Malam telah berlalu, Amanda belum bangun juga. Nyonya Soya merasa gerah, semenjak perbincangan kemarin, dia dan suaminya tak saling bicara.
“Manda bangunlah, mama tahu kamu udah sadar.”
Rama menatap mereka bergantian. Nyonya merasa curiga karena dia telah terjaga semalaman.
“Manda, mama bilang bangun. Sudah jam sembilan mustahil jika kamu belum sadar juga. Kamu hanya pinsan, bukan geger otak.”
Manda bergeming, dia tak merespon.
“Aku tahu kau lelah, pulanglah. Biar aku yang menjaga Amanda,” ucap Rama.
Tanpa membalas perkataan suaminya, nyonya Soya meraih tas dan bergegas pergi. Dia tak bisa memaafkan tindakan Rama yang memukulnya kemarin.
Pintu tertutup dengan kasar, Soya melenggang pergi tanpa berpamitan. Rama hanya bisa menghela napas, dia meremas rambutnya dengan kasar.
Amanda sadar, papanya tak bisa melakukan apa-apa. Dari dulu. Hanya mamanya lah yang selalu mengambil keputusan dalam keluarga mereka.
“Pa, maafkan Manda.” Wanita itu memberanikan diri membuka mata.
Rama tertegun melihatnya.
“Kau,” Segera Rama menuju ke pintu untuk memastikan jika istrinya tak lagi di sana.
Lelaki itu merasa lega, karena Soya benar-benar telah pergi.
“Manda, jadi dari tadi kau sudah bangun?”
Putrinya itu hanya bisa mengangguk lemah.
“Aku sudah bangun saat papa masuk dan bertengkar dengan mama. Kenapa Manda harus melewati ini, Pa?"
Rama duduk di samping putrinya.
“Makanlah, Nak. Bayimu harus tumbuh dengan sehat.”
Rama menggapai makanan yang telah di antarkan suster tadi pagi.
“Andai mama juga berpikir demikian, Pa. Tapi, mama justru berkeras untuk melenyapkannya.” Rasa sakit menghimpit di d**a, menyesakkan hati yang kecewa. Manda tak kuasa menahan airmatanya.
“Maafkan papa, papa yang salah karena tak dapat mendidik mamamu. Jangan pikirkan yang tidak-tidak, kau harus cepat pulih agar bayimu baik-baik saja.”
Rama menyuapi putrinya dengan kasih sayang, sesekali Amanda mengeluh dengan buburnya yang terasa pahit di lidah.
“Cukup, Manda nggak bisa nelen lagi, Pa.”
“Kamu harus menghabiskannya, jika mau cepet sembuh.”
“Lalu, apa yang terjadi jika Manda sembuh, Pa? Manda nggak mau sembuh, Manda nggak mau bertemu dengan lelaki pilihan mama itu.”
“Manda sayang,” Rama berusaha menenangkannya.
“Mama mau bunuh anak Manda, jika itu terjadi lebih baik Manda ikut mati saja.” Emosi menguasai Amanda yang tengah kalut.
Rama tak kuasa menahan airmata. Melihat putrinya putus asa, dia merasa menjadi lelaki tak berguna.
Pintu di ketuk dari luar, Manda dan Rama menoleh secara bersamaan. Gagang pintu di putar perlahan dan muncullah Damian dari sana.
Lelaki itu tersenyum lega saat melihat istrinya telah sadar. Kedatangan Damian membuat Amanda dan papanya tergegun.
“Pa, izinkan Damian bertemu dengan Manda walau hanya sebentar.”
Damian telah berjaga di luar dari semalam. Dia menunggu kapan waktu yang tepat saat mama mertuanya keluar dari rumah sakit.
Manda menatap papanya, wanita itu ikut menangkupkan tangan sama seperti suaminya.
"Pa, kali ini saja."
Rama tak bisa menolak keinginan putrinya.
“Silahkan, papa akan keluar untuk membeli buah.”
Tak ingin menganggu putrinya, Rama pun meninggalkan bubur yang di pegangnya di atas meja. Damian tidak percaya ini, papa mertuanya bahkan tidak mengusir atau mengucapkan kata kasar.
“Terimakasih, Pa,” ucap Damian dan mencium tangan lelaki itu.
Rama terkejut melihat sikap menantunya.
“Bujuk dia makan, dia belum makan apapun dari semalam.”
Rama meninggalkan ruangan, tanpa menoleh.
Damian dan Amanda sangat senang, lelaki itu berjalan mendekat dan menghapus airmata di wajah istrinya.
“Bawa aku pergi, Dam. Aku tidak peduli lagi, aku ingin bayi kita tetap hidup.”
Damian memeluknya, dia pun tak kuasa menahan airmata.
“Sayang, aku tidak bisa melakukan itu sekarang.”
Amanda melerai pelukkan mereka, dia tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
“Oh, lalu kenapa kau kemari? Pergi, jangan datang lagi!” Amanda sangat kecewa, hatinya mudah sensitif mungkin pengaruh hormon.
“Sayang dengarkan aku dulu.”
“Tidak! Kau tidak mengerti aku, Dam. Aku berusaha bertahan dalam ketakutan, aku takut sewaktu-waktu mama bisa nekat dan memintaku mengugurkan kandunganku. Atau bisa saja dia memasukan sesuatu ke makananku, kenapa kau tidak mengerti itu!” Amanda sangat kacau, dia terus meracau dan merasa kesal dengan keadaan.
“Sayang tenanglah.”
Amanda yang kesal lalu meraih bantal dan memukuli Damian.
“Pergi kamu! Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi.”
Damian terpejam, airmatanya jatuh begitu saja. Dengan sabar dia membiarkan Amanda mengeluarkan semua kemarahannya. Hingga sang istri kelelahan dan berhenti memukulinya.
“Aku tidak bisa membuatmu semakin menderita.”
“Saat ini aku menderita, Dam. Aku tidak mau merelakan bayi kita, aku tidak mau mama merampasnya dariku!" teriak Amanda frustasi.
Airmata Amanda terus berlinang, sesaknya semakin menjadi hingga dia terguguh sendirian.
“Itu tidak akan terjadi, ayah telah menyampaikan kabar tentang kehamilanmu pada pengacara kami, ya kami juga mengambil pengacara demi bayi kita.”
Amanda mulai tenang dan mendengarkan dengan serius.
“Ayah telah mengancam mama, jika sampai kau keguguran. Kami akan menuntut mama karena melenyapkan bayi itu. Bayi yang belum lahir itu juga hak kami. Aku akan berusaha mempertahankan pernikahan kita. Jadi tolong berhenti menyakiti dirimu sendiri.”
Amanda memeluk Damian erat, dia menangis dalam d**a bidang milik suaminya. Hanya dengan cara itu dia merasa sedikit tenang.
“Khasus ini sudah masuk dalam meja pengadilan, jika membawamu pergi sekarang. Mama akan memutar balikan fakta bahwa kami yang bersalah.”
“Aku mengerti,” ucap Manda.
“Kalau begitu kau harus sehat, tidak peduli bagaimana sulitnya bertahan. Kau harus bisa demi bayi kita,”
Amanda mengangguk penuh haru.
“Aku akan menjaganya, Dam. Aku janji, aku akan menjaganya mulai sekarang.”
Damian mencium kening istrinya, mencapai titik ini merupakan perjuangan bagi mereka.
“Makan, Sayang. Kamu harus sehat. Aku tidak bisa berlama-lama, takut mama datang dan memergoki kita.”
Amanda menggeleng masih dengan tangis yang membasahi wajahnya.
“Jangan pergi, Dam. Ku mohon, jangan tinggalkan aku.”
Damian hanya bisa tertunduk dalam.
“Setidaknya, tunggu papa kembali. Jangan tinggalkan aku sendirian, aku takut, Dam.”
Damian menyeka airmata Amanda, rasa sakit yang sama di rasakan lelaki itu. Dia menderita tetapi berusaha terlihat kuat.
“Baiklah, aku akan di sini sampai papa kembali.”
Damian mulai menyuapinya, bubur yang tadinya pahit di telan tanpa mengeluh. Amanda terus membuka mulut, membuat Damian terenyuh melihat perjuangan istrinya.
“Sayang, jaga Bunda ya, Nak. Maafkan jika ayah tak bisa selalu di sampingmu.”
Amanda tak kuasa menahan tangisnya.
“Jadilah anak yang kuat di dalam sana, jangan menyerah karena kami sangat mencintaimu.”
Di ciumnya perut istrinya yabg masih rata. Terpisah dengan Amanda merupakan cobaan terberat bagi Damian saat ini.
**
Sementara itu.
Nyonya Soya tengah berendam di dalam bath up, wanita itu berusaha menenangkan hati dan pikirannya. Semua berjalan tidak sesuai dengan rencana. Dia merasa pusing, tenggak waktu semakin dekat dan dia harus membujuk calon menantu barunya agar mau mentransferkan uang untuk menutupi aibnya.
“Semua ini karena kehamilan Amanda, semuanya jadi berantakan," Soya terus mengumpat, wanita itu menikmati gulingan nikotin dan memainkan asap yang keluar dari mulutnya.
Ponsel berdering di sisi kanannya, Soya menggapainya dengan malas.
“Jangan bilang Rama menelpon di saat seperti ini, dia selalu tak bisa di andalkan,” keluhnya.
Soya terkejut, nama pengacaranya muncul di layar dan dia segera mengankatnya.
“Halo.”
Wajah wanita itu berubah pias, matanya melotot dan tangannya terkepal.
“Aku akan menemuimu secepatnya!”