mengabari aku?" Damian mendongak menatap Tomi. Lelaki yang begitu peduli dari awal.
"Aku bisa membantumu, tidak perlu sungkan. Aku punya kenalan pengacara, dia cukup hebat dalam menangani khasus seperti ini."
Damian tersentuh mendengar penuturannya.
"Terimakasih, Pak. Tapi, saya telah memiliki pengacara."
Tomi menatapnya tidak yakin.
"Syukurlah jika kau telah bersiap. Lalu bagaimana hasilnya?"
Terdiam cukup lama, membuat Tomi penasaran.
"Apa terjadi sesuatu?"
Damian menceritakan apa yang menimpa istrinya, dan perlakuan nyonya Soya terhadap keluarga dan calon bayinya. Tomi menggelengkan kepala, Menatap penuh iba pada Damian.
"Keterlaluan! Ini tidak bisa di biarkan."
Damian tertunduk, mendengarkan umpatan Tomi.
"Lalu, bagaimana keadaan Amanda? Dia pasti ketakutan. Dimana dia dirawat?"
Damian menatapnya lekat.
"Ya, dia ketakutan. Tidak ada teman yang datang, tidak ada tempat untuk bercerita. Aku dengar dari papa, Amanda akan di bawah pulang siang ini."
"Lalu, kenapa kau masih di kantor? Pergi dan temui dia."
Damian mengeleng dan kembali ke kursinya.
"Pekerjaanku menumpuk, lagi pula Mama Soya tidak akan mengizinkan aku mendekatinya."
Tomi menghela napas kasar.
"Aku sangat mengenalnya, Dam. Dia tak sekuat itu, mamanya akan terus menekan sampai keinginannya terpenuhi. Kau harusnya berada di sana, cukup tunjukkan dirimu. Itu sudah membuatnya senang."
"Tapi, Pak."
"Dari banyaknya lelaki yang menganguminya, dia hanya memilihmu, Dam. Kau sangat beruntung," ucap Tomi lalu meninggalkan ruangan itu.
Jadwal persidangan lanjutan beberapa hari lagi, Damian harus menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu agar tidak terjebak deadline. Waktu menunjukkan Pukul 10:35. Setelah berpikir cukup lama. Lelaki itu akhirnya memutuskan untuk ke rumah sakit.
**
Amanda dan Rama saling menatap saat Soya datang membawa kursi roda. Wanita itu semakin angkuh dan menatap kesal pada sang suami.
"Biaya rumah sakit sudah di talangi oleh Daniel, dia telah menyempatkan diri untuk membantu kita. Jadi, tolong jaga sikap kalian."
Amanda dan Rama tertegun mendengarnya.
"Daniel! Daniel siapa, Ma?" tanya Manda.
Soya memilih diam, dia hanya tersenyum miring membuat keluarganya bergidik.
"Papa tahu siapa dia?"
Rama menggeleng.
"Tidak, Papa juga baru mendengar namanya hari ini."
"Turun dan duduklah di kursi roda, kau tidak boleh banyak bergerak demi kesehatanmu!"
Sikap Soya berubah 90° Derajat.
Manda merasa senang melihatnya. Berharap wanita itu akan semakin peduli kepadanya.
"Terimakasih, Ma."
Setelah memastikan semuanya. Soya lalu menyerahkan tas bawaan pada suaminya.
"Ayo pulang, tunggu apalagi?" Wanita itu melenggang keluar lebih dulu, anak dan suaminya hanya bisa terperangah melihat tingkahnya.
Dengan santai, Soya membuka pintu ruangan dan muncullah Daniel yang seolah datang dengan kebetulan.
"Eh, Daniel kamu di sini?"
Amanda dan Rama pun melihat Daniel untuk pertama kalinya.
"Iya, Tan. Aku datang untuk menyerahkan ini."
Amanda menatapnya lekat, samar-samar dia merasa familiar. Tapi, bingung pernah melihatnya dimana.
"Oh iya, terimakasih atas bantuannya. Sini Tante perkenalkan dengan keluarga Tante."
Soya menarik Daniel masuk dan membawanya kehadapan Amanda.
"Ini suami tante, papanya Amanda. Kamu bisa memanggilnya dengan sebutan om."
Daniel mengulurkan tangan. Rama menatapnya dari kaki hingga ujung kepala.
"Saya Daniel, Om. Daniel Argantara, putra Arga Bramantyo Angkasa."
Wajah Rama berubah antusias.
"A-apa? Kamu keturunan keluarga Pramudi Angkasa?"
Daniel tersenyum mendengarnya, siapa yang tidak mengenal orangtuanya. Eyang Daniel adalah sang Raja Bisnis. Kakeknya pernah menjabat jadi walikota dan pamannya Bisma Angkasa adalah orang yang berpengaruh di kota ini.
"Ya, benar. Itu Eyang saya, Om tahu keluarga saya?"
Rama tergagap dengan wajah tak percaya. Amanda masih menatap mereka bergantian.
"Ya, saya kenal. Saya Rama."
Daniel kini beralih ke Amanda.
"Hay, saya Daniel."
Amanda menatap tangan lelaki itu lama.
Rama dan Soya memperhatikan mereka.
"Manda, jangan malu-maluin mama, dia anak temen mama," bisik Soya kesal.
Daniel melihat tak ada perubahan pada diri wanita itu. Masih cuek dengan orang asing.
"Manda," ucapnya pendek. Mereka bersalaman dan Daniel mengenggam tangannya erat. Pandangan mereka bertemu satu sama lain.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" ucap Amanda ragu.
Daniel melepaskan tangan mereka dan tersenyum ramah.
"Tidak, entahlah. Aku merasa kau sangat familiar."
"Aneh, aku juga merasakan hal yang sama."
Nyonya Soya bermain mata dengan Daniel. Usaha yang bagus untuk pertemuan pertama.
"Tante, bagaimana jika saya ikut mengantarkan tante pulang. Kebetulan saya tidak ada pekerjaan lagi di kantor sekalian mengambil pesanan mama, boleh?"
Soya mengangguk cepat.
"Tentu, barangnya udah ready kok di rumah."
Ada sedikit kekecewaan di hati Daniel karena Amanda tidak mengenalinya sama sekali.
"Saya bantu angkatkan tasnya, Om?" ucap Daniel tulus.
Rama merasa sungkan, lelaki di hadapannya kini bukanlah orang sembarangan.
"Tidak perlu, saya bisa sendiri."
"Kalau begitu bantu tante saja. Tolong dorong kursi rodanya," ucap Nyonya Soya.
Amanda terkejut mendengar itu.
"Mama, Manda bisa kok."
"Eh, kamu nggak boleh banyak bergerak. Lagi pula, Daniel ini bukan orang lain."
Amanda meringis ketika Soya melotot kearahnya.
"Santai saja, aku tidak keberatan kok."
Daniel dengan mudah membaur dengan keluarga Amanda. Dia sangat senang karena bisa dekat dengan wanita pujaannya itu, hal yang sangat sulit dilakukan saat masa kuliah dulu.
Amanda yang risih hanya bisa diam sepanjang jalan, kedatangan Daniel yang tiba-tiba dan melunasi biaya rumah sakit membuatnya berpikir keras.
Keluar di area parkiran, Manda melihat sepeda motor Damian terparkir tidak jauh dari gerbang. Wanita itu sangat mengenali motor bebek milik suaminya itu. Seketika pandangannya memencar mencari keberadaan sang belahan hati.
Daniel memperhatikannya dari belakang, Manda terlihat sangat gelisah.
Detik berikutnya, Manda menemukan sosok yang dicarinya. Wanita itu tersenyum melihat Damian berjalan mendekat dengan helm tengkorak menutupi seluruh wajahnya.
Nyonya Soya maupun Rama tak mengenali lelaki itu. Tapi, Amanda. Amanda sangat mengenalinya. Jaket, sarung tangan dan sepatu. Semua adalah pilihannya.
Jauh sebelum mereka menikah, Amanda gemas melihat Damian yang acuh akan penampilan. Maka dari itu mereka membeli jaket itu dan sempat kembaran.
Cemburu melihat penampilan Daniel membuat Damian bertanya-tanya akan lelaki itu.
Daniel mendorong kursi roda dengan santainya. Mereka tampak seperti keluarga yang harmonis.
Bragh.
Damian sengaja menabrakkan diri ke lelaki itu.
Manda tertegun, hampir saja dia memegang tangan Damian karena khawatir.
Soya terkejut dan segera menolong tambang emasnya.
"Hey, kalau jalan hati-hati. Helmnya di buka, main tabrak saja!" ucapnya kesal.
Damien menangkupkan tangan, sebagai permohonan maafnya.
"Maaf, maaf."
"Untung anak saya nggak apa-apa, awas aja kalau terjadi sesuatu!"
Damian menggapai tangan Daniel dan menjabatnya, berulangkali dia meminta maaf dengan suara di samarkan.
Amanda tersenyum melihat tingkah suaminya.
"Nggak apa-apa, santai saja."
Damian mundur dan menggenggam tangan istrinya.
"Maaf, Mba. Saya kurang berhati-hati."
Amanda membalas genggamannya.
"Ya, nggak apa-apa. Lain kali hati-hati."
"Sudah sana pergi! Nggak sopan banget deh!"
Damian menyelipkan kertas di tangan Amanda, sebelum menjauh dari sana.
Kertas yang bertuliskan permohonan maaf karena tak bisa mengantarkannya pulang.
"Papa mana diam aja, buruan buka pintu mobilnya. Kasihan Amanda!"
Riuh Soya mengatur semuanya, Daniel oun berusaha keras tapi tatapan Amanda tak beralih ke Damian di ujung sana.
Tak memiliki ponsel membuat Amanda tak bisa bertukar kabat dengan suaminya. Damian harus berusaha keras jika ingin menghubungi istrinya.